Fikih Kebangsaan dan Strategi Deteksi ‘Klaster’ Baru Virus Radikalisme di Kampus

Fikih Kebangsaan dan Strategi Deteksi ‘Klaster’ Baru Virus Radikalisme di Kampus

- in Narasi
1192
0
Fikih Kebangsaan dan Strategi Deteksi ‘Klaster’ Baru Virus Radikalisme di Kampus

Covid-19 belum berakhir. Bahkan virus asal Wuhan China itu masih ‘gentayangan’ di ruang-ruang publik dunia, termasuk Indonesia. Klaster baru pun bermunculan. Ia menyerang siapa saja tanpa peduli apakah orang atau kelompok itu kalangan elit, berpendidikan atau yang lainnya. Semua orang bisa terpapar virus ini. Lebih-lebih mereka yang tak taat protokol pencegahan/kesehatan.

Covid-19 dalam bingkai di atas memiliki kesamaan dengan virus radikalisme. Virus radikalisme juga menyerang siapa saja tanpa pandang bulu, bahkan mahasiswa pun bisa terpapar virus ini. Bahkan berbagai kajian belakangan ini menyebutkan bahwa radikalisme tumbuh subur di dunia kampus, menyerang mahasiswa.

Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada tahun 2012 silam misalnya, melakukan penelitian yang kemudian dipublish dengan judul Potensi Radikalisme di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi menyebutkan bahwa potensi radikalisme di kalangan mahasiswa timbul karena faktor internalisasi pemahamaan keagamaan yang cenderung ideologis dan tertutup. Penelitian ini juga mengungkap bahwa pemahaman ideologis tersebut yang cenderung kaku dan hitam putih terjadi di semua agama, baik di lingkungan mahasiswa muslim maupun non-muslim (Kristen, Hindu, Budha dan lain-lain).

Penelitian lain, seperti yang dilakukan oleh Zusiana dkk yang meneliti tentang pola penyebaran dan penerimaan radikalisme dan terorisme di Mataram menyebutkan bahwa penerimaan radikalisme dan terorisme di kalangan mahasiswa di Mataram dikarenakan dua hal, yakni para penganut kelompok Islam garis keras mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena ‘ketertinggalan’ umat Islam dari kemajuan Barat dan penetrasi budayanya dengan segala aksesnya. Kedua karena kemunculan kelompok Islam garis keras tidak lepas dari pendangkalan pemahaman agama dari kalangan umat Islam terutama di kalangan muda yang berlatar pendidikan eksakta dan ekonomi.

Dari dua penelitian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kampus memang bukan sebuah lembaga yang mencetak kader radikal, melainkan mahasiswanya banyak yang terkecoh oleh ‘propaganda’ atau infiltrasi ideologi radikal. Diantara faktornya adalah pemahaman keagamaan yang kurang mendalam dan basic keagamaan mahasiwa tersebut kurang kuat sehingga mudah digoyah oleh kelompok radikal.

Wacana Fikih Kebangsaan dan Langkah Antisipatif

Masnun Tahir (2015) dalam kajiannya menyebutkan bahwa kelompok radikalis selalu mengincar mahasiswa sebagai agen perubahan yang akan dipasang sebagai kelompok progresif dan akan mampu menggaet orang lain serta dalam memberikan perubahan sebagaimana yang diinginkan oleh kelompok radikalis. Jadi, sasaran mahasiswa tersebut tidak terlepas dari upaya perjuangan pengkaderan kelompok intelektual.

Strategi yang mereka gunakan bermacam-macam, ada yang membidik kalangan intelektual yang rendah dalam pengetahuan atau literasi keagamaannya lalu mereka melakukan indoktrinasi ideologi. Kondisi ini menjadikan mahasiswa merasa sulit untuk memotong hubungannya dari kelompok radikal. Akhirnya, fenomena ini membentuk metamorforsis baru atau ‘klaster’ baru untuk gerakan Islam radikal di kampus.

Sebagai informasi, setidaknya ada dua model gerakan Islam radikal yang berkembang di Indonesia. Pertama, gerakan Islam radikal yang masih dalam bentuk aslinya. Dalam arti gerakan ini memiliki ideologi dan cita-cita serta pola gerakan yang sama seperti yang berkembang di daerah asalnya. Diantara contohnya adalah HTI, yang tidak lain dan tiada bukan anak dari HT.

Kedua, gerakan Islam radikal yang sudah mengalami transformasi atau bermetamorforsis, meskipun secara ideologis mereka masih berkesusaian atau mempertahankan dengan gerakan Islam di daerah asalnya, yakni Timur Tengah. Sebut saja dalam hal ini adalah Majlis Mujahidin Indonesia, Laskar Jihad dan lain-lain (lihat Imadudin Rahmat, 2005 dan Tahir, 2015).

Dunia pendidikan, termasuk perguruan tinggi, memang dalam satu sisi dapat menjadi ruang yang ‘nyaman’ tumbuhnya klaster baru ideologi radikal. Namun, di sisi yang lain—dan ini yang wajib kita upayakan—perguruan tinggi juga mampu menjadi ruang penempaan diri yang sangat tangguh bagi lahirnya kader muslim yang moderat, bermoral, beradab dan cinta damai.

Terkait hal di atas, Musnan Tahir (2015) memberikan tuntutan bagi kita semua, teruma para civitas akademica dan pemangku kebijakan untuk melakukan beberapa langkah strategis dalam upaya mengantisipasi munculnya klaster baru virus radikalisme di kampus.

Pertama, pendalaman dan pemahaman aspek keagamaan tentang nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin seperti perdamaian, kerukunan, kemanusiaan, toleransi dan prinsip-prinsip Islam washatiyah. Namun, cara ini tidak bisa dilakukan dengan menempuh pendekatan intelektualis-kognitif, melainkan harus menyentuh pada aspek yang lebih jauh, yakni menekankan aspek penghayatan (afektif) dan pengalaman (psikomotorik).

Kedua, pengarus-utamaan moralitas (berbudi pekerti) sebagai praktik (amal), bukan sekedar untuk sebuah pengetahuan saja. Hal ini penting ditekankan mengingat secara subtansi, tidak ada satupun ajaran agama-agama di dunia ini yang mengesahkan tindak kekerasan dalam menyelesaikan konflik.

Ketiga, penguatan fikih kebangsaan. Radikalisme lebih banyak menyentuh persoalan pemahaman keagamaan. Diantaranya adalah pemahaman-pemahaman dangkal seperti kewajiban mendirikan negara Islam, Islam tidak mengenal nasionalisme dan lain sebagainya. Bahasa sederhananya, kelompok radikal tidak memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.

Untuk itu, fikih kebangsaan harus dikuatkan di kalangan mahasiswa, yang di dalamnya memuat tentang penegasan dan memperkuat komitmen kebangsaan bahwa NKRI dan Pancasila serta UUD 1945 merupakan sesuatu yang sudah final, tak perlu diulik-ulik lagi.

Lbih lanjut, nalar pembentukan dan penguatan fikih kebangsaan di kalangan mahasiswa harus menjunjung tinggi nilai-nilai fundamental; pluralisme (ta’addudiyyah), nasionalisme (muwatanah), keadilan (al-‘adalah), kemashlahatan, tasamuh, musyawarah dan tawassuth.

Fikih kebangsaan juga harus menggarap ranah yang lebih dalam lagi seperti membangun kesadaran bersama di kalangan mahasiswa tentang kewajiban menjaga kesatuan nasional, kesadaran melestarikan kehidupan yang harmoni dan produktif dan turut memastikan distribusi ekonomi yang berkeadilan. Semua hal tersebut adalah ranah fikih. Oleh sebab itu, dalam konteks mengantisipasi ‘kluster’ baru virus radikalisme di kalangan mahasiswa, penerapan penguatan fikih kebangsaan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi.

Facebook Comments