Menakar “Nasionalisme Sempit” dan Bagaimana Sebenarnya Cinta Tanah Air di Era Digital?

Menakar “Nasionalisme Sempit” dan Bagaimana Sebenarnya Cinta Tanah Air di Era Digital?

- in Narasi
2
0
Menakar “Nasionalisme Sempit” dan Bagaimana Sebenarnya Cinta Tanah Air di Era Digital?

Nasionalisme adalah semangat mencintai tanah air dan komitmen menjaga keutuhan bangsa. Namun, dalam perkembangannya, nasionalisme dapat mengalami distorsi menjadi “nasionalisme sempit”—sebuah pandangan yang fanatik, eksklusif, dan cenderung menolak perbedaan atau keterbukaan terhadap dunia luar. Di era digital saat ini, ketika batas antarnegara menjadi kabur karena internet, muncul tantangan baru: bagaimana menumbuhkan cinta tanah air yang bijak tanpa terjerumus pada sikap intoleran?

Nasionalisme sempit sering kali lahir dari rasa takut, inferioritas, atau trauma sejarah. Ia memandang bangsa lain sebagai ancaman, menolak budaya asing secara mutlak, bahkan bisa melahirkan sikap anti-kritik atas kebijakan pemerintah sendiri. Dalam konteks global, sikap seperti ini bisa menghambat kerja sama, mempersempit wawasan, dan merusak citra bangsa.

Di media sosial, kita bisa melihat bagaimana nasionalisme sempit muncul dalam bentuk ujaran kebencian terhadap etnis atau bangsa lain, sikap fanatik terhadap simbol-simbol nasional, serta penghakiman terhadap sesama warga negara yang dianggap “kurang nasionalis” hanya karena pandangan berbeda. Nasionalisme jenis ini lebih banyak membangun tembok daripada jembatan.

Era Digital, “Nasionalisme Sempit” dan Cinta Tanah Air

Nasionalisme di era digital bukanlah menolak modernitas atau menutup mata terhadap perubahan global, tetapi tentang bagaimana menjadi warga digital yang cerdas, kritis, dan tetap berakar pada identitas kebangsaan. Kita perlu mewaspadai nasionalisme sempit yang membutakan dan memecah belah, sekaligus menumbuhkan cinta tanah air yang luas, rasional, dan berlandaskan nilai kemanusiaan.

Digitalisasi membuka ruang dialog dan kolaborasi antarbangsa secara masif. Generasi muda sekarang bisa belajar dari negara lain, bekerja lintas negara, bahkan membangun identitas digital yang lebih global. Namun, ini juga menghadirkan dilema: apakah keterbukaan ini akan mengikis cinta pada tanah air?

Cinta tanah air di era digital bukan berarti menutup diri dari dunia luar, tetapi justru menjadi aktor aktif dalam percaturan global sambil membawa nilai-nilai lokal yang membanggakan. Nasionalisme tidak bertentangan dengan kosmopolitanisme; keduanya bisa berjalan berdampingan jika dikelola dengan kesadaran kritis.

Cinta tanah air yang sejati bersifat inklusif, terbuka, dan berbasis pada etika serta kemajuan. Ia tidak dibangun atas dasar kebencian terhadap yang berbeda, melainkan rasa tanggung jawab untuk menjaga keutuhan bangsa sekaligus memajukannya. Ada banyak hal yang bisa dilakukan di era digital dalam mewujudkan cinta tanah air yang sesungguhnya.

Salah satunya kita aktif menyebarkan narasi positif tentang negeri kita, baik dalam bahasa lokal maupun bahasa internasional, mengembangkan teknologi dan karya kreatif yang memperkuat jati diri bangsa, seperti game, film, aplikasi, dan musik yang bernuansa lokal namun mendunia, mengkritisi kebijakan publik dengan semangat membangun, bukan menjatuhkan, karena kritik yang konstruktif juga bentuk cinta, melindungi ruang digital dari hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme, yang bisa mengancam persatuan nasional.

Digitalisasi telah mengubah cara manusia berinteraksi, mengakses informasi, dan membentuk opini. Di satu sisi, era ini membuka ruang luas bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat, berbagi pengetahuan, dan mempererat solidaritas nasional. Namun di sisi lain, dunia digital juga menjadi ladang subur bagi penyebaran hoaks, radikalisme, ujaran kebencian, dan disinformasi yang dapat mengancam integritas bangsa.

Dalam konteks ini, hubbul wathan tidak cukup hanya menjadi slogan; ia harus hadir sebagai kesadaran aktif dalam ruang digital. Masyarakat Indonesia, terutama generasi muda sebagai digital native, memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga dunia maya sebagai ruang yang sehat, inklusif, dan berlandaskan nilai kebangsaan.

Aktualisasi Hubbul Wathan Minal Iman di era digital bisa dilakukan melalui berbagai cara. Pertama, dengan menjadi pengguna internet yang bijak dan bertanggung jawab. Artinya, setiap individu hendaknya menyaring informasi sebelum menyebarkan, menghindari provokasi, serta aktif melawan narasi-narasi yang merusak persatuan bangsa.

Kedua, mencintai tanah air berarti juga mendukung produk-produk lokal, UMKM digital, serta konten-konten edukatif yang memperkuat identitas dan budaya Indonesia. Semangat ini adalah bentuk konkret bela negara di tengah persaingan global.

Ketiga, pemuda dan pelajar dapat mengaktualisasikan hubbul wathan dengan memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan nilai-nilai Pancasila, toleransi, dan keberagaman melalui media sosial, blog, vlog, dan berbagai platform digital lainnya. Kreativitas digital menjadi sarana dakwah kebangsaan yang efektif di tengah generasi yang haus akan konten visual dan narasi inspiratif.

Cinta tanah air hari ini tidak cukup diwujudkan dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk virtual: menjaga ruang digital dari perpecahan, menebar nilai kebaikan dan kebhinekaan, serta menjadikan teknologi sebagai sarana dakwah kebangsaan. Dalam semangat itulah iman dan nasionalisme bertemu di zaman modern. Dengan cara itulah, Indonesia tidak hanya bertahan di era digital, tetapi juga tumbuh sebagai bangsa yang besar—yang dicintai bukan karena ditakuti, tapi karena dihormati.

Facebook Comments