Membina Akhlak, Menciptakan Perdamaian

Membina Akhlak, Menciptakan Perdamaian

- in Narasi
1693
0

Pendidikan Agama Islam menempati posisi yang sangat strategis untuk menanamkan, menumbuhkan, dan mengembangkan niai-nilai perdamaian. Terlebih, paham-paham radikal terorisme yang selama ini menciptakan keresahan dan kekerasan berjalan dengan membawa nama agama Islam. Ajaran Islam yang penuh rahmat dan kasih sayang sesama manusia, dibelokkan sedemikian rupa menjadi penuh kekerasan dan selalu menebar ancaman atas nama jihad. Di sinilah, pendidikan agama Islam harus mampu menjawab persoalan tersebut dengan menyebarkan ajaran Islam yang damai, ramah, dan penuh kasih sayang terhadap sesama manusia.

Persoalannya, dunia pendidikan yang diharapkan mampu menghasilkan generasi yang anti kekerasan, ternyata tak luput juga dari pengaruh dan potensi-potensi penyebaran paham radikal. Pelbagai kasus yang terjadi beberapa tahun terakhir, seperti penemuan pada tahun 2015 tentang buku ajar Pendidikan Agama Isam (PAI) SMA di Jombang yang mengajarkan kekerasan, disusul pada tahun 2016 tentang buku panduan belajar anak TK di Depok yang mengandung unsur radikalisme, sampai kasus terakhir pada Juli 2017 tentang guru agama di Balikpapan yang diduga mengajarkan paham anti Pancasila, semua menggambarkan adanya bahaya dan potensi penyebaran paham radikal di lingkungan pendidikan.

Kasus terbaru yang tersebar di dunia maya dan sempat menggegerkan warganet adalah tentang seorang anak SD yang dibully teman-temannya di sekolah karena mirip dengan seorang mantan gubernur. Anak-anak SD yang masih belia sudah menyimpan bibit kebencian sehingga menteror temannya. Pelbagai kasus tersebut menggambarkan potensi perkembangan paham kekerasan di sekolah yang bisa muncul melalui pelbagai lini. Mulai perederan buku ajar, guru-guru agama yang justru mengajarkan kekerasan, sampai pengaruh lingkungan dan media yang menularkan kebencian di kalangan anak-anak di sekolah.

Tentang buku ajar yang memuat paham intoleransi, hal tersebut harus menjadi bahan evaluasi serius bagi seluruh stakeholder terkait. Konon Dinas Pendidikan Jombang yang menjadi tim penulis buku menganganggap apa yang disampaikan sudah sesuai sejarah dan pemikiran tokoh Islam Muhammad bin Abdul Wahab. Di sinilah persoalannya. Penulisan buku teks pendidikan agama perlu kesadaran kritik sejarah, sebab sangat rentan mengundang kesalahpahaman karena bias sejarah, bahkan keterputusan konteks (Fajar Riza Ul Haq, 2017: 156). Artinya, menulis buku ajar pendidikan agama bukan perkara mudah. Diperlukan sikap kritis dan kemampuan menghadirkan bahan bacaan yang kontekstual agar tak menimbulkan kesalahpahaman anak didik ketika mengkonsumsinya.

Membina akhlak

Persoalan tentang ancaman penyebaran paham radikal di lingkungan pendidikan memang kompleks. Diperlukan rumusan atau kontruksi yang menyeluruh untuk mengatasinya. Namun, kita bisa berpegangan pada satu prinsip yang merefleksikan inti dari ajaran Islam sebagai salah satu jalan untuk mengatasi pelbagai persoalan tersebut. Salah satunya dengan menghadirkan pendidikan dengan berparadigma akhlak. Membentuk musim yang berakhlakul karimah adalah salah satu tujuan penting pendidikan Islam. Junjungan umat Islam, Rasulullah Saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak. Maka hal ini pulalah yang mestinya menjadi titik tekan dalam proses pendidikan agama Islam.

Pentingnya pendidikan Islam berparadigma akhlak bukan tanpa alasan. Menurut Mulkhan, dkk., (1998), salah satu masalah serius Pendidikan Agama Islam (PAI) adalah problem kerangka metodologis-epistemologis; pengajaran yang masih konvesional tradisional, menitikberatkan pada aspek korespodensi-tekstual yang menekankan kemampuan menghapal teks-teks keagamaan (Muhaimin, 2001:94). Di sinilah, pendekatan berparadigma akhlak akan mengupayakan bagaimana mendidik memahami ajaran agama tak sekadar secara tekstual, melainkan terbatinkan, menjadi karakter, dan terpancarkan melalui keluhuran sifat, sikap, tindakan yang terpuji sebagaimana ditunjukkan Rasulullah Saw.

Akhlak tersebutlah yang menjadi jawaban atas persoalan berkembangnya paham radikal. Ketika anak benar-benar memiliki akhlak Muslim, ia tak akan mudah terpengaruh dan provokasi melalukan hal-hal yang bisa merusak nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan, termasuk menghina, menyerang, atau menteror orang lain yang berbeda pandangan dan kepercayaan. Ketaqwaan dan ketaatan pada Allah Swt. dipancarkan lewat akhlakul karimah. Ketika dihadapkan pada perbedaan, ia selalu mengupayakan harmoni dan perdamaian, baik pada sesama muslim maupun umat lain. Sebab, ia memiliki kesadaran bahwa seluruh manusia ciptaan Allah Swt. dan menghormati umat lain menjadi bentuk penghormatan pada ciptaan Allah Swt .

Pendidikan Islam berparadigma akhlak bisa ditanamkan di antaranya dengan terus mengasah dan menguatkan nilai-nilai persaudaraan, toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan. Hal ini bisa dikembangkan lewat kebiasaan berinteraksi dan berdialog dengan pelbagai kalangan agar anak didik memiliki pengetahuan dan kesadaran akan realitas kemajemukan di masyarakat. Dalam konteks Indonesia yang masyarakatnya majemuk, prinsip tersebut bisa dikonkretkan di antaranya melalui pertemuan, dialog, dan interaksi lintas kelompok, baik antar anak didik maupun antara anak didik dengan masyarakat. Di sinilah akhlakul karimah yang diajarkan guru dari teks-teks ajaran agama akan benar-benar terasah dan teraktualisasikan, sebab anak belajar dengan mengalaminya secara langsung.

Di samping itu semua, keteladanan dari pendidik atau guru juga menjadi bagian penting dalam upaya pembinaan akhlak anak didik. Guru tak bisa menanamkan akhlakul karimah anak didik tanpa ia sendiri menunjukkan akhak tersebut. Keteladanan dari guru adalah hal paling mendasar yang akan mengantarkan anak didik memahami dan menyadari ajaran-ajaran agama yang didapatkannya. Wallahu a’lam..

Facebook Comments