Membangun Peradaban Damai untuk Negeri

Membangun Peradaban Damai untuk Negeri

- in Narasi
1733
0

Peradaban suatu bangsa ditentukan oleh tingkat kualitas keilmuan, integritas dan kapabilitas rakyat serta pemimpinnya. Sehingga dengan keilmuan yang tangguh suatu bangsa mampu keluar dari berbagai masalah yang krusial. Termasuk dalam konteks Indonesia upaya kelompok radikalisme yang selalu merongrong keutuhan NKRI dari segala penjuru dengan dalih agama akan bisa dikalahkan. Tentu dengan prasyarat apabila kita semua memiliki komitmen nasionalisme yang kokoh untuk selalu mencintai NKRI.

Kita bisa menyaksikan maraknya aksi persekusi, bullying, permusuhan atas dasar SARA telah menjadi persoalan serius bangsa ini. Padahal kita hidup di Indonesia sudah memiliki landasan yang jelas yaitu pancasila sebagai filosofi dasar bangsa, dan bhinneka tunggal ika sebagai semboyan kita. Terus pertanyaannya, apakah kita akan diam apabila NKRI terus dirongrong oleh kelompok radikalisme? Tentu tidak, sebagai pemuda kita harus ikut turun tangan merajut NKRI sesuai dengan kemampuan kita masing-masing.

Nafsu Perang di Negeri Damai

Apabila kita telisik lebih dalam, kondisi kebangsaan kita terus menerus mengalami ujian. Aktor utama yang paling membahayakan ialah dari kelompok radikalisme dan terorisme. Mereka selalu menggunakan segala cara dan momentum untuk menyebarkan aksinya dan mencari simpatisan sebanyak-banyaknya. Taruhlah mulai dengan membanjiri media sosial dengan ujaran kebencian (hate speech), propaganda radikalisme, tingkah laku kefanatikan buta (ta’assub). Ujung-ujungnya nantinya menggunakan idiom “Islam” untuk mencari simpatisan, dengan dalih berperang membela Islam.

Padahal asabiyah merupakan pemahaman dan tindakan yang berbahaya, bisa meruntuhkan peradaban bangsa menuju kehancuran. Lihatlah kehancuran rezim Umayyah akibat penyelewengan mereka, akibat sikap kefanatikan buta terhadap tokoh yang mereka idolakan, tanpa sikap kritis sama sekali, otomatis ketika salahpun atau melenceng akan tetap diidolakan.

Makanya ada hadis Nabi yang menjelaskan bahwa barang siapa mati dalam paham asabiyah, maka ia mati dalam keadaan jahiliah. Inilah bahayanya fanatik buta terhadap tokoh maupun ajaran tanpa harus mengkaji lebih dalam. Tentu ini yang selalu digemborkan oleh kelompok radikalisme, yakni fanatik buta dan loyal tanpa rasionalitas yang mendalam. Padahal dalam Islam sendiri sifat kritis dan terbuka menjadi ajaran al-Qur’an, lihatlah banyak al-Qur’an menyindir kita dengan afala ta’qiluun, afala yatadabbarun, itulah ketinggian Islam menempatkan fungsi akal sebagai salah satu instrumen alat untuk membunyikan wahyu Ilahi.

Setelah itu propaganda perang, seperti yang masif di dunia maya kita. Dengan propaganda bahwa pemerintah kita kafir, orang di luar kita kafir, maka halal dan harus dilawan. Sungguh pemahaman agama yang kusut dan kalut. Padahal negeri kita aman dan damai, mirip dengan sistem Madinah di zaman Nabi.

Dalam masyarakat Madinah (berperadaban) zaman Rasulullah perang diizinkan jika memang keadaan mengharuskan demikian. Semisal untuk menghadapi musuh-musuh yang bisa menggerogoti peradaban bangsa. sesuai dalam al-Qur’an surat al-Hajj/ 22 : 39-41. Deklarasi izin perang kepada Nabi dan kaum beriman itu jelas sekali perang dalam masyarakat madani untuk keperluan mempertahankan diri, melawan dan mengalahkan kedzaliman. Perang untuk membela agama dan sistem keyakinan. (Nurcholish Madjid, h 165-166, 1999).

Dalam konteks Indonesia prasyarat diperbolehkannya perang sama sekali tidak terpenuhi, karena negara kita juga mirip atau terilhami dari sistem Madinah seperti yang dipraktekkan Rasulullah saw. Ialah Indonesia yang aman dan damai di bawah naungan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Seperti dalam bahasa NU sebagai darussalam, dalam bahasa Muhammadiyah sebagai darul ahdi wa syahadah.

Membangun masyarakat berperadaban, sesuai dengan yang ditegakkan Nabi, selalu bersendikan semangat rabbaniyah atau ribbiyah. Sesuai dalam al-Qur’an surat Ali-Imran /3: 79 dan Ali-Imran /3: 146. Semangat rabbaniyah atau ribbiyah jika dilakukan dengan tulus dan sejati akan memancarkan dalam semangat perikemanusiaan, yaitu semangat insaniyah atau basyariyah. Dimensi hidup horizontal (sesama) manusia, hablum minannnas. Sehingga akan menciptakan hubungan antar manusia dengan penuh keluhuran budi. Ini sesuai dengan misi profetik diutusnya Nabi Muhammad saw yakni untuk menyempurnakan keluhuran budi umat manusia. Sesuai dalam hadis; sesungguhnya aku diutus untuk agar aku menyempurnakan berbagai keluhuran budi. (Nurcholish Madjid, h 167-168, 1999).

Sesuai dalam al-Qur’an surat al-Hujurat/49:12, dijelaskan bahwa ajaran kemanusiaan yang suci membawa konsekuensi logis untuk selalu berprasangka baik (husn al dzan) bukan malah prasangka buruk (su’ud dzan). Pandangan buruk selalu berpangkal dari pandangan yang negatif dan pesimis terhadap sesama manusia. (Nurcholish Madjid, h 177, 1999).

Begitulah keluhuran agama Islam, sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kedamaian. Indonesia sudah sangat Islami dan damai, jangan kotori Indonesia dan Islam dengan aksi radikalisme terorisme. Jadi sudah sangat jelas, bahwa nafsu perang di negeri damai kelompok terorisme itu hanya tindakan liar dan tidak berdasar sama sekali.

Maka, tugas kita sekarang ini melakukan kontra narasi propaganda di dunia maya. penuhi dunia maya dengan konten perdamaian yang menyejukan, saling merajut tali persaudaraan antar anak bangsa. Jangan sampai kita menjadi budak atau agen kelompok radikalisme, yang malah akan durhaka dengan bumi pertiwi kita. Peradaban bangsa yang unggul ialah jika seluruh elemen bangsa mampu mewujudkan kedamaian untuk semesta, dan itu sangat selaras dengan ajaran Islam. Mari bersatu membangun peradaban negeri yang damai dan harmonis. Wallahu a’lam

Facebook Comments