Menebus Harga Mahal Toleransi

Menebus Harga Mahal Toleransi

- in Narasi
1426
0

Bukan isapan jempol belaka, data yang dikeluarkan Polri dan dicatat oleh Setara Institut, peristiwa intoleran selama 2016 lebih dari 200 kejadian. Kasus sebanyak itu tidak bisa lagi ditolerir, apalagi dianggap tidak meresahkan, mengganggu atau mengancam. Justru sebaliknya, masyarakat yang berada di dalam perahu bernama “Indonesia” perlahan merasa resah dan terancam.

Dan tahun-tahun sebelumnya, sepanjang 2012 The Wahid Institute melaporkan 274 kasus kebebasan beragama yang terperinci ke dalam 363 tindakan. Begitu juga pada tahun 2013, sekitar 122 peristiwa dengan 160 tindakan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. Sepertinya sekala angka yang terus meningkat di atas belum menemukan titik tumpu penyelesaian. Memungkinkan di tahun 2017 akan terus masif dan represif.

Ratusan peristiwa mengenai kebebasan beragama yang terus berdatangan, di Jawa Barat, di Aceh dan Jawa Timur menjadikan Indonesia menjadi salah satu negara dengan indeks intoleransi paling rendah di dunia. Berdasarkan Legatum Prospereti Index yang disusun Legatum Institut, Indonesia hanya satu tingkat di atas Kamboja, jauh d bawah Israel, Irak, Zimbawe dan Libanon. Sungguh mengenaskan sekali, mengingat Indonesia yang berdiri di atas ragam suku, bahasa dan agama.

Taklid Buta

Intoleransi beragama yang terus bergelayut di negeri ini tidak terlepas dari pengaruh globalisasi dan taklid buta. Dengan globalisasi, mengutip Sindhunata, “Bukan soal perdagangan bebas saja, tapi juga soal pandangan hidup yang meremehkan, mereka yang kuat terhadap mereka yang lemah”.

Taklid buta sama halnya dengan miskin pemahaman terhadap benang merah kebangsaan. Mereka—para pelaku intoleran yang baru-baru ini semakin berisik—adalah mereka yang menafikan Pancasila, UUD-45, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika; adalah mereka yang mengartikulasikan tipologi pemahaman keagamaannya dengan—meminjam tipologi (types of being religious) Raimundo Pannikar—eksklusifme akut, tidak dengan inklusifisme, paralelisme dan interpenetrasi yang lebih longgar. Maka sikap toleransi sama halnya jauh panggang dari api.

Bahkan sependek pemahaman saya tentang sikap intoleran terhadap agama lain tidak menemukan rumusannya. Semisal dalam Islam, jelas Tuhan menegaskan dalam surah al-Kafirun yang ke-109, atau di dalam Kristen, dalam ayat 1 Pitrus 2:13-14. Begitu juga di dalam Bhagawadgita, IX:29 dan di