Konflik antara Palestina dan Israel belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Sebulan lebih dua kekuatan, yakni Hamas dan Israel saling berbalas serangan. Kekuatan yang tidak berimbang tentu menimbulkan korban lebih banyak di pihak Palestina.
Kurang lebih 12 ribu warga Palestina tewas selama lebih dari sebulan kecamuk perang tersebut. Ironisnya, sebagian korban di antaranya adalah anak-anak dan perempuan yang notabene merupakan warga sipil tidak berdosa.
Tragedi kemanusiaan yang dialami warga sipil Palestina terutama di kawasan Gaza itu tentu memantik simpati dan empati warga Indonesia. Ada sejumlah alasan mengapa simpati terhadap Palestina mengalir dari warga Indonesia.
Alasan pertama, secara historis bangsa Indonesia pernah merasakan pahitnya hidup di bawah kolonialisme bangsa asing. Latar historis inilah yang membuat masyarakat Indonesia bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Palestina.
Alasan kedua tentunya adalah kesamaan latar teologis, yakni bahwa mayoritas warga Palestina adalah muslim. Perasaan sebagai sesama muslim inilah yang memunculkan spirit ukhuwah islamiyyah. Sebagai sesama muslim, kita tentu ikut merasakan penderitaan saudara-saudara kita di Palestina.
Alasan ketiga, terkait pengalaman politis, yakni bahwa Palestina termasuk negara yang sejak awal mengakui kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan pada 17 Agustus 1945. Dukungan Palestina itu sangat berarti bagi Indonesia yang saat itu tengah menggalang dukungan internasional agar mengakui kemerdekaan dan kedaulatan NKRI.
Tiga alasan itulah yang melatari munculnya solidaritas kemanusiaan masyarakat Indonesia pada warga Palestina. Meski demikian, penting diketahui bahwa Indonesia sama sekali tidak mendukung segala bentuk kekerasan, perang, apalagi teror atas nama apa pun. Begitu juga dalam isu konflik Palestina-Israel, Indonesia sejak awal berkomitmen pada solusi damai yang memungkinkan berakhirnya kekerasan dan perang.
Solidaritas Lintas-Golongan untuk Palestina
Secara resmi, dalam forum-forum internasional, pemerintah Indonesia selalu mendorong terwujudnya solusi dua negara (two solution state). Gagasan ini diyakini akan menjadi jalan terwujudnya kehidupan yang adil, damai, dan harmonis bagi warga Palestina dan Israel. Solusi dua negara ini berangkat dari prinsip konstitusi yakni UUD 1945 yang tidak menoleransi penjajahan.
Tidak hanya di level pemerintahan, solidaritas dan dukungan terhadap Palestina juga menjadi gerakan kolektif di tengah umat. Seruan bela Palestina bergema di dunia maya dan berlanjut dengan aksi konkret di dunia nyata. Seruan boikot segala produk barang dan jasa buatan Israel menggema di tengah umat dan mendapat validasi dari sejumlah lembaga keagamaan termasuk PP. Muhammadiyah dan MUI.
Kalangan Nahdlatul Ulama melalui sejumlah ulama khos-nya telah menyerukan umat Islam untuk menjalankan shalat ghaib bagi korban perang di Palestina dan pembacaan doa qunut Nazilah saban shalat wajib. Sejumlah pesantren dan sekolahan Islam juga menggerakkan santri dan siswanya untuk memanjatkan doa bagi keselamatan warga Palestina.
Tidak hanya itu, donasi pun mengalir deras untuk Palestina dari beragam penggalangan donasi. Menariknya, solidaritas masyarakat Indonesia terhadap warga Palestina itu tidak hanya datang dari kalangan muslim saja. Komunitas Katolik dan Kristen pun menggelar doa bersama untuk keselamatan warga Palestina dan terwujudnya perdamaian dua negara.
Penguatan Soliditas Kebangsaan di Tengah Polemik Palestina
Ini menunjukkan bahwa isu Palestina adalah isu kemanusiaan yang melampaui sekat-sekat keagamaan. Penguatan solidaritas Palestina idealnya memang sejalan dengan penguatan soliditas kebangsaan. Konflik Palestina-Israel idealnya menjadi momentum bagi seluruh entitas bangsa untuk bersatu dan melupakan sentimen permusuhan yang selama ini menghantui relasi kebangsaan kita.
Jangan sampai, konflik Palestina-Israel justru menjadi arena pertempuran wacana baru yang menimbulkan polarisasi dan segregasi di tengah umat dan masyarakat. Penguatan solidaritas kemanusiaaan (Palestina) dan soliditas kebangsaan ini harus dilakukan dalam satu tarikan nafas. Lantas, bagaimana caranya?
Langkah pertama, memahami isu Palestina sebagai konflik perebutan wilayah yang dibungkus oleh sentimen identitas keagamaan. Konflik Palestina-Israel bukanlah perang antara Islam dan Yahudi. Penting dicatat bahwa penduduk Paletina tidak dimonopoli umat Islam saja, melainkan ada pula komunitas Kristen. Demikian pula, tidak semua bangsa Yahudi dan penduduk Israel mendukung agenda zionisme dan penjajahan terhadap Palestina.
Kedua, memposisikan perjuangan rakyat Palestina sebagai bentuk nasionalisme dan patriotisme untuk lepas dari penjajah, dan bukan bagian dari proyek khilafahisme dan daulahisme. Ketiga, bersikap kritis terhadap segala narasi propaganda di media sosial yang mengangkat isu Palestina. Di tengah derasnya pemberitaan tentang Palestina, umat harus memiliki kemampuan untuk memfilter mana informasi yang valid dan mana yang hoaks.
Penguatan soliditas kebangsaan di tengah panasnya isu Palestina ini penting mengingat banyak pihak berusaha mengeksploitasi polemik ini untuk memprovokasi dan mengadu-domba umat Islam Indonesia. Seperti kita lihat belakangan ini, kaum radikal mulai mendompleng isu Palestina untuk mengampanyekan khilafah. Fenomena seperti inilah yang harus diwaspadai bersama.
Arkian, membangun solidaritas kemanusiaan untuk Palestina adalah sebuah kewajiban kita sebagai wujud simpati dan empati. Namun, memperkuat soliditas kebangsaan juga merupakan kebutuhan untuk mencegah anasir radikal-ekstrem yang berusaha memperkeruh suasana dan memecah-belah umat.