Mendeteksi Intoleransi sebagai Indikasi Awal Gejala Ekstremisme Kekerasan

Mendeteksi Intoleransi sebagai Indikasi Awal Gejala Ekstremisme Kekerasan

- in Narasi
1201
0
Mendeteksi Intoleransi sebagai Indikasi Awal Gejala Ekstremisme Kekerasan

Intoleransi dan radikalisme merupakan ancaman nyata yang menjadi perhatian serius pemerintah yang terus diwaspadai. Wabah intoleransi di tengah masyarakat semakin nampak tinggi dengan eskalasi politik identitas yang semakin merambah ruang publik. Tanpa disadari sesungguhnya aksi kekerasan dan tindakan radikal terorisme sejatinya berawal dari sikap intoleransi.

Kekerasan atas nama agama di Indonesia sejalan beriringan dengan kuatnya gejala intoleransi. Ujaran kebencian dan sikap tidak ramah terhadap perbedaan menjadi sumber yang mendorong lahirnya tindakan kekerasan atas nama agama. Karena itulah, mendeteksi gejala ekstremisme kekerasan dan terorisme pada khususnya harus diawali dengan mengenal intoleransi baik pola dan sumbernya.

Intoleransi yang mewabah di Indonesia bisa disebabkan banyak hal. Tentu saja penanaman nilai intoleran bisa bersumber dari berbagai sektor, terutama di ruang pendidikan. Pendidikan tidak hanya bentuk formal sekolah, tetapi pengajian dan majlis hingga ceramah online yang semakin hari semakin tumbuh subur di ruang maya Indonesia. tidak ayal, masyarakat mudah terprovokasi dengan perbedaan dan sangat sensitif dengan mereka yang berbeda keyakinan dan pandangan.

Sejatinya, tingginya masyarakat dalam menimba ilmu agama menjadi modal berharga jika edukasi keagamaan diarahkan pada sikap yang positif dan produktif dalam menerima perbedaan. Namun, terkadang pengajaran keagamaan justru mempertebal emosi keagamaan daripada edukasi keagamaan. Ceramah keagamaan bukan mengajarkan masyarakatkan untuk saling merangkul, tetapi justru menunggu momentum untuk saling memukul.

Kebencian terhadap perbedaan sebagai sikap intoleransi pada akhirnya akan memotivasi seseorang dalam melakukan tindakan kekerasan. Hampir sangat nyata tindakan kekerasan atas nama atau tindakan terorisme berkedok agama semuanya diawali dengan doktrin intoleran yang menegaskan yang berbeda sebagai lawan.

Kenapa intoleransi bisa mendorong kekerasan? Berpijak pada salah satu teori psiko-sosial bahwa sesungguhnya kekerasan itu didorong oleh alam bawah sadar. Kekerasan sebagai dampak adalah hasil penanaman nilai yang telah masuk ke alam bawah sadar sebagai sebuah doktrin. Ada situasi yang tidak banyak disadari oleh pelakunya, situasi yang tanpa sadar telah mengikat mereka. Ialah sistem social yang dimiliki oleh institusi kelompok agama dan juga lingkungan tempat mereka berada.

Dalam konteks ini, masyarakat yang dibesarkan dalam penanaman nilai yang intoleran dan terus menimba pendidikan yang anti keragaman akan mudah terhasut dengan situasi dan kondisi yang tidak bersahabat dengan keragaman. Apapun provokasi yang menyertai dengan narasi kelompok sedang dimarginalkan akan mendorong solidaritas bersama untuk melakukan tindakan.

Membangun Benteng melalui Semangat Gotong Royong

Diketahui bahwa, Negara Indonesia sebenarnya memiliki corak yang khas dalam hal toleransi dan kebersamaan di kalangan masyarakat. Toleransi tercermin dalam praktek gotong royong di tengah masyarakat yang tidak mengenal kasta sosial dan identitas sosial. Dalam gotong royong semua mempunyai kepedulian dan tanggungjawab untuk bekerjasama. Semangat gotong royong adalah kebersamaan dalam menyelesaikan satu pekerjaan dan persoalan.

Intoleransi sebenarnya mudah tumbuh di tengah masyarakat yang krisis semangat gotong royong. Masyarakat yang apatis dan tidak peduli dengan lingkungan sosial mudah menumbuhkan sikap intoleransi. Sikap anti sosial biasanya sering mendorong seseorang untuk tidak peduli dengan keragaman.

Gotong royong sebenarnya praktek perjumpaan dalam keragaman. Seorang yang melakukan gotong royong sejatinya sedang membangun kebersamaan dalam lintas perbedaan. Apapun agamanya, sukunya, etnisnya dan keyakinnya bukan menjadi persoalan selama mempunyai visi kebersamaan dalam menyelesaikan persoalan. dalam gotong royong meniscayakan perjumpaan yang berbeda. Pengalaman perjumpaan ini akan menyadarkan seseorang bahwa anggapan yang salah dan buruk akan menjadi hilang.

Praktek gotong royong masyarakat Indonesia sejatinya tidak hanya modal mendeteksi gejala kekerasan, tetapi juga vaksin yang baik dalam mengikis intoleransi. Sikap benci dan tidak suka kepada yang berbeda lebih dikarenakan doktrin dan asumsi yang apriori. Ketika mereka mengalami perjumpaan dalam perbedaan dalam praktek gotong royong semua asumsi buruk akan menjadi sirna.

Perilaku gotong royong yang dahulu mampu menjadi jati diri bangsa, namun kini tengah banyak ditinggalkan oleh masyarakat. Entah dengan alasan kesibukan ataupun alasan yang lainnya. Budaya yang berasal dari Negara lain justru kini berperan semakin kuat dan semakin bertumbuh membuat masyarakat Indonesia kini mulai abai dengan kepentingan Umum dan lebih mementingkan kepentingan pribadi. Perilaku gotong royong merupakan bentuk solidaritas antar masyarakat. Perilaku ini dapat menjadi strategi yang akan mampu meningkatkan kembali nilai luhur bangsa yang kini telah luntur. Dalam menegakkan kembali perilaku gotong royong yang pernah menjadi ruh pemersatu bangsa yang dulu pernah ada, akan dapat mengembalikan budaya bangsa.

Facebook Comments