Benarkah tuduhan orang-orang yang mengatakan bahwa usaha-usaha untuk merawat keragaman agama dan kepercayaan merupakan agenda tersembunyi paham sekularisme yang harus dimusuhi? Artikel ini akan meretas tuduhan tersebut dengan menelusuri penggunaan istilah sekuler, sekularisasi, dan sekularisme, dan dengan menunjukkan bahwa justru tuduhan sekularisasi itu muncul dari orang-orang yang terjebak pada paham sekularisme itu sendiri.
Menelaah Istilah “Sekuler”, “Sekularisasi”, dan “Sekularisme”
Kehidupan beragama di Indonesia seringkali dianggap bermusuhan dengan hal-hal yang disebut “sekuler”. Senafas dengan tuduhan tersebut, usaha-usaha yang bertujuan untuk menjunjung keragaman ini lalu dituduh juga sebagai bagian dari proses “sekularisasi”. Tuduhan ini lantas memancing demonisasi, di mana dibingkai seakan-akan paham “sekularisme” ini membawa bibit-bibit kejahatan dan mengarah pada kerusakan moral bangsa. Dapat kita perhatikan ada tiga kata penting di sini, yaitu “sekuler”, “sekularisasi”, dan “sekularisme”.
Sebuah artikel pada tahun 2011 karya José Casanova, seorang ahli sosiologi dari Georgetown University, mengingatkan pembacanya untuk membedakan apa yang dimaksud dengan “yang sekuler”, “sekularisasi”, dan “sekularisme”. Tentu ketiganya saling berkaitan, akan tetapi membedakan ketiga hal tersebut penting untuk melihat proses yang terjadi, yang akan ditelaah dalam artikel ini.
Hal-hal yang disebut “yang sekuler” adalah hal-hal yang dianggap terpisah dan berbeda dari “yang religius”. Berkenaan dengan itu, proses “sekularisasi” merujuk pada proses-proses pembedaan antara “yang religius” dan “yang sekular” itu. Sedangkan, “sekularisme” adalah paham yang mempromosikan proses-proses sekularisasi itu sendiri. Jadi, kita bisa bayangkan bahwa sekularisme adalah sebuah proyek besar yang berusaha memisahkan mana yang religius dan mana yang tidak religius. Proses pemisahan inilah yang disebut sekularisasi. Sedangkan dari proses-proses pemisahan itulah kita dapat mengatakan sesuatu sebagai yang sekuler atau yang religius.
Jebakan Oposisi Biner Agama vs Sekularisme
Penting untuk diperhatikan bahwa dalam pandangan seperti ini, agama dan sekularisme seakan-akan ada dalam oposisi biner; seakan berseberangan dan berkebalikan satu sama lain. Bahkan, ketika kita melihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “sekuler” ditulis sebagai kata sifat yang dimaknai: “bersifat duniawi atau kebendaan (bukan bersifat keagamaan atau kerohanian)”.
Padahal, yang sekuler itu tidak dapat juga dilepaskan dari yang religius, dan sebaliknya, yang religius juga tidak dapat dilepaskan dari yang sekuler. Apakah ketika kita merawat hidup dengan makan dan tidur sehari-hari itu perbuatan sekuler atau religius? Apakah tindakan membangun rumah ibadah itu sekuler atau religius? Dengan membawa pertanyaan ini pada berbagai aspek hidup kita, akan terlihat bahwa sebenarnya kita tidak dapat sungguh-sungguh memisahkan mana “yang religius” dan mana “yang sekuler” itu.
Perlu kita ingat bahwa sekularisme adalah paham yang berusaha mencari kekuasaan dengan membedakan cara hidup mana yang disebut religius dan yang disebut sekuler. Pembedaan ini direka-reka oleh para penjajah untuk menghina dan menguasai penduduk Nusantara dengan melabel tradisi kita sebagai “yang religius”, sehingga harus mengikuti cara hidup mereka yang lebih rasional, yaitu cara hidup “yang sekuler” itu. Padahal perbedaan itu sebenarnya tidak ada, hanya reka-rekaan saja.
Pelabelan ini merupakan salah satu cara sekularisasi mereka. Pemisahan antara “yang sekuler” dan “yang religius” itu merupakan reka-rekaan yang digunakan para penjajah untuk menguasai kita. Jadi, jika kita pada hari ini membawa pandangan yang memisahkan secara biner antara yang religius dan yang sekuler itu, justru kita sedang tidak sadar bahwa kita sendirilah yang sedang memelihara sekularisme itu.
Oleh karena itu, tuduhan bahwa agenda sekularisasi yang lalu dilihat sebagai kejahatan semata-mata kemudian perlu diperiksa kembali. Ketika dituduhkan bahwa promosi terhadap keragaman merupakan bentuk sekularisasi, maka yang sebenarnya terjadi adalah sebuah ironi tragis, yang menunjukkan sisa-sisa penjajahan yang masih terbenam dalam benak sebagian masyarakat Indonesia. Di satu sisi ada orang yang sedang menjalankan hidup damai dengan saudara-saudara dengan beragam cara hidup beragama, yaitu mereka yang hidup sesuai dengan cara hidup kita yang murni sebelum adanya penjajah. Di sisi lain, ada orang-orang yang terjebak pada paham sekularisme yang memprotes kedamaian itu karena pandangannya masih terjebak pada sekularisme, reka-rekaan para penjajah tadi.
Jadi, sebenarnya tidak ada pemisahan antara yang sekuler dan yang religius. Semuanya adalah jalan hidup yang berjalan bersamaan dalam kerukunan dan gotong royong. Pemisahan tentang “yang sekular” dan “yang religius” itu adalah reka-rekaan penjajah yang membawa paham pemisahan itu untuk menguasai bumi Nusantara.
Justru, sekularisasi adalah proses di mana orang-orang diajarkan perbedaan palsu itu, sehingga orang-orang meyakini seakan-akan ada pemisahan yang jelas antara “yang religius” dan “yang sekuler”. Orang-orang yang masih terjebak dalam pandangan itulah yang kemudian menuduh usaha-usaha pemeliharaan keragaman itu sebagai agenda sekularisasi. Padahal, ironisnya, mereka sendirilah yang justru sedang tanpa sadar terjerembab sedalam-dalamnya di jebakan sekularisme.