Yang harus ditegaskan adalah, apakah al wala’ wal bara’ kontradiktif dengan ajaran Islam? Tidak. Selama dipahami secara syamil dan komprehensif dan dengan penalaran intelektual yang jujur, ia tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.
Sama seperti ayat al Qur’an, manakala dipahami secara harfiah, tidak jujur dan penuh kepentingan akan keluar dari makna kebenarannya. Dengan demikian, pemahaman yang Syamil, komprehensif dan dengan penalaran yang jujur merupakan syarat mutlak menemukan kebenaran makna dari teks-teks agama.
Sebaliknya, teks-teks (nash) akan lepas dari maksud sebenarnya dan bertentangan seratus delapan puluh derajat dengan ajaran Islam manakala dipahami dengan ego kebencian dan tafsir yang didorong oleh hawa nafsu. Misalnya, beranggapan bahwa orang kafir adalah musuh yang harus diperangi secara mutlak sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Karena dalam kesejarahan Islam, Nabi di Madinah justru hidup bersama secara damai dengan non muslim.
Karenanya, al Wala’ wal Bara’ tidak boleh dipahami secara dangkal dan beku, karena ia memiliki batasan-batasan yang yang tidak boleh dilampaui. Sehingga dalam memahami konsep ini tidak boleh terlepas dari lima hal berikut.
Pertama, umat Islam tidak boleh memusuhi orang kafir karena tetap memeluk agama mereka semula. Memusuhi, membenci atau memerangi orang kafir dengan alasan mereka tetap patuh terhadap agama nenek moyangnya tidak diperbolehkan oleh aturan Islam. Kecuali kalau mereka menampakkan permusuhan dengan umat Islam atau bermaksud mengusir kaum muslimin dari negara atau tempat tinggalnya.
Kedua, tidak boleh berlebih-lebihan dalam praktiknya, karena ghuluw (ekstrem) dalam konteks al wala’wal bara’ merupakan kesalahan.
Ghuluw atau berlebih-lebihan dalam al wala’ wal bara’ sangat dilarang karena akan berakibat pada pemahaman yang ekstrem. Ghuluw dilarang karena terjadi akibat lemah dan dangkal dalam memahami agama. Sehingga gagal memahami ajaran agama sesuai perspektif syariat Islam yang benar.
Ketiga, tetap belas kasih dan bersikap lemah lembut terhadap kafir dzimmi (orang-orang kafir yang bersedia hidup damai berdampingan dengan umat Islam). Mereka tidak boleh disakiti, boleh hidup di negara yang dikuasai umat Islam dan tidak boleh memaksa mereka untuk memeluk Islam. Relasi muslim-non muslim telah diatur oleh syariat Islam seperti praktik Nabi sewaktu memimpin Madinah.
Keempat, walaupun demikian, umat Islam tidak boleh menyebrang dengan membenarkan akidah dan kekufuran mereka. Tiga poin sebelumnya, hanya sebatas relasi sosial yang sifatnya duniawi. Artinya, umat Islam hanya menghormati, hidup damai berdampingan, tidak memaksakan agama dan keyakinan. Tidak lebih hanya itu.
Al Wala’ wal Bara’ dalam Konteks Keindonesiaan
Harus dipahami, al Wala’ wal Bara’ bukanlah perintah yang menegasikan perdamaian, kerukunan, persaudaraan dan saling menghormati antar umat beragama. Memahami al Wala’ wal Bara’ harus paralel dengan ayat al Qur’an yang tegas mengatakan “Tidak ada paksaan dalam (urusan) agama”.
Agenda-agenda al Qur’an tentang persatuan, keadilan, kedamaian dan kesejahteraan begitu jelas. Maka, kalau al Wala’ wal Bara’ kemudian menegasikan hal tersebut berarti menyalahi aturan syariat Islam.
Kesimpulannya, al Wala’ wal Bara’ benar adanya sebagai bagian syariat Islam untuk mengokohkan keimanan. Tapi, ia juga tidak menegasikan nilai kemanusiaan yang juga dihormati oleh Islam.
Al Wala’ wal Bara’ menemukan relevansinya dalam situasi seperti saat invasi tentara Tar-tar yang meluluhlantakkan daerah kekuasaan umat Islam. Sangat mungkin Ibnu Taimiyah memfatwakan al Wala’ wal Bara’ untuk situasi seperti itu. Bukan dalam situasi damai seperti saat ini. Dengan demikian, telah terjadi kesalahan komunikasi intelektual antara Ibnu Taimiyah dan pengikutnya hari ini.