Globalisasi yang menggelinding semenjak awal abad ke-20 telah berhasil mengubah perilaku masyarakat Indonesia. Akses informasi yang tak terbendung memang telah menjadi berkah bagi masyarakat, tapi sekaligus menjadi musibah. Bahwa hal-hal yang mestinya hanya boleh dikonsumsi pribadi, dengan mudah dijadikan sajian publik yang kerap membuat heboh dunia maya. Di samping itu, yang lebih mengkhawatirkan lagi, dunia maya telah disulap oleh kelompok radikalisme menjadi lahan persemaian ideologi mereka.
Pada momentum kemerdekaan kali ini, tentu kita tak mau melihat dunia maya porak poranda oleh ujaran kebencian yang ditujukan kepada negara maupun pemerintahan yang sah. Warga negara yang waras juga pasti enggan melihat suburnya indoktrinasi radikalisme di dunia maya, karena mereka sadar bahwa hal itu bisa merusak tenun kebangsaan. Juga, disadari, keruhnya interaksi dalam dunia maya sedikit-banyak berpengaruh pada dunia nyata; berupa ketegangan antar pribadi maupun kelompok, sekalipun tidak tahu akar persoalan yang tengah menjangkiti mereka.
Maka dari itu, kita mesti cerdas dalam bermedia sosial. Kita mesti memiliki kepekaan tinggi atas konten-konten radikalisme yang berseliweran di dunia maya. Bahkan, terkadang, konten tersebut berbalut agama, sehingga bisa menjebak warganet yang tidak memiliki daya kritis dalam menyaring informasi.
Bento Ahmad dalam baliexpress.jawapos.com menegaskan, bahwa dunia maya memang menjadi salah satu lahan propaganda kelompok radikalis-ekstrimis. Ciri yang paling mudah dikenali adalah, mereka selalu merasa paling benar memosisikan liyan sebagai pihak yang salah, dan wajib diluruskan –sekalipun dengan jalur kekerasan dan pemaksaan.
Dengan begitu, untuk mendeteksi apakah sebuah konten mengandung semangat radikalisme atau tidak, kita perlu memprhatikan beberapa hal. Pertama, konten radikalis biasanya mendiskreditkan hingga menghancurkan reputasi ulama yang dinilai tidak sejalan dengan pemikiran dan ide mereka. Bentuk pendiskreditan itu bisa berupa penghinaan atas ulama sebagaimana yang pernah menimpa Gus Mus dan Quraish Shihab.
Kedua, mengkafirkan kelompok lain yang tidak sepaham. Hal ini adalah buntut dari paham bahwa “dirinyalah yang paling benar”. Ketiga, tidak hanya umat seagama saja yang menjadi target kebencian, tapi juga agama lain. Indonesia dengan enam agama resmi dan ratusan sistem kepercayaan tentu amat rawan konflik, jika kelompok radikalisme telah melancarkan aksinya; dengan menyebarkan kebencian kepada umat beragama dan penganut kepercayaan.
Keempat, setelah berhasil membentuk semangat juang ala radikalis-ekstrimis, langkah selanjutnya adalah ajakan untuk membenci pemerintah, karena dianggap toghut. Ironisnya, perang melawan pemerintah mereka kategorikan sebagai perang suci, perang melawan kezaliman yang jaminannya adalah surga. Ini yang kerap melenakan muslim khususnya, untuk melakukan tindakan teror tanpa rasa bersalah, bahkan bangga.
Kelima, kelompok radikal selalu memviralkan konten yang berisi tentang ketertindasan umat Islam di belahan dunia manapun. Umat Islam dalam propaganda mereka selalu diposisikan sebagai umat yang marjinal dan tersisihkan. Padahal, kita tahu, di Indonesia sendiri, umat Islam adalah mayoritas, yang mestinya mampu melindungi minoritas-minoritas yang ada. Namun, kelompok radikalisme selalu mengacu pada konflik yang menimpa negara Islam di belahan dunia lain –yang secara sosial-politik amat berbeda dengan Indonesia.
Keenam, untuk lebih meyakinkan warganet, propaganda juga dilakukan dengan merilis foto, video, dan gambar yang dramatis. Sehingga, bisa menggalang simpati umat, atau lebih tepatnya, ‘kemarahan umat’, yang bisa mendorong mereka untuk berjihad. Ketujuh, kampanye untuk selalu memusuhi negara Barat, karena dianggap terus melukai umat Islam.
Acapkali kita menemukan tujuh faktor tersebut di atas di berbagai lini masa dunia maya. Meskipun dengan kriteria tersebut kita tidak boleh langsung memvonis seseorang atau kelompok termasuk golongan radikalis-ekstrimis, tapi setidaknya dengan kriteria tersebut, kita bisa lebih cerdas dalam mengonsumsi konten di dunia maya.
Sementara itu, kita juga dituntut untuk aktif sebagai produsen konten positif, di samping konsumen informasi. Kriteria-kriteria di atas justru bisa kita jadikan bahan pijakan untuk berjihad melawan mereka, tentu dengan jalur kelembutan dan kedamaian. Perlawanan kita bukan dengan ujaran kebencian dan memvonis secara langsung bahwa kelompok radikalis-ekstrimis itu salah, melainkan dengan dialog atau bentuk penyadaran lainnya, yang tidak terkesan menggurui.
Berbagai fasilitas di dunia maya bisa kita gunakan untuk menyebar wawasan kebangsaan. Bahwa Indonesia adalah negara yang berdiri di atas perbedaan, tapi memiliki payung persatuan yang sama, yakni merah putih. Mari, dengungkan semangat kebangsaan demi Indonesia damai. Indonesia bersatu tak bisa dikalahkan!