Negara yang tentram butuh kesamaan persepsi dalam bernegara. Kesamaan persepsi ini tercapai ketika ego politik identitas diminimalisir. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk karena ada kesepakatan bersama. Siapa yang bersepakat berdirinya NKRI? Tentu kesepakatan ini terbentuk dari berbagai etnis, suku, budaya, agama, ormas dan lainnya demi kemerdekaan. Apakah kita rela kalau kesepakatan bersama ini buyar sebab ego politik identitas?
Sekarang mulai muncul gerakan politik yang mencirikan identitas kelompok saja. Hal seperti ini adalah suatu penyempitan ruang lingkup NKRI dan berakibat rakyat akan terkotak-kotak dan saling bermusuhan. Menghadapi pengkotak-kotakan golongan ini bisa diatasi dengan Pancasila. Kenapa Pancasila? Sebab Pancasila adalah titik temu kesepakatan berdirinya NKRI. Untuk menjaga keutuhan NKRI maka yang dibutuhkan adalah politik kebangsaan, bukan politik identitas.
Politik identitas selalu muncul ketika ada Pemilihan Umum (Pemilu). Misalnya politik identitas bisa terlihat dari partai politik tertentu. Memang politik identitas di negeri ini tidak bisa dipungkiri. Tetapi alangkah baiknya ketika Pemilu selesai, maka kembali lagi kepada politik kebangsaan atas dasar Pancasila. Jangan sampai Indonesia tidak maju-maju karena rakyatnya disibukkan dengan politik identitas.
Hubungan baik Pak Jokowi dan Pak Prabowo setelah Pemilu perlu diacungi jempol. Upaya renkonsiliasi kedua tokoh ini cukup mendamaikan rakyat. Perlu kita belajar dari kedua tokoh ini. Kelihatannya bersaing habis-habisan, tetapi ending-nya Pak Jokowi mengangkat Pak Prabowo jadi menteri. Seolah ini mustahil, masak musuh jadi rekan kerja. Kalau bukan karena politik kebangsaan Pak Jokowi tidak akan mengangkat Pak Prabowo jadi menteri.
Baca Juga :Habitus: Akar Radikalitas dalam Perspektif Sufisme
Pemilu sebagai agenda 5 tahunan tidak usah dianggap serius-serius. Mendukung suatu calon pemimpin ya sewajarnya saja, tidak usah berlebih-lebihan. Jangan sampai karena Pemilu bercerai rumah tangganya, bermusuhan dengan saudara, saling benci ormas, saling benci agama dan lainnya. Kondisi seperti ini dibutuhkan kerjasama seluruh rakyat untuk NKRI damai.
Setelah pelantikan kabinet Jokowi-Ma’ruf Amin masih ada upaya gerakan politik identitas. Persaudaraan Alumni (PA) 212 berencana mengelar reuni di tanggal 12 Desember 2019, bertempat di Monas, Jakarta Pusat. Dilansir dari Detikcom Habib Novel Bakmumin pada Senin 4 November 2019, membenarkan akan adanya agenda itu.
Habib Novel Bakmumin merupakan juru bicara PA 212. PA 212 ini bentukan Front Pembela Islam (FPI). Jelas PA 212 ini mencerminkan politik identitas kelompok tertentu, serta agama tertentu. Acara reuni PA pada 2 Desember 2019 bertajuk, ‘Munajat untuk Keselamatan Negeri. Maulid Agung dan Reuni Alumni 212’. Dilihat dari temanya ini tentu sangat bagus sekali. Tetapi yang perlu diwaspadai yaitu pola agenda reuni setiap tahun ini ada apa? Bahkan dalam bawah poster ditulis, ‘Insyaallah akan dihadiri IB-HRS’. IB-HRS merujuk pada Imam Besar Habib Rizieq Syihab.
Boleh saja PA 212 mengadakan acara reuni ini, dengan catatan: tidak menganggu kelompok lain dan tidak menganggu stabilitas keamanan negara. Jangan sampai juga acara reuni ini menjadi agenda pengumpulan masa untuk merusuhi negara. Dan jangan sampai PA 212 ini menjadi simbol politik identitas yang lebih serius. Sudah saatnya rakyat ini duduk bersama dalam musyawarah dan bergotong-royong membangun negara. Indonesia butuh stabilitas keamanan dalam mewujudkan cita-cita bangsa. Jadi Indonesia butuh pahlawan-pahlawan perdamaian.
Setelah terjadi kerusuhan di Asrama Papua di Surabaya dengan FPI Agustus 2019, Gubernur Jawa Timur (H. Khofifah Indar Parawansa) mengagas Asrama Mahasiswa Nasional (AMN). Tujuan AMN didirikan yaitu untuk mengajarkan nilai-nilai keberagaman Indonesia. Pemerintah akhirnya setuju dengan ide Bu Khofifah. Rencana awal AMN akan dibangun di enam tempat, yakni di Manado, Makasar, Jakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur (di Surabaya dan Malang).
Harapannya dengan AMN ini akan merekatkan jiwa nasionalisme anak bangsa. Di AMN mahasiswa bisa hidup berdampingan dari berbagai daerah. Langkah pembangunan AMN ini hanya salah satu upaya meminimalisir politik identitas. Sebab bahaya kalau jiwa generasi muda Indonesia terkotak-kotak karena beda daerah. Sekarang sudah saatnya semua rakyat memperkuat komitmen ‘Sumpah Pemuda’.
Suasana AMN dengan hidup berdampingan dengan beragam suku, bahasa hingga adat istiadat, maka rasa saling menghargai, memahami dan toleransi akan muncul. Celah-celah perselisihan sesama rakyat Indonesia harus dihindari. Ketika terjadi perbedaan pendapat maupun pandangan, segeralah kembali ketujuan cita-cita bersama. Jangan mentang-mentang Indonesia sudah merdeka, lalu saling berebut kekuasaan atas ego kelompok masing-masing. Perlu dingat NKRI ini milik bersama, oleh karenanya menjaga kemerdekaan menjadi kewajiban bersama.
Ego politik identitas harus kita lawan bersama. Kalaupun politik identitas sudah terlanjur terjadi di Pemilu yang lalu maka saatnya rekonsiliasi. Semua harus mengakhiri perselisihan demi kepentingan bangsa. Kepentingan bangsa jauh lebih penting dari pada kepentingan kelompok. Dukung mendukung sewajarnya saja. KH. Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus selaku Kiai serta Budayawan selalu mengkampanyekan terkait takaran cinta dan kebencian.
Menurut Gus Mus, “Berlebihan membenci dan mencinta bisa menghilangkan akal sehat dan merusak diri sendiri”. Peryataan Gus Mus ini merupakan pelajaran bagi para pendukung dan simpatisan Pemilu. Dalam mendukung calonnya ya sewajarnya saja dan kalau membenci calon lain ya sewajarnya saja. Tindakan berlebihan memang merusak akal sehat yang berujung permusuhan. Seharusnya pendukung yang berseteru malu melihat Pak Jokowi dan Pak Prabowo saja bisa bersatu.