Sudah 76 tahun Indonesia merdeka tapi kita masih tidak menerima minoritas. Tanggal 14 Agustus 2021 lalu, terjadi penyegelan Masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan Kecamatan Tempunak Kabupaten Sintang yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Sintang dan jajaran Forkompinda disana. Ihwal penyegelan tersebut sebagai buntut dari tuntutan Aliansi Umat Islam Kabupaten Sintang yang menolak keberadaan jamaah Ahmadiyah disana.
Kasus seperti ini memang bukan pertama kalinya. Sejak 2015 jamaah Ahmadiyah dibeberapa lokasi tanah air kerap mengalami perlakuan diskriminatif dengan alasan sesat. Padahal, sebelumnya mereka diterima dengan baik dan hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat dari latar agama apa saja. Tapi entah kenapa sejak 2015 silam banyak terjadi kasus peminggiran dan diskriminasi yang menyebabkan penganut Ahmadiyah harus kehilangan kesempatan untuk beribadah dan bahkan kehilangan harta.
Ironi mencengangkan ini memantik otak kita untuk berpikir dan bertanya, dimana kejelasan Undang-undang Dasar 1945 yang dengan tegas menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Dari sisi historis Ahmadiyah juga bukan pendatang baru, sejak era sebelum kemerdekaan Ahmadiyah telah ada, bahkan mereka juga memberikan kontribusi signifikan terhadap kemerdekaan Indonesia. Tapi kenapa mereka dikucilkan, diasingkan, disakiti, rumah ibadahnya disegel, bahkan sebelumnya sampai rumah mereka dihancurkan dan mereka diusir dari kediamannya.
Untuk mengisi kemerdekaan dan membangun negara kita butuh persahabatan, kerukunan, toleransi, sikap saling menghargai dan saling menghormati, bukan permusuhan dan peminggiran sesama anak bangsa. Yang kita butuhkan adalah bergandengan tangan, bahu-membahu, dan bekerjasama supaya negeri ini bisa bangkit dari keterpurukannya. Tekhnologi bangsa ini jauh ketinggalan, ekonominya juga. Masihkan bangsa ini akan terus disibukkan oleh tindakan-tindakan intoleran dengan dalih-dalih agama?
Kalaupun Ahmadiyah dianggap sesat oleh agama tertentu, tidak sewajarnya menyikapinya dengan tindakan anarkis. Apalagi sampai membunuhi mereka atau mengusir dan menghancurkan tempat tinggalnya. Sebab kalau demikian, berarti kita telah melanggar nilai-nilai dan norma keadaban. Tindakan pengusiran dan pembunuhan adalah tragedi kemanusiaan, dan agama apapun mengecamnya. Kalau begitu, kita tak ada bedanya dengan teroris yang melakukan pembunuhan tak manusiawi dan kita semua mengutuknya sebagai kekejaman yang hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia yang tidak beragama. Jangan menyangka dengan melakukan tindakan intoleran tersebut kita telah menjalani iman, justeru telah melanggar iman.
Tragedi penyegelan Masjid Ahmadiyah di Kabupaten Sintang membuktikan hilangnya semangat persatuan, kebersamaan dan solidaritas antar sesama. Punahnya rasa kemanusiaan serta langkanya sifat toleransi yang telah diajarkan oleh para pendahulu bangsa.
Untuk membangun bangsa ini kita harus menghilangkan sifat yang menganggap mayoritas merasa terancam oleh minoritas, minoritas punya potensi merusak yang mayoritas, berbeda dan sesat. Karenanya, penyegelan, kekerasan atau perusakan harus dilakukan. Terlalu jahiliah kalau berpikir seperti itu.
Kemajuan, kemakmuran, kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat Indonesia bisa terwujud dengan kerjasama yang baik oleh semua masyarakat, apapun agama dan keyakinannya, apapun etnisnya. Yang dibutuhkan adalah bergandengan tangan bersama membangun negara, lebih-lebih untuk keutuhan dan kedaulatan NKRI. Permusuhan hanya akan menimbulkan perpecahan dan pertikaian. Akibatnya pasti kehancuran. Mari kita memajukan negara ini bersama-sama.