Menakar Kesaktian Pancasila

Menakar Kesaktian Pancasila

- in Narasi
1302
0
Upaya Mengkafirkan Pancasila

Disebut sakti apabila sudah lolos dan lulus ujian. Keris yang sakti adalah keris yang sudah lolos dari ujian berkali-kali. Hal yang sama dengan Pancasila, disebut sakti sebab sudah diuji berkali.

Di usianya yang sudah 75 tahun, Pancasila sudah melewati berbagai ujian. Sejak pembentukannya, ia diuji oleh para pendiri bangsa di BPUPKI. Sehari setelah kemerdekaan, ia mendapatkan ujian, tujuh kata sila pertama harus dihapus.

Tak berhenti di sini, ujian dari luar berupa penolakan, pemberontakan, dan aksi untuk mengganti Pancasila silih berganti dihadapi Pancasila. Tapi toh Pancasila masih tetap berdiri dan kokoh sebagai dasar dan falsafah negara.

Usia 75 tahun bukan usia yang muda lagi, Pancasila kaya dengan pengalaman, dan tahu betul akan hiruk-pikuk kehidupan negara ini. Dalam konteks usianya yang mau memasuki 76 tahun, apakah Pancasila memperlihatkan kesaktiannya? Bagaimana Pencasila menjaga kesaktiannya agar selalu bisa menangkal ideologi ekstrim yang bertolak belakang dengan semangat Indonesia?

Untuk menakar kesaktian Pancasila, saya meminjam tiga kategori yang dibuat oleh Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna (2013). Tiga ketegori itu adalah historisitas, rasionalitas, dan aktualitas. Ketiga poin ini bisa dijadikan untuk menguji kesaktian Pancasila.

Trilogi Standar

Pertama, historisitas. Dari segi ini, Pancasila adalah kristalisasi dari hasil pengalaman umat manusia Indonesia selama berabad-abad lamanya. Nilai-nilai Pancasila sudah bersemayam dalam relung hati bangsa ini sejak lama. Nilai Pancasila bukan sesuatu yang asing. Ia bagian inheren dari alam bawah sadar bangsa ini.

Adalah kecerdasan Sukarno dan para pendiri bangsa menjadikan falsafah negara ini dari nilai-nilai yang terpatri dalam gerak nafas bangsa ini. Sehingga Pancasila bersifat kontinyu dan terus menerus berkesinambungan dengan realitas filosofis bangsa ini. Dengan kata lain, Pancasila bukanlah sesuatu yang a-historis, yang tidak punya jejak-jejak kuat dalam pengalaman bangsa ini.

Kedua, rasionalitas. Sebagai sesuatu yang tidak a-historis, Pancasila mendapatkan bukti rasionalitasnya. Sila-sila Pancasila mempunyai konsistensi dalam sila itu sendiri, memiliki koherensi dengan sila lain; dan menampakkan korespondensi dengan realitas yang dihadapi anak bangsa.

Tiga K (konsistensi, koherensi, dan korespondensi) adalah bukti nyata dari rasionalitas Pancasila. Efek yang ditimbulkannya, Pancasila tidak bersifat kontradiktif dalam dirinya, juga tidak bersifat tumpang tindih dengan sila yang lain, dan tidak bersifat asing dari realitas kemanusian.

Mulai dari ketuhanan yang berkebudayaan (1), kemanusiaan universal (2), persatuan dalam kebhinekaan (3), demokrasi dalam permusyawaratan (4), sampai pada keadilan sosial (5), selalu saling mendukung, saling terkait, dan saling mengonfirmasi.

Ketiga, aktualitas. Sebab bersifat historis dan rasional, Pancasila selalu kompatibel dengan segala perubahan zaman. Sifat futuristik dari Pancasila ini bisa dilihat dari sila-silanya yang selalu kontekstual dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara.

Problem kemanusiaan terejawantah dalam Pancasila. Yang memungkinkannya bisa aktual dalam setiap kondisi anak bangsa. Nilai-nilai universal-ideal yang dimiliki oleh Pancasila, bisa dijadikan sebagai basis untuk menghadapi realitas manusia.

Menolak Ideologi Ekstrim

Dengan tiga kategori di atas, kita bisa menguji ideologi lainnya. Jika Pancasila lulus dan lolos dari ujian, akankah hal yang sama juga terjadi pada dua ideologi ekstrim: khilafah dan komunisme.

Dari sisi historisitas, baik khilafah maupun komunisme bukanlah bagian dari sejarah umat manusia Indonesia. Khilafah adalah sesuatu yang asing, datang dari luar, dan sengaja dipaksakan oleh para pengusungnya.

Komunisme juga bukan bagian dari pengalaman sejarah bangsa ini. Sama rasa dan sama rata, tidak pernah dipraktekan di bumi Nusantara. Selalu ada hak-hak individu yang dilindungi dan hak kolektif yang dijaga.

Dari segi rasionalitas pun demikian. Baik khilafah maupun komunis tidak lolos dari tiga K (konsistensi, koherensi, dan korespondensi) di atas. Khilafah tidak konsisten dalam dirinya, sebab tidak membedakan mana agama, mana politik.

Tidak koheren, sebab selau merujuk ke belakang dan gagap dalam menghadapi problem kemanusiaan. Tidak korespondensi, sebab khilafah tidak bisa dikonfirmasi dari keragaman bangsa ini.

Hal yang sama juga terjadi pada komunisme. Sesuatu yang tidak historis, ia akan terputus, akibatnya gagal memenuhi tiga tolak ukur rasionalistas di atas.

Dari aktualisitas, baik khilafah maupun komunisme tidak kompatibel dengan realitas kemanusiaan Indonesia. Komunisme sebagai gerakan politik sudah gagal. Khilafah sebagai sistem politik tak ada kejelasan konseptual. Akibatnya keduanya terasing dari dinamika kehidupan anak bangsa.

Ketiga tolak ukur ini sudah memperlihatkan kepada kita ternyata hanya Pancasila yang lulus dan lolos ujian. Sementara khilafah dan komunisme tidak memenuhi syarat, gagal, dan harus ditolak. Ketiga kategori di atas sekaligus menunjukkan bahwa khilafah dan komunisme bersifat tertolak di Indonesia.

Facebook Comments