Memaknai Al Wala’ tentang Ayat Larangan Berteman dengan Non Muslim

Memaknai Al Wala’ tentang Ayat Larangan Berteman dengan Non Muslim

- in Keagamaan
88
0
Memaknai Al Wala’ tentang Ayat Larangan Berteman dengan Non Muslim

Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia menyita perhatian banyak pihak. Kesuksesan Indonesia menjadi tuan rumah patut diapresiasi. Namun, masih tersisa narasi dari para “pencandu kebencian” yang memang tidak senang dengan indahnya kebersamaan dalam perbedaan.

Salah satu yang menjadi sorotan keakraban dua tokoh agama, sebutlah Imam Besar Masjid Istiqlah, Prof Nazaruddin Umar dengan Paus. Dalam beberapa foto di media, keduanya tampak menunjukkan kebersamaan yang sangat luar biasa dan mengharukan. Namun, bagi kelompok pencandu kebencian, narasi yang muncul adalah kebencian terhadap kebersamaan Paus dan Imam Besar Masjid Istiqlal yang telah melanggar konsep al-wala’ wal bara’.

Mari kita lihat dalil yang selalu dijadikan alasan mereka yang sepertinya enggan berteman dekat dengan non muslim. Ayat Al-Maidah : 51 dijadikan salah satu dasar larangan berteman atau dalam pengertian lain mengangkat pemimpin non muslim. Ayat ini menjadi langganan dasar hukum bagi larangan untuk memiliki teman non muslim. Namun, sebegitu sempitkah pergaulan umat Islam?

Ayat tersebut menegaskan : “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(mu); mereka satu sama lain saling melindungi. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (QS : Al-Maidah 51).

Untuk memahami Q.S. al-Ma’idah: 51, Sahiron Syamsuddin, pakar ilmu tafsir memberikan panduan untuk melihatnya melalui tiga aspek: bahasa, konteks historis, dan ide moral yang terkandung di dalamnya. Banyak tafsir dan penafsiran yang berbeda terkait dengan ayat ini, yang menunjukkan bahwa pemahaman yang mendalam tidak bisa dicapai hanya dengan membaca secara literal.

Artinya, butuh pemahaman yang komprehensif agar tidak terjebak pada pemahaman yang tektual yang terkesan mencomot ayat lepas dari konteks dan semangat pelajarannya. Pemahaman ini dibutuhkan agar al-Quran dipahami tidak sekedar kitab suci yang tidak mempunyai kandungan semangat masa lalu dan pandangan visi ke masa depan.

Misalnya, Kataawliya’dalam ayat tersebut sering diterjemahkan secara berbeda oleh berbagai ulama dan penerjemah. HAMKA mengartikannya sebagai “pemimpin-pemimpin.” Namun, penafsiran ini sebenarnya cukup berbeda dari makna yang diberikan oleh para ulama klasik. Misalnya, Muhammad ibn Jarir al-Thabari menafsirkanawliya’sebagai “anshar wa hulafa’” yang berarti penolong dan aliansi atau teman dekat. Jika memahami konteks ayat tersebut kataawliya’ lebih merujuk pada teman dekat atau penolong daripada pemimpin pemerintahan. Mari kita lihat konteksnya.

Ayat ini turun dalam konteks tertentu yang sangat penting untuk dipahami. Para ulama berpendapat bahwa ayat ini memiliki beberapasababun nuzul(sebab-sebab turunnya ayat) yang beragam. Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ayat ini berkaitan dengan kisah ‘Ubadah ibn al-Shamit yang tidak lagi mempercayai kaum Yahudi dan Nasrani di Madinah sebagai aliansi yang bisa membantu umat Islam dalam peperangan, sementara ‘Abdullah ibn Ubayy ibn Salul masih mempercayai mereka. Ada pula riwayat yang mengaitkan ayat ini dengan kekhawatiran umat Islam menjelang Perang Uhud, di mana beberapa dari mereka mencoba meminta bantuan kepada kaum Yahudi dan sebagian lain ke Nasrani.

Dengan melihat keragaman pendapat tentang sebab turunnya ayat ini, sejatinya bisa diambil poinnya bahwa konteks turunnya ayat ini adalah situasi peperangan. Kondisi tersebut menuntut kehati-hatian dalam memilih aliansi sangat diperlukan. Ayat ini bukan berbicara tentang pertemanan dalam situasi damai atau pemilihan pemimpian, melainkan tentang pentingnya memilih aliansi yang dapat dipercaya dalam situasi krisis.

Dalam kondisi perang yang membutuhkan aliansi perlu kehati-hatian dalam membangun kerjasama. Ayat ini memberikan panduan umat Islam untuk tidak mudah membangun aliansi dengan mereka yang dianggap mempunyai potensi merugikan umat Islam. Apalagi dengan Yahudi yang memiliki track record penghianatan terhadap perjanjian Madinah.

Dengan memahami konteks tersebut, kita sampai pada pemahaman ide moral yang terkandung di dalamnya. Ayat ini mengajarkan pentingnya berteman dan beraliansi dengan orang-orang yang dapat dipercaya, khususnya dalam situasi yang sangat krusial seperti peperangan. Umat Islam tidak boleh asal percaya dengan komunitas lain yang dianggap berpotensi merusak keamanan umat Islam.

Karenanya ayat ini tidak ada hubungannya dengan larangan memilih pertemanan dalam konteks hubungan di negeri yang damai. Bukan larangan membuat kesepakatan dengan non muslim dalam kondisi untuk membangun kesepakatan bersama. Bukan larangan untuk memilih pertemanan dalam kehidupan sosial yang damai.

Jika ayat ini dipaksakan dalam konteks kondisi yang damai sementara semangatnya dalam kondisi krisis, tentu akan memeralat makna sebenarnya. Namun, bukan berarti ayat ini tidak berfungsi. Ayat ini menjadi pelajaran dalam kondisi seperti krisis dan perang agar tidak mudah membangun aliansi dengan mereka yang berpotensi merusak umat Islam. Ayat ini memberikan peringatan tentang pentingnya memilih aliansi yang dapat dipercaya dan menjaga komitmen dalam situasi yang penuh tantangan.

Karena itulah, menjadikan ayat ini sebagai larangan memiliki pertemanan tentu tidak tepat. Banyak sekali sirah perjalanan rasul yang membangun aliansi dan bahkan meminta perlindungan kepada pemimpin non muslim. Banyak sekali pelajaran bagaimana Rasulullah berinteraksi dengan toleran dan diplomatis dengan yang berbeda dalam kondisi damai.

Facebook Comments