Memahami Narasi Kelompok Radikal yang Kerap Mengkafirkan Sistem Negara

Memahami Narasi Kelompok Radikal yang Kerap Mengkafirkan Sistem Negara

- in Kebangsaan
384
0
Narasi mengkafirkan negara dan mengharamkan nasionalisme adalah satu paket indoktrinasi kelompok radikal terorisme kepada anggotanya. Tidak ada doktrin yang lebih kuat yang membuat seseorang terpedaya kecuali mengatakan negeri ini adalah wilayah perang dan boleh melakukan peperangan di atasnya. Merenggut nyawa siapapun di negeri kafir adalah absah, terutama kepada aparat negara. Doktrin ini dipegang secara militan terutama bagi mereka yang masih awam dan baru mengenal agama. Doktrin mudah masuk kepada mereka yang ingin menikmati surga secara instan tanpa pengetahuan yang memadai. Lahirlah generasi muda yang mudah terpedaya dengan hasutan dalil yang dieksploitasi oleh kelompok radikal. Siapa korbannya? Kita misalnya belajar dari salah satu wasiat pelaku penyerangan Mabes Polri (31/3/2021) mengungkapkan dalam surat wasiatnya agar orang tuanya dan keluarga tidak mengikuti kegiatan pemilu. Karena orang-orang yang terpilih itu akan membuat hukum tandingan Allah bersumber Alquran-Assunah. “Demokrasi, Pancasila, UUD, pemilu, berasal dari ajaran kafir yang jelas musyrik. Zakiah nasehatkan kepada mama dan keluarga agar semuanya selamat dari fitnah dunia yaitu demokrasi, pemilu dan tidak murtad tanpa sadar.” Begitulah bunyinya. Dari mana lahirnya doktrin seperti ini? Argumen ZA untuk mengkafirkan negara, Pancasila dan sistemnya sejatinya bukanlah hal baru. Beberapa mantan kelompok radikal terorisme mengatakan doktrin Pancasila sebagai kafir dan thagut merupakan keyakinan yang mereka miliki. Mereka hanya mematuhi hukum agama sebagai dasar sebuah negara. Dalam sejarah Indonesia, gerakan untuk menolak Pancasila dan ide mendirikan negara berdasarkan syariat agama sudah ada sejak Republik ini didirikan. Gerakan ideologis hingga percobaan makar dan aksi teror mewarnai perjuangan kelompok yang dikenal dengan sebutan Negara Islam Indonesia (NII). Ideologi ini tidak pernah mati dan terus menjadi cita-cita kelompok. Pandangan yang dimiliki oleh gerakan NII bukan pula sesuatu yang bersifat lokal. Gerakan islamisme sejatinya telah tumbuh di beberapa negara Timur Tengah khususnya Mesir yang mendasarkan ideologi untuk perjuangan Islam sebagai dasar negara. Sayyid Quthb aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) berambisi untuk menerapkan Islam secara kaffah dan menganggap seluruh masyarakat muslim berada dalam fase jahiliyyah. Artinya, penolakan terhadap sistem yang ada sebagai sebuah konsensus dan pengkafiran terhadap dasar negara bukan hal baru. Dalam satu titik ideologi ini mampu membawa gerakan kekerasan yang dalam beberapa kasus mengilhami aksi terorisme. Jalan kekerasan adalah pilihan sebagai sarana melakukan perubahan yang fundamental untuk mengganti secara radikal dan fundamental sebuah tatanan negara. Apakah gerakan ini masih ada di Indonesia? Penolakan dan pengkafiran Pancasila dan keinginan mendirikan negara berdasarkan syariat agama masih menjadi gerakan bawah tanah dengan pendidikan dan pengkaderan yang tersembunyi. Jika melihat hasil survey tidak sedikit pelajar dan mahasiswa yang menolak Pancasila dan memilih agama sebagai ideologi negara mengindikasikan kaderisasi dan rekrutmen itu memanfaatkan lembaga pendidikan. Sudah berapa mereka yang terpapar? Survei Mata Air Fondation dan Alvara Research Center pada tahun 2017 yang lalu menyebutkan bahwa ada 18,6 persen pelajar memilih ideologi Islam sebagai ideologi bernegara dibanding Pancasila. Sedangkan di kalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen memilih ideologi Islam dibanding Pancasila sebagai ideologi bernegara. Survey yang dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi unggulan di Indonesia, serta 2.400 pelajar SMAN unggulan di Pulau Jawa dan Kota-kota besar di Indonesia ini menunjukkan betapa generasi muda adalah bagian penting dalam kaderisasi penolakan Pancasila dan penumbuhan ideologi. Jika generasi muda yang disasar tidak mengherankan jika pelaku teror pun sudah mengalami regenerasi dari tua ke muda. Anak muda seperti ZA yang menganggap demokrasi dan Pancasila sebagai ajaran kafir adalah contoh kecil yang mungkin masih banyak dari mereka saat ini tidak sadar dan hanya menunggu paparan doktrin yang meningkat menjadi anjuran kekerasan. Karena itulah, penting bagi generasi muda untuk mewaspadai. Jika ada gerakan baik tersembunyi maupun terbuka yang mengajak kalian masuk dalam komunitas dengan kedok aktifitas apapun dengan doktrin mengkafirkan sistem yang ada, mengharamkan nasionalisme dan sistem yang ada, yakinlah itu bagian awal indoktrinasi untuk direkrut dalam jaringan radikal terorisme. Sadari sejak dini atau anda menyesal harus berpisah dengan keluarga dan orang yang dicintai. Pengalaman dan fakta membuktikan itu!

