Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

- in Narasi
17
0
Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya politisasi agama oleh kelompok-kelompok radikal. Salah satu yang paling menonjol adalah narasi tentang “Khilafah” yang terus digaungkan oleh pihak tertentu. Mereka membingkai konsep ini seolah-olah merupakan mandat langsung dari Tuhan, mengaburkan batas antara ajaran agama yang murni dengan agenda politik pragmatis.

Politisasi agama adalah fenomena global yang tidak asing lagi. Namun, di Indonesia yang memiliki keberagaman yang begitu kaya, dampak yang dirasakannya akan lebih berbahaya. Ketika agama digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik, tatanan sosial menjadi terpolarisasi. Masyarakat dibelah antara “kami” dan “mereka,” antara yang dianggap “benar” secara agama dan yang “keliru.” Dalam kerangka demokrasi, pola pikir semacam ini mengancam prinsip inklusivitas dan toleransi.

Dalam situasi yang serba digital masalah yang dihadapi kian kompleks karena didorong oleh kemajuan teknologi informasi yang mempercepat penyebaran propaganda. Kelompok radikal memanfaatkan media sosial untuk mendiseminasi ideologi mereka, menargetkan segmen masyarakat yang kurang terpapar pendidikan kritis tentang agama dan politik.

Mistifikasi politik merupakan sebuah fenomena. Contohnya, narasi khilafah sering kali dibangun di atas mitos yang memanipulasi ajaran agama, menciptakan kesan seolah-olah sistem ini adalah solusi tunggal untuk semua masalah bangsa. Kelompok-kelompok tersebut tidak memberikan solusi yang konkret, melainkan menyalahkan demokrasi dan pluralitas atas kegagalan sistemik. Akibatnya, mereka tidak hanya menyalahgunakan agama, tetapi juga memicu perpecahan yang merusak harmoni sosial-politik.

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi pluralitas. Mistifikasi politik dan politisasi agama mengancam prinsip ini karena mendorong eksklusivitas, di mana kelompok tertentu merasa lebih unggul secara moral dan spiritual dibandingkan kelompok lain. Fenomena ini bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila yang menekankan persatuan dalam keberagaman.

Tentu saja, bahaya ketika agama digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Dalam sejarah, agama sering kali menjadi dalih untuk tindakan-tindakan yang justru bertentangan dengan ajaran dasarnya, seperti kekerasan dan penindasan. Hal ini relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, di mana kelompok-kelompok radikal berusaha menggunakan agama untuk menggiring opini publik, bahkan dengan cara yang tidak sesuai dengan semangat demokrasi.

Masyarakat memiliki peran penting dalam mencegah politisasi agama. Pendidikan agama yang mencerahkan dan rasional harus ditanamkan sejak dini untuk membangun kesadaran kritis. Selain itu, media juga harus mengambil bagian dalam menyajikan informasi yang akurat dan menyeimbangkan narasi-narasi yang cenderung manipulatif.

Pilkada 2024 adalah momen penting bagi demokrasi Indonesia. Untuk memastikan bahwa proses ini berjalan dengan sehat, semua pihak harus waspada terhadap ancaman mistifikasi politik dan politisasi agama. Pemerintah, akademisi, dan tokoh agama perlu bekerja sama untuk melawan narasi-narasi radikal yang memecah belah. Selain itu, masyarakat harus terus didorong untuk menjadi pemilih yang kritis dan rasional.

Agama dan politik, ketika disandingkan dengan cara yang manipulatif, dapat menjadi kombinasi yang berbahaya. Namun, dengan pendekatan yang bijaksana, nilai-nilai religius dapat berkontribusi pada pembangunan politik yang lebih etis dan berkeadilan. Dengan demikian, Pilkada 2024 dapat menjadi ajang untuk menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi yang matang, di mana agama dihormati, tetapi tidak dimanipulasi untuk kepentingan sesaat.

Facebook Comments