Memuliakan Ulama, Menyayangi Sesama

Memuliakan Ulama, Menyayangi Sesama

- in Narasi
936
1
Memuliakan Ulama, Menyayangi Sesama

Alkisah, pada suatu hari, ketika Nabi Musa turun dari Gunung Sinai, ada seseorang bertanya, “Apakah kau bisa mengundang Tuhan untuk datang dan makan malam bersama kita?”. Mendengarnya, Nabi Musa menjelaskan bahwa kita tak bisa mengundang Tuhan makan malam. Sebab, Tuhan tidak makan. Tuhan tidak terbatas. Tuhan melampaui batasan kebutuhan akan makanan.

Ketika Nabi Musa kembali ke Gunung Sinai, Tuhan bertanya tentang undangan tersebut. Nabi Musa menjelaskan bagaiman ia mengatakan pada orang tersebut bahwa Tuhan tidak dapat makan. Tuhan pun berfirman, “Tidak, Musa. Kembalilah dan katakan pada mereka untuk menyiapkan pesta besok sore dan Aku akan datang”. Meski berat, Nabi Musa pun menyampaikan hal tersebut. Orang-orang gembira mendengar kabar tersebut. Mereka menyiapkan sebuah pesta besar esok harinya.

Namun, ketika waktu makan malam tiba, Tuhan tak kunjung tiba. Orang-orang mengeluh pada Nabi Musa. “Pertama, kamu mengatakan bahwa Tuhan tidak makan, lalu kau bilang Tuhan akan datang untuk makan malam bersama kita dan sampai sekarang Tuhan belum juga muncul. Nabi macam apa kamu?”. Nabi Musa tak bisa berkata apa-apa.

Esok harinya, Nabi Musa kembali ke Gunung Sinai dan menyampaikan keluhan pada Tuhan, mengapa Tuhan tidak muncul padahal ia sudah mengatakan pada orang-orang bahwa Tuhan akan datang untuk makan malam bersama. Dan Tuhan pun berfirman, “Aku sudah datang. Aku kehausan dan kelaparan tapi tak seorang pun memberiku sesuatu untuk dimakan dan diminum. Lelaki tua yang datang dari gurun pasir ialah salah satu hamba-Ku. Ketika kalian memberi makan hamba-Ku, kalian memberi-Ku makan; sewaktu kalian melayani hamba-Ku, kalian melayani-Ku”.

Baca juga :Ulama: Teladan Bangsa Pengikat Persaudaraan

Kisah tersebut penulis kutip dari buku Karena Kau Manusia, Sayangi Manusia (2018) karya Abdul Wahid. Dari kisah tersebut, kita tergambar bagaimana pentingnya sikap saling menyayangi dan menghormati sesama manusia. Bahwa ketaatan terhadap Allah, di antaranya mesti berwujud pada kecintaan pada sesama manusia. Beragama tak semestinya membuat kita merendahkan dan menyakiti sesama manusia. Keteguhan menjalankan perintah agama mestinya diwujudkan dalam bentuk kebaikan pada sesama.

Penulis sengaja menyuguhkan kisah tersebut sebagai refleksi bagi kita semua agar lebih menyadari betapa pentingnya menghormati dan saling menyayangi antar sesama manusia. Terlebih, melihat keadaan saat ini di mana orang-orang begitu mudah saling memojokkan, berdebat, bahkan mencaci satu sama lain hanya karena perbedaan. Terutama di tengah era internet dan media sosial, di mana adab dan nilai-nilai kesantunan seakan lenyap oleh kemudahan, kecepatan, dan kepraktisan berinteraksi dan berkomunikasi di ruang maya.

Kemudahan berinteraksi di ruang maya membuat orang gampang menuangkan apa pun, termasuk ketidaksukaan pada hal-hal tertentu. Hanya karena perbedaan pendapat, orang dengan mudah melontarkan cacian dan penghinaan pada siapa pun yang dianggap berbeda. Bahkan, pada para ulama yang dihormati sekalipun, ada orang-orang yang dengan gegabah melontarkan penghinaan hanya karena perbedaan pandangan terhadap yang diyakininya.

Seperti ditegaskan dalam editorial jalandamai (10/12), keadaan di mana orang mudah saling membenci dan mencaci satu sama lain, bahkan terhadap ulama sekali pun, ini merupakan kondisi yang dimanfaatkan kelompok tertentu untuk meruntuhkan kredibilitas ulama di masyarakat. Di samping itu, terlihat pula adanya design membenturkan ulama dengan ulama. Orang seperti dihadapkan pada situasi di mana membela ulama tertentu sembari menghina atau mencaci ulama lain. Fanatisme di masyarakat seperti diperkuat dan ruang-ruang untuk berdialog dan saling memahami kian menyempit.

Menyayangi sesama

Ketika kredibilitas ulama mengikis, mengikis pula bangunan sosial masyarakat. Sebab, sejak dahulu ulama merupakan sosok yang selalu menjadi teladan, rujukan, dan selalu menyatukan serta penengah ketika di masyarakat terjadi gesekan. Dalam kondisi sosial di mana masyarakat tak memiliki pegangan, orang-orang menjadi mudah saling curiga, membenci, dan menyerang sesama. Hal ini ditambah fenomena pembenturan ulama satu dengan ulama yang lain, yang membuat orang-orang menjadi semakin garang untuk menyerang dan menghina sesama.

Di sinilah, seperti penulis terangkan di awal, pentingnya kita kembali menguatkan rasa penghormatan dan kecintaan pada sesama manusia. Kecintaan dan rasa hormat kita terhadap ulama mestinya diwujudkan dalam bentuk kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan pada orang lain. Seperti tergambar dalam kisah Nabi Musa di awal, Allah Swt berfirman bahwa melayani sesama manusia (hamba-Nya) sama seperti melayani-Nya. Artinya, jika kita mencintai dan memuliakan ulama yang menjadi kekasih Allah Swt, sudah semestinya pula kita memancarkan kasih sayang pada sesama manusia.

Jangan sampai kecintaan kita terhadap ulama justru menjadi kefanatikan yang membuat kita mudah merendahkan, menghina, dan melukai orang lain yang memiliki pandangan berbeda. Jangan sampai hanya karena perbedaan, kita melupakan adab dan kesantunan. Memuliakan ulama mestinya membuat kita semakin mencintai sesama. Wallahu a’lam

Facebook Comments