Ibarat pertunjukkan teater, panggung politik nasional kita diisi oleh beragam aktor. Mulai aktor utama, aktor pembantu, dan para figuran. Para tokoh kunci dalam panggung politik bisa disetarakan dengan aktor utama dalam sebuah pertunjukan teater. Merekalah penentu jalannya percaturan politik. Akan kemana bidak catur berjalan, merekalah yang menentukan langkahnya.
Sedangkan para pengamat, ahli, atau akademisi bisa dikatakan sebagai aktor pendukung. Tugas mereka ialah menghadirkan sudut pandang baru dalam membaca peta politik nasional. Terakhir, para aktor figuran merujuk pada kelompok pemandu sorak yang selama ini meramaikan kontestasi politik. Merekalah para simpatisan dan pendukung di akar rumput.
Namun, di tengah hiruk-pikuk panggung politik itu, selalu ada individu atau kelompok yang berusaha mengail di air keruh. Mereka berusaha membonceng sengitnya kontestasi politik untuk memecah-belah bangsa dari dalam. Mereka ini tidak lebih dari parasit demokrasi yang sesungguhnya. Meminjam istilah ulama moderat asal Suriah, al Buthi, golongan itu dinamakan sebagai Ashabul Fitnah.
Tiga Karakter Ashabul Fitnah
Menurut al Buthi, kaum Ashabul Fitnah ini dicirikan dengan tiga karakter. Pertama, gemar dan mudah mengkafirkan kelompok yang berbeda pandangan politik dengan mereka. Bagi kaum Ashabul Fitnah, individu atau kelompok yang berbeda pandangan keagamaan juga politik merupakan musuh yang harus dienyahkan.
Kedua, gemar mengkotak-kotakkan umat berdasarkan afiliasi mazhab dan aliran politiknya. Golongan Ashabul Fitnah mengklaim dirinya sebagai paling benar. Maka dari itu, ia mengeksklusi kelompok lain yang berbeda mazhab agama dan aliran politik.
Ketiga, gemar menyerang para pemikira Islam moderat dengan label kafir, murtad, dan sebagainya. Kaum Ashabul Fitnah menilai kaum moderat sebagai batu sandungan mereka dalam mewujudkan agenda politiknya. Maka, mereka menjadikan kaum moderat sebagai sasaran tembaknya.
Dalam konteks Indonesia, keberadaan Ashabul Fitnah di panggung politik ini diwakili oleh kelompok-kelompok yang selama ini gemar mendelegitimasi pemerintah dengan beragam stigmatisasi. Mulai dari menyebut pemerintah zalim, pemerintah Islamofobia, sampai menyebut pemerintah thaghut. Mereka juga secara terang-terangan menolak demokrasi dan Pancasila karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Memasuki tahun politik, keberadaan kaum Ashabul Fitnah itu kian nyata adanya. Mereka berselancar di atas isu-isu sosial, politik, dan agama yang menjadi trending topic di tengah masyarakat. Di setiap isu apa pun, mereka selalu hadir untuk menghasut, memprovokasi, dan mengadu-domba umat. Senjata andalan mereka ada dua, yakni hoaks dan ujaran kebencian.
Manuver kaum Ashabul Fitnah ini sebenarnya mudah dideteksi. Mereka kerap memakai bahasa dan jargon agama untuk mendeskreditkan pemerintahan yang sah atau calon pemimpin tertentu. Siapa pun yang berseberangan dengan agenda politik mereka akan diserang dengan beragam fitnah dan ujaran kebencian yang dibalut nuansa keagamaan.
Mereka juga tidak segan mengeksploitasi ajaran dan simbol agama untuk tujuan politik. Misalnya dengan memelintir ayat Alquran atau hadist demi menyerang lawan politik. Praktik manipulasi agama ini seolah telah menjadi ciri khas kelompok Ashabul Fitnah.
Membendung Ashabul Fitnah di Tahun Politik
Sebagaimana disebut di atas, keberadaan Ashabul Fitnah ini ibarat benalu atau parasit dalam sistem demokrasi kita. Mereka, para tukang fitnah itu menggerogoti demokrasi dari dalam. Akibatnya, masyarakat terpecah-belah dan hidup dalam nuansa kecurigaan bahkan kebencian. Maka dari itu, kita perlu membendung manuver kaum Ashabul Fitnah, terutama dalam konteks tahun politik ini.
Hal pertama yang wajib dilakukan ialah mensterilkan media sosial dari konten hoaks dan ujaran kebencian berlatar agama dan politik. Hal ini penting mengingat medsos terutama Instagram dan TikTok akan menjadi arena battle ground baru di ajang Pemilu dan Pilpres 2024. Banyak kalangan juga meyakini bahwa hoaks dan ujaran kebencian masih akan menjadi senjata politik di tahuun 2024.
Di titik ini, edukasi dan literasi digital bagi publik merupakan sebuah hal yang mutlak harus dilakukan. Literasi digital akan menjadi semacam anti-dotealias penawar bagi racun hoaks dan ujaran kebencian yang disebar golongan Ashabul Fitnah. Selain literasi digital, kita tentu perlu mendorong pemerintah untuk menindak tegas siapa pun yang menyebar fitnah dan ujaran kebencian
Langkah selanjutnya yang tidak kalah pentingnya ialah menjaga agar iklim demokrasi tetap sejuk dan kondusif. Kontestasi politik 2024 sebagai bagian dari demokratisasi harus berjalan aman dan damai. Untuk itu, para aktor politik, mulai dari para elite, pakar dan ahli, serta simpatisan di akar rumput agar sama-sama menahan diri untuk tidak melakukan tindakan-tindakan provokatif yang berpotensi menimbulkan gesekan sosial.
Tersebab, dimana ada gejolak sosial, disitulah golongan Ashabul Fitnah akan bersorak-sorai. Mereka akan mengeksploitasi gesekan sosial tersebut dan menciptakan konflik sosial yang lebih besar. Jika itu terjadi, maka eksistensi bangsa dan negara menjadi taruhannya.