Membumikan Kaidah Fikih dalam Kebijakan dan Menjaga NKRI

Membumikan Kaidah Fikih dalam Kebijakan dan Menjaga NKRI

- in Keagamaan
1
0
Membumikan Kaidah Fikih dalam Kebijakan dan Menjaga NKRI

Pada 18 Agustus 1945, hanya sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengambil keputusan krusial: menghilangkan tujuh kata dari Piagam Jakarta, yakni, “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Langkah ini, yang di kemudian hari sering diperdebatkan, sesungguhnya merupakan manuver politik yang cerdas, demi menghindari potensi disintegrasi di wilayah timur Nusantara yang mayoritas non-Muslim.

Dalam kacamata fikih siyasah, keputusan kompromistis ini adalah manifestasi konkret dari sebuah kaidah fikih: dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-maṣâliḥ : mencegah kerusakan lebih diprioritaskan daripada menarik kemaslahatan. Para pendiri republik, dengan visi yang jauh ke depan, memahami betul bahwa memelihara fondasi persatuan jauh lebih mendesak daripada memaksakan maslahat sektoral yang berisiko memicu perpecahan yang tak terelakkan. Ini bukan pengorbanan, melainkan prioritas.

Secara terminologis, mafsadah merujuk pada segala sesuatu yang berkonsekuensi buruk, sedangkan maslahah adalah segala hal yang mendatangkan kebaikan. Kaidah ini sendiri telah dirumuskan oleh ulama salaf sejak abad ke-5 Hijriah atau abad ke-11 Masehi. Struktur kalimat “دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ” menempatkan kata kerja “dar’u” (menolak) di posisi yang didahulukan, menegaskan bahwa tindakan preventif selalu lebih utama daripada kuratif.

Al-Imam al-Juwayni dalam Al-Burhân secara eksplisit menyatakan, “Jika dua pertimbangan bertentangan, menghindari mudarat lebih utama daripada meraih manfaat.” Pandangan ini diperkuat oleh Al-Ghazali dalam Al-Mustashfâ, dan bahkan Sultan al-‘Ulamaʾ Izz b. ‘Abd al-Salam menerapkannya ke dalam taklif hukum. Ini bukan sekadar teori, melainkan sebuah prinsip yang mengakar kuat dalam pemikiran hukum Islam.

Dari perspektif maqâṣid, penjagaan agama dan penjagaan negara adalah dua sisi mata uang yang sama. Ibn Taymiyyah dalam As-Siyâsah al-Shar‘iyyah dengan tegas menyatakan bahwa pemerintahan yang adil—bahkan jika non-Islam—lebih dekat kepada rahmat Allah daripada tirani yang mengatasnamakan agama. Semangat risalah ini selaras dengan sila ketiga Pancasila, “Persatuan Indonesia,” dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Mencegah disintegrasi, sebuah mafsadah kubra, menjadi alasan utama untuk menerima pluralitas hukum positif, selama substansi syariat—keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan—tetap terjamin. Ini adalah pragmatisme yang berlandaskan prinsip, bukan oportunisme belaka.

Prinsip dar’ul mafasid tidak hanya berhenti pada tataran teoretis, tetapi termanifestasi dalam berbagai kebijakan di Indonesia:

  1. Regulasi Kerukunan Umat Beragama: Peraturan Bersama 2019 tentang pendirian rumah ibadah—meski sering dikritik—pada hakikatnya dirancang untuk menutup potensi bentrok horizontal sebelum manfaat spiritual dari rumah ibadah itu sendiri dapat terwujud. Ini adalah upaya pencegahan konflik yang nyata.
  2. Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 memberikan kewenangan preventif kepada aparat—dengan syarat akuntabilitas yudisial—untuk meniadakan bibit ancaman lebih awal. Ini adalah tindakan proaktif untuk menanggulangi mafsadah yang lebih besar.
  3. Kebijakan Kesehatan Publik: Fatwa MUI Nomor 14 Tahun 2020 tentang Kepatuhan Ibadah di Masa Covid-19, yang menangguhkan salat berjamaah, adalah contoh nyata penerapan dar’ul mafâsid. Ancaman bahaya (zarar) epidemi jauh lebih urgen untuk diatasi daripada mempertahankan rutinitas ibadah komunal.

Para filsuf klasik telah lama merenungkan konsep negara ideal. Abû Naṣr al-Fârâbî dalam Araʾ Ahl al-Madînah al-Fâḍilah menyatakan bahwa negara ideal harus mengarahkan warganya kepada kebahagiaan tertinggi. Dalam kerangka ini, hukum berfungsi sebagai teknik untuk menjaga tatanan, bukan sekadar memaksakan norma.

Miskawayh kemudian menekankan etika kolektif (akhlâq ijtimâ‘iyyah) yang menyeimbangkan hak individu dan maslahat publik. Prinsip dar’ul mafâsid memberikan koridor logis agar kebijakan tidak terjebak pada romantisisme maslahat parsial yang berujung pada malapetaka publik yang lebih luas. Ini adalah panggilan untuk realisme dalam berpolitik.

Penetapan prioritas harus eksplisit di ranah kebijakan: ancaman korupsi, disinformasi, dan ekstremisme adalah mafâsid primer yang wajib disingkirkan sebelum wacana maslahat lain—sebesar apa pun—dibahas. Ini bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah keharusan.

Tiga perempat abad setelah kompromi monumental 18 Agustus 1945, Indonesia masih berhadapan dengan godaan ideologis, ekonomi, dan digital yang berpotensi merobek persatuan. Kaidah dar’ul mafâsid muqaddamun ‘alâ jalbi al-maṣâliḥ menghadirkan kompas normatif yang jelas: segala tindakan untuk menjaga NKRI harus dimulai dengan mitigasi ancaman paling destruktif, barulah kemudian diikuti ikhtiar menambah manfaat.

Dengan demikian, bangsa ini meneladani kearifan fikih klasik seraya membumikan maqâṣid syariah dalam lanskap sosial-politik modern. Apabila harmoni terjamin, maslahat sejati—baik duniawi maupun ukhrawi—akan teraih secara berkelanjutan. Bukankah ini yang sejatinya kita inginkan?

Facebook Comments