Paguyuban Sumarah adalah satu di antara beberapa aliran penghayat kepercayaan yang secara terang-terangan berbicara tentang iman yang tumbuh dan berkembang tanpa adanya simbol ataupun atribut yang lazimnya melekat pada suatu “sistem iman.” Ketika pada umumnya orang masih butuh berbagai simbol dan atribut, yang konon dikenakan untuk meneguhkan keimanannya, orang-orang Sumarah seolah sudah menginjakkan kaki di ranah bahwa untuk menikmati seteguk air tak perlu rasanya memperkarakan apa yang menjadi wadahnya.
Hal itu tentu saja menyingkapkan kenyataan lain tentang perjalanan iman ataupun keyakinan, yang dalam sepanjang sejarahnya, tak jarang saling bertikai hanya karena masalah simbol ataupun atribut. Berbagai kasus mutakhir yang menyebabkan konflik lintas-iman kerapkali dipicu oleh penistaan apa yang dianggap sebagai simbol-simbol keagamaan. Pada tahap ini orang barangkali akan bertanya, bagaimana mungkin hal-hal yang berkaitan dengan iman dapat direpresentasikan oleh sebuah simbol? Apakah iman itu laiknya dedaunan yang sudah pasti berwarna hijau, ketika dedaunan tanaman begonia polkadot ternyata berwarna merah?
Berbincang tentang simbol ataupun atribut ternyata akan cukup menggelikan ketika orang sampai di ranah filsafat bahasa, dimana strukturalisme adalah adalah salah satu madzhab yang paling mencengangkan ketika berbincang tentang keterkaitan antara penanda dan petanda atau simbol dengan apa yang dianggap sebagai representasinya.
Seorang perempuan tiba-tiba mengepalkan tangannya dengan posisi ibu jari dihimpit oleh jari telunjuk dan jari tengah. Orang yang sudah besar barangkali akan memaknainya sebagai simbol hubungan seksual, padahal dalam pagelaran wayang orang tokoh Bima, yang terkenal dengan senjata kuku pancanakanya, juga sudah pasti mengepalkan tangan dengan posisi seperti si perempuan tadi. Maka, benarlah kata Saussure, bahwa ternyata simbol, atau dalam hal ini bahasa, akan senantiasa merujuk pada simbol atau bahasa lainnya secara tak terhingga, dan bukannya merujuk pada realitas yang selama ini dianggap sebagai yang mewakilkannya.
Namun, tentu saja ketergantungan manusia pada simbol ataupun atribut tak mutlak dapat divonis sebagai sifat kekanak-kanakan, mengingat, menurut Cassirer, manusia ternyata adalah juga seekor binatang simbol (animal simbolicum). Bukankah tak mungkin, dalam konteks keimanan, tiba-tiba manusia menyembah apa yang sudah sepantasnya disembah tanpa merumuskan sesembahannya sendiri, entah nama, benda-benda, dsb.?
Maka, dengan demikian, yang menjadi persoalan dalam masalah iman, pada dasarnya bukanlah simbol ataupun atribut itu yang berpotensi menyebabkan petaka, namun sikap orang yang secara percaya diri meyakini bahwa segalanya telah usai hanya sebatas pada simbol ataupun atribut semata. Karena itulah, kembali pada Paguyuban Sumarah, salah satu sesanggeman atau kesanggupan para pengikutnya adalah sikap untuk tak fanatik.
Kearifan di balik sikap untuk tak fanatik, secara paradoksal, ternyata adalah sebuah modal dasar untuk menumbuhkan dan mengembangkan iman yang sebenarnya mustahil untuk dikerangkeng dengan semata simbol ataupun atribut. Seorang kutub pengetauan, Ibn ‘Arabi, konon pernah memilah tentang adanya dua Tuhan, Tuhan dari sudutpandangnya sendiri dan Tuhan sebagaimana yang orang rumuskan. Tuhan dari sudutpandangnya sendiri itulah gambaran dari kehidupan iman yang ternyata dapat tumbuh dan berkembang tanpa perlu terkerangkeng oleh segala simbol ataupun atribut, kehidupan iman yang justru akan membuat orang semakin toleran.