Memantapkan Syariat Pancasila

Memantapkan Syariat Pancasila

- in Narasi
1728
0

Adalah Ki Bagus Hadikusomo, tokoh Muhammadiyah perumus Pancasila, konon sebagai orang muslim (anggota sidang BPUPKI I dan II) yang terakhir menerima sila I, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, berdasarkan revisi dari sila I versi piagam Jakarta yang menyebutkan “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Mengapa demikian?

Ki Bagus Hadikusumo semula menolak perubahan itu, tetapi setelah diyakinkan oleh rekan seperjuangannya, Teuku Muhammad Hassan, KH Wahid Hasyim, dan Kasman Singodimedjo, bahwa Pancasila sebagai ideologi bangsa sama sekali tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, dan Ketuhanan Yang Maha Esa dapat dimaknai sebagai konsep tauhid.

Sejak itulah, para pendiri bangsa kita memiliki kesamaan persepsi, yaitu keseluruhan nilai-nilai sila dalam Pancasila sangat cocok dengan prinsip-prinsip universal semua agama, norma adat, seperti konsep ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, keadilan sosial, dan karenanya tidak relevan jika kemudian hari-hari ini sebagian kalangan berusaha membenturkan keduanya (Pancasila dan Islam).

Syariat Islam dapat diimplementasikan di Tanah Air tetapi tidak dalam bentuk formal. Lewat Pancasila, kata Soekarno, bungkusnya memang tidak dari agama tertentu, tetapi isi yang terkandung di dalamnya terinspirasi dari agama dan tradisi leluhur bangsa, sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan. Pancasila dalam perspektif Islam, dapat dikatakan sebagai syariat (aturan main, ketentuan) itu sendiri. Saya menyebutnya, “syariat Pancasila”.

Lima sila dan Islam

Pertama, makna Ketuhanan Yan Maha Esa, sesuai dengan Q.S al-Ikhlas: 1, “Katakanlah (Muhammad): Dialah Allah Yang Maha Esa”, yang merupakan pengejawantahan konsep tauhid. Konsekuensi dari konsep ini menunjukkan kalau masyarakat Indonesia menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan sebagai bangsa yang religius. Itulah sebabnya, sila I Pancasila juga menjadi sumber utama nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia, yang menjiwai dan mendasari serta membimbing perwujudan sila II sampai dengan sila V.

Indonesia bukanlah negara agama, dan juga bukan negara sekuler, tetapi negara Pancasila atau negara yang didirikan atas landasan Pancasila. Negara menjamin kepada warga negara dan penduduknya untuk memeluk dan beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya, seperti tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945.

Kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab, sesuai dengan Q.S al-Nisa’: 135, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan…”. Sila ini mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi ruhani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya, baik pada diri pribadi, sesama manusia maupun pada alam sekitarnya/lingkungan.

Manusia harus saling menghormati, tidak memandang rendah atau merendahkan satu sama lain, apalagi memperbudak terhadap sesamanya, karena di hadapan Tuhan status manusia sama, sedang yang membedakan hanyalah ketakwaan terhadap-Nya.

Ketiga, persatuan Indonesia, sesuai dengan Q.S al-Hujarat: 13, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”. Persatuan mengandung pengertian bersatunya macam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia.

Keempat, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan/perwakilan, sesuai dengan Q.S al-Syura: 38, “… sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antar mereka”, yang merupakan cerminan dari sistem demokrasi. Perwakilan adalah suatu sistem dalam arti tata cara atau prosedur dengan mengusahakan turut sertanya rakyat untuk mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui badan atau lembaga-lembaga perwakilan yang ada.

Jadi yang dimaksud sila IV ini ialah kekuasaan yang dijalankan dengan mengatasnamakan itu ditempuh melalui sistem perwakilan, dan keputusan-keputusan yang diambil diselenggarakan melalui jalan musyawarah yang dipimpin oleh rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, maupun kepada rakyat yang diwakilinya/rakyat banyak.

Kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan Q.S al-Nahl: 90, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan…”. Keadilan berasal dari kata adil, yang berarti tidak berat sebelah. Sedangkan keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam musyawarah di segala bidang kehidupan, baik materil maupun spiritual.

Sila ini merupakan tujuan dari empat sila yang mendahului, sebagai tujuan bangsa Indonesia dalam bernegara, yang perwujudannya ialah tata masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Sampai di sini, adakah makna Pancasila yang buruk, bertentang dengan semua ajaran agama, termasuk Islam? Jelas tidak.

Karena itu, jikalau muncul kelompok atau individu yang mengganggu keharmonisan ajaran Islam dengan ideologi Pancasila mungkin tidak melakukan kajian dan internalisasi hubungan keduanya yang justru sangat erat. Ideologi—yang lazim dikenal sebagai trans-nasional, seperti kampanye khilafah islmiyah, negara syariah, dan sejenisnya, tidak mempunyai dasar yang kuat untuk merombak ideologi Pancasila yang telah kokoh diterima di dalam sanubari rakyat Indonesia.

Lalu, buat apa hendak coba menegakkan negara khilafah, jika justru bermasalah?

Facebook Comments