Memecah Kebuntuan Kultural dan Struktural Kebebasan Beragama

Memecah Kebuntuan Kultural dan Struktural Kebebasan Beragama

- in Narasi
36
0
Memecah Kebuntuan Kultural dan Struktural Kebebasan Beragama

Kebebasan beragama merupakan hak dasar setiap warga negara Indonesia yang telah dijamin oleh pemerintahan Indonesia. Dalam pasal 29 UUD 1945 menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut keyakinannya. Selain itu, hak untuk mendirikan lembaga pendidikan berbasis agama juga merupakan bagian dari kebebasan beragama yang harus dihormati. Namun, dalam kenyataannya, berbagai hambatan kultural dan struktural masih menjadi tantangan dalam pelaksanaannya di Indonesia.

Hambatan kultural sering kali muncul dalam bentuk primordialisme, di mana masyarakat menolak perbedaan agama berdasarkan pandangan bahwa kelompok agama tertentu lebih superior. Salah satu contoh nyata dari hambatan kultural ini adalah penolakan pembangunan sekolah berbasis agama di beberapa wilayah Indonesia. Penolakan semacam ini tidak hanya merugikan hak individu, tetapi juga bertentangan dengan prinsip kebhinekaan yang seharusnya dijaga dan dirawat di negeri ini.

Selain hambatan kultural, hambatan struktural juga kerap menjadi penghalang kebebasan beragama. Di beberapa wilayah, regulasi terkait pendirian rumah ibadah atau sekolah agama bisa menjadi sangat rumit dan diskriminatif. Misalnya, proses perizinan yang panjang dan berbelit-belit, serta adanya syarat-syarat yang tidak masuk akal, kerap kali menjadi kendala utama bagi umat beragama tertentu untuk mendirikan tempat ibadah atau lembaga pendidikan mereka. Hambatan-hambatan semacam ini sering kali didorong oleh tekanan politik atau kepentingan lokal yang lebih mementingkan keharmonisan semu daripada keberagaman yang sejati.

Contoh kasusnya, yakni penolakan dan pelarangan yang dilakukan jemaat Gereja Protestan Maluku Elpaputih terhadap pembangunan Gereja Bethel Indonesia (GBI) Jemaat Siloam Elpaputih di Maluku pada 2018. Tindakan tersebut mengakibatkan terjadinya tindak pidana berupa penganiayaan, perusakan dan pembakaran.

Salah satu solusi penting untuk mereduksi hambatan-hambatan kultural dan struktural dalam kebebasan beragama adalah melalui pendidikan. Pendidikan yang mengintegrasikan nilai-nilai pluralisme agama dapat menjadi sarana yang efektif untuk mengatasi intoleransi dan primordialisme yang masih mengakar kuat di masyarakat. Dengan mengajarkan nilai-nilai pluralisme sejak dini melalui pendidikan formal, generasi muda Indonesia diharapkan dapat tumbuh dengan pemahaman yang lebih inklusif terhadap perbedaan agama dan keyakinan.

Integrasi pendidikan pluralisme juga penting untuk mengurangi ketegangan yang muncul akibat perbedaan ekspresi agama di media sosial. Di era digital seperti sekarang, ekspresi religius yang kerap dipublikasikan melalui media sosial sering kali memicu ketegangan antarumat beragama. Banyak umat beragama, terutama yang memiliki pandangan radikal atau intoleran, masih kesulitan untuk mengadaptasi ekspresi religius mereka ke dalam platform digital tanpa merugikan kelompok agama lain.

Pemahaman tentang pluralisme dan toleransi agama melalui pendidikan formal dapat membantu masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan media sosial, terutama dalam hal mengekspresikan keyakinan agama. Simbol-simbol agama, misalnya, sering kali menjadi sasaran penghinaan atau pelecehan di media sosial. Padahal, setiap agama memiliki simbol sakralnya masing-masing yang harus dihormati. Mengajarkan nilai-nilai pluralisme dapat membantu masyarakat untuk tidak mudah tersulut emosi atau melakukan tindakan yang merusak persatuan bangsa.

Kebebasan berekspresi merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, termasuk kebebasan untuk mengekspresikan keyakinan agama di ruang publik, baik secara fisik maupun di media sosial. Namun, kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab sosial. Dalam konteks kebebasan beragama, tanggung jawab ini berarti menjaga agar ekspresi agama tidak menyinggung atau melukai kelompok agama lain.

Konflik horizontal yang sering kali dipicu oleh perbedaan agama dapat dicegah jika setiap warga negara memahami bahwa kebebasan beragama bukan hanya soal hak individu, tetapi juga soal kewajiban untuk menjaga kerukunan dan kedamaian dalam masyarakat. Di sinilah pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan intoleran dan ujaran kebencian. Hukum harus menjadi instrumen untuk memastikan bahwa kebebasan beragama dan berekspresi tetap berjalan dalam koridor yang mendukung persatuan bangsa.

Mereduksi hambatan kultural dan struktural kebebasan beragama di Indonesia membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga pendidikan. Pendidikan pluralisme agama adalah langkah awal yang penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran. Selain itu, regulasi yang diskriminatif harus segera dihapus, dan aparat pemerintah harus berperan aktif dalam menegakkan hak-hak kebebasan beragama. Kebebasan beragama dan berekspresi harus dijaga, tetapi dengan tanggung jawab yang jelas untuk melindungi persatuan bangsa dari ancaman konflik horizontal.

Facebook Comments