Narasi mengkafirkan negara dan mengharamkan nasionalisme adalah satu paket indoktrinasi kelompok radikal terorisme kepada anggotanya. Tidak ada doktrin yang lebih kuat yang membuat seseorang terpedaya kecuali mengatakan negeri ini adalah wilayah perang dan boleh melakukan peperangan di atasnya. Merenggut nyawa siapapun di negeri kafir adalah absah, terutama kepada aparat negara.

Doktrin ini dipegang secara militan terutama bagi mereka yang masih awam dan baru mengenal agama. Doktrin mudah masuk kepada mereka yang ingin menikmati surga secara instan tanpa pengetahuan yang memadai. Lahirlah generasi muda yang mudah terpedaya dengan hasutan dalil yang dieksploitasi oleh kelompok radikal.

Siapa korbannya? Kita misalnya belajar dari salah satu wasiat pelaku penyerangan Mabes Polri (31/3/2021) mengungkapkan dalam surat wasiatnya agar orang tuanya dan keluarga tidak mengikuti kegiatan pemilu. Karena orang-orang yang terpilih itu akan membuat hukum tandingan Allah bersumber Alquran-Assunah.Demokrasi, Pancasila, UUD, pemilu, berasal dari ajaran kafir yang jelas musyrik. Zakiah nasehatkan kepada mama dan keluarga agar semuanya selamat dari fitnah dunia yaitu demokrasi, pemilu dan tidak murtad tanpa sadar.” Begitulah bunyinya.

Dari mana lahirnya doktrin seperti ini? Argumen ZA untuk mengkafirkan negara, Pancasila dan sistemnya sejatinya bukanlah hal baru. Beberapa mantan kelompok radikal terorisme mengatakan doktrin Pancasila sebagai kafir dan thagut merupakan keyakinan yang mereka miliki. Mereka hanya mematuhi hukum agama sebagai dasar sebuah negara.

Dalam sejarah Indonesia, gerakan untuk menolak Pancasila dan ide mendirikan negara berdasarkan syariat agama sudah ada sejak Republik ini didirikan. Gerakan ideologis hingga percobaan makar dan aksi teror mewarnai perjuangan kelompok yang dikenal dengan sebutan Negara Islam Indonesia (NII). Ideologi ini tidak pernah mati dan terus menjadi cita-cita kelompok.

Pandangan yang dimiliki oleh gerakan NII bukan pula sesuatu yang bersifat lokal. Gerakan islamisme sejatinya telah tumbuh di beberapa negara Timur Tengah khususnya Mesir yang mendasarkan ideologi untuk perjuangan Islam sebagai dasar negara. Sayyid Quthb aktivis Ikhwanul Muslimin (IM) berambisi untuk menerapkan Islam secara kaffah dan menganggap seluruh masyarakat muslim berada dalam fase jahiliyyah.

Artinya, penolakan terhadap sistem yang ada sebagai sebuah konsensus dan pengkafiran terhadap dasar negara bukan hal baru. Dalam satu titik ideologi ini mampu membawa gerakan kekerasan yang dalam beberapa kasus mengilhami aksi terorisme. Jalan kekerasan adalah pilihan sebagai sarana melakukan perubahan yang fundamental untuk mengganti secara radikal dan fundamental sebuah tatanan negara.

Apakah gerakan ini masih ada di Indonesia? Penolakan dan pengkafiran Pancasila dan keinginan mendirikan negara berdasarkan syariat agama masih menjadi gerakan bawah tanah dengan pendidikan dan pengkaderan yang tersembunyi. Jika melihat hasil survey tidak sedikit pelajar dan mahasiswa yang menolak Pancasila dan memilih agama sebagai ideologi negara mengindikasikan kaderisasi dan rekrutmen itu memanfaatkan lembaga pendidikan.

Sudah berapa mereka yang terpapar? Survei Mata Air Fondation dan Alvara Research Center pada tahun 2017 yang lalu menyebutkan bahwa ada 18,6 persen pelajar memilih ideologi Islam sebagai ideologi bernegara dibanding Pancasila. Sedangkan di kalangan mahasiswa sebanyak 16,8 persen memilih ideologi Islam dibanding Pancasila sebagai ideologi bernegara. Survey yang dilakukan terhadap 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi unggulan di Indonesia, serta 2.400 pelajar SMAN unggulan di Pulau Jawa dan Kota-kota besar di Indonesia ini menunjukkan betapa generasi muda adalah bagian penting dalam kaderisasi penolakan Pancasila dan penumbuhan ideologi.

Jika generasi muda yang disasar tidak mengherankan jika pelaku teror pun sudah mengalami regenerasi dari tua ke muda. Anak muda seperti ZA yang menganggap demokrasi dan Pancasila sebagai ajaran kafir adalah contoh kecil yang mungkin masih banyak dari mereka saat ini tidak sadar dan hanya menunggu paparan doktrin yang meningkat menjadi anjuran kekerasan.

Karena itulah, penting bagi generasi muda untuk mewaspadai. Jika ada gerakan baik tersembunyi maupun terbuka yang mengajak kalian masuk dalam komunitas dengan kedok aktifitas apapun dengan doktrin mengkafirkan sistem yang ada, mengharamkan nasionalisme dan sistem yang ada, yakinlah itu bagian awal indoktrinasi untuk direkrut dalam jaringan radikal terorisme. Sadari sejak dini atau anda menyesal harus berpisah dengan keluarga dan orang yang dicintai. Pengalaman dan fakta membuktikan itu!

Facebook Comments