Sebuah berita menyenangkan ketika Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi pada lalu menggelar hajatan akbar bertemakan ‘Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Terorisme’ di Bali Nusa Dua Convention Center pada 25-26 September 2017. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 3 ribu rektor atau perwakilan perguruan tinggi negeri dan swasta dari seluruh Indonesia disaksikan langsung oleh Presiden RI. Inilah acara terbesar dalam kegiatan konsolidasi perguruan tinggi melawan radikalisme.
Pertanyaannya sepenting itukah kampus hari ini harus merapatkan barisan untuk membentengi dari gerakan radikal? Saya kira ini sangat penting dan mendesak. Beberapa tahun ini kampus dan tentu saja masyarakat secara umum terlalu bersikap permisif terhadap berbagai gerakan yang jelas nyata bertentangan secara ideologis dengan NKRI. Gerakan ini mendapatkan ruang nyaman di negeri, bahkan tumbuh subur, saat di negara-negara lain justru mendapatkan kecaman dan larangan tegas. Ya, gerakan penegakan khilafah menjadi sangat massif di berbagai kampus dan di tingkat sekolah yang mencoba untuk mempengaruhi pola pikir anak bangsa.
Mungkin sedikit mencengangkan ketika pada Tahun 2016 lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempublish hasil penelitian yang menyebutkan bahwa radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa. Proses radikalisasi itu dilakukan secara tertutup melalui kegiatan kemahasiswaan bahkan melalui pengajaran dosen. Gerakan itu ingin berupaya menegakkan ideologi khilafah dengan mengganti ideologi negara ini.
Mahasiswa unyu-unyu yang kurang paham sejarah perjuangan bangsa, dan belum matang secara keilmuan, tetapi kuat dalam idealisme banyak terjerembab dalam rayuan kelompok ini. Mereka tampak heroik mengacungkan tangan ke atas, turun ke jalan, dan menggelar mimbar untuk mendeklarasikan khilafah di Indonesia. Sungguh pembusukan nasionalisme telah dimulai di dalam kampus. Dan potensi perpecahan bangsa dimulai dari sudut akademis dan kampung ilmiah bernama kampus yang justru diharapkan menjadi garda depan bagi kemajuan bangsa.
Fakta tersebut tentu saja menjadi alarm bagi kehidupan insan akademis di lingkungan kampus. Infiltrasi paham radikal tentu saja akan berkorelasi positif dengan tumbuhnya kesadaran aplikatif tentang kekerasan atas nama agama. Hasil Survey Radikalisme Sosial-keagamaan Mahasiswa UIN/IAIN yang dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISIK) UIN Syarif Hidayatullah (2011) dengan sampel mahasiswa dari : UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, UIN Makassar, UIN Surabaya, UIN Banjarmasin, UIN Sumatera Utara, IAIN Padang ketika dihadapkan dengan pertanyaan penggunaan jihad dengan kekerasan sebagai berikut: sebanyak 68.4% mengatakan tidak setuju, 26.7% mengatakan setuju dan 4.9 % mengatakan tidak tahu. Ingat, angka 26.7% sebetulnya bukan angka yang sedikit dan sudah sangat mengkhawatirkan.
Lalu seberapa besar kekhawatiran kita terhadap liarnya penyebaran paham radikal di kampus dengan tindakan radikal? Masih dalam survey dari FISIK UIN Syarif Hidayatullah (2011), ketika mahasiswa dihadapkan pada pertanyaan pernah atau bersedia melakukan tindakan radikal? Sebanyak 57.4% mengatakan pernah ikut merencanakan dan merazia (sweeping) atas nama syariat Islam, 51.7% pernah melakukan demonstrasi terhadap kelompok yang mengancam kesucian Islam, 39.6% pernah demonstrasi mengutuk Israel, 8.0% pernah melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain.
Masifnya penyebaran ideologi radikal di kampus sejatinya merupakan benih bagi tumbuhnya tindakan radikal, kekerasan bahkan terorisme. Memang butuh faktor-faktor lain sebagai pendorong dari pemikiran radikal, tindakan radikal, ke arah tindakan terorisme. Namun, patut menjadi perhatian bersama bahwa tidak sedikit mahasiswa yang terekrut dan bergabung dalam jaringan terorisme. Berita kehilangan mahasiswa yang kemudian sudah ada berita bergabung di Suriah merupakan cerita-cerita mengenaskan dari dunia kampus.
Ini menjadi fakta tragis yang membalikkan teori lama bahwa kebanyakan para pemuda yang terekrut dalam jaringan terorisme adalah mereka yang tidak berpendidikan tinggi. Pada tahun 2012 Riset terhadap 110 Pelaku Tindakan Terorisme dengan judul “Research on Motivation and Root Causes of Terrorism” yang dilakukan oleh The Indonesian Research Team, 2012; Kementerian Luar Negeri, INSEP dan Densus 88, pelaku terorisme masih didominasi oleh mereka yang lulusan SMA dengan besar 48.2%, lulusan universitas 18.2%, lulusan SMP 10.9%, lulusan SMK 6.4%, lulusan Pesantren 5.5%, lulusan MA 3.6%, lulusan SD 3.5% dan lulusan universitas 3.6%.
Faktanya hari ini tidak sedikit mahasiswa yang mulai tergoda dengan rayuan kelompok radikal terorisme. Faktor rendahnya tingkat pendidikan bukan utama, tetapi mimpi dan idealisme menggebu-gebu mahasiswa menjadi sarana empuk bagi penyebaran ideologi radikal yang mengimingi perubahan radikal dan surga.
Haruskah kampus waspada terhadap fenomena ini? Barangkali tidak ada kata terlambat untuk mengamputasi gejala radikalisasi di kampus. Bersikap permisif terhadap organisasi, komunitas, dan perkumpulan di kampus yang mengandung ide, paham dan ideologi radikal adalah sebuah kekeliruan besar.
Gerakan Tola Radikalisme di Kampus dari momentum Deklarasi di Bali tersebut merupakan momentum strategis dan tepat bagi perguruan tinggi untuk membentengi kampus dari penyakit menular radikalisme. Pihak kampus harus jeli dan waspada terhadap berbagai kelompok yang mencoba menyebarkan benih paham dan ideologi yang bertentangan dengan NKRI. Ingat, sikap apatis pihak kampus merupakan ancaman bagi tumbuhnya benih pemikiran dan tindakan radikalisme di lingkungan kampus. Secara umum, tentu saja ancaman kelompok radikal itu tidak hanya pada lingkungan kampus, tetapi bagi masa depan keutuhan NKRI.