Tepat pada hari ini (7/2//2023) atau 16 Rajab 1444 Hijriah usia NU genap satu abad. NU berdiri pada 31 Januari 1926 atau 16 Rajab 1344 Hijriah. Tema yang kini diangkat guna memuncaki peringatan Satu Abad NU adalah ”Mendigdayakan Nahdlatul Ulama Menuju Kebangkitan Baru”.
Tema ini disemangati oleh satu hadits Nabi Muhammad SAW tentang lahirnya pembaharu di setiap satu abad. Dengan itu, setelah mengarungi jalan panjang satu abad lamanya, NU hendak menegaskan, bahwa di abad kedua nantinya, NU berharap akan tampil sebagai jam’iyah yang lebih kuat lagi dengan gagasan-gagasan kebangsaan dan kemasyarakatan yang lebih segar dan menyegarkan.
Napak Tilas NU: Dari Komite Hijaz, Merawat Aswaja
Kiprah keagamaan dan kebangsaan NU begitu nyata. Bahkan, sejak awal berdirinya – yang dimulai dari Komite Hijaz – NU telah memainkan perannya dalam upaya merawat paham ahlussunnah wal jama’ah (aswaja) yang kala itu terancam virus wahabisme. Melalui Komite Hijaz itu yang diketuai KH. Wahab Hasbullah itu, para kiai pesantren mengambil langkah cepat guna mengantisipasi gelombang wahabisme di tanah Makah.
Pada tahun 1924-1925, Ibnu Saud (Raja Najed beraliran Wahabi) berhasil menaklukkan tanah Hijaz (Makah dan Madinah). Salah satu misi kepemimpinan Raja Saud adalah menghapus praktik bermadzhab di wilayah kekuasaannya. Selain itu, pihaknya juga berencana akan membongkar makam Nabi Muhammad Saw karena dianggap menjadi tempat berkembang-suburnya praktik bid’ah.
Ulama-ulama pesantren di Indonesia merasa gusar dengan misi politik Raja Sa’ud itu. Karena itu, ulama dan kiai pesantren kemudian berkumpul di kediaman KH Wahhab Hasbullah dan lalu membentuk Komite Hijaz. Komite Hijaz (yang diwakili KH. Raden Asnawi) itulah yang kemudian pergi ke Arau Saudi mewakili ulama Indonesia di Muktamar Mekah/Islam.
Ada lima usulan yang diusulkan oleh Komite Hijaz pada Muktamar Mekah itu: Pertama, soal kebebasan/kemerdekaan bermazhab di tanah Hijaz. Kedua, memohon agar tetap diperbolehkan menziarahi tempat-tempat bersejarah.
Ketiga, memohon agar pemerintah Arab Saudi mengumumkan tarif/ketentuan berhaji kepada seluruh dunia setiap menjelang musim haji. Keempat, memohon agar hukum yang berlaku di tanah Hijaz ditulis dalam bentuk undang-undang. Kelima, memohon agar pemerintah Arab Saudi merespons dua delegasi itu dalam bentuk surat.
Dua di antara usulan itu diterima. Yakni, soal kemerdekaan bermazhab dan kebolehan mengunjungi tempat-tempat bersejarah. Rentetan sejarah di atas adalah serangkaian artefak yang menunjukkan bahwa NU memainkan peran vital dalam upaya merawat paham ahlusunah wal jama’ah di tanah Hijaz secara secara khusus.
Di Indonesia, hal yang sama juga dilakukan oleh NU. Sebagai jam’iyah besar, NU terus melakukan upaya-upaya besar untuk merawat paham ahlusunah wal jama’ah. Melalui lembaga pendidikan pesantren dan sejumlah program, paham Aswaja terus dijaga dan dilestarikan. Untuk kelestarian paham Aswaja, NU menjelma serupa batalion yang senantiasa siap menjaga detap-denyup nadi Aswaja di Indonesia.
Bahkan, di dalam lanskap kebangsaan, upaya-upaya untuk menerjemahkan paham Aswaja ke dalam kerangka keindonesiaan juga terus dilakukan. Sebut saja misalnya penghapusan terminologi kafir dalam konteks sesama warga negara Indonesia. Semua itu adalah langkah dan ijtihad progresif NU guna menterjemahkan paham Aswaja yang moderat ke dalam keindonesiaan.
Kebangsaan NU: Dari Cinta, Membangun Peradaban
Selain gigih dan teguh merawat paham Aswaja yang toleran dan moderat, di dalam kerangka kebangsaan NU juga telah berkiprah banyak untuk Indonesia. Selain telah menjadi salah satu motor perjuangan kemerdekaan 1945, hingga kini NU terus berusaha menjadi garda terdepan dalam membangun peradaban Indonesia yang damai, aman, rukun, dan tentram.
Di saat ada kelompok Islam Kanan yang meragukan dan menyangkal Pancasila, NU selalu menjadi garda terdepan yang membela. Bagi NU, Pancasila bukan hanya sebatas prinsip-prinsip dasar dalam bernegara, melainkan juga merupakan inti dari perjuangan Islam yang mesti terus dijaga untuk kemaslahatan bersama.
Demikianlah kebangsaan NU. Sebab bagi NU, mencintai tanah air adalah bagian dari iman (hubbul wathan minal iman). Selain itu, bagi NU, Indonesia juga adalah NU itu sendiri. Karen itu, keberlanjutan Indonesia adalah keberlanjutan NU juga. Karena itu, ibaratnya, bagi NU, menjaga Indonesia adalah menjaga NU itu sendiri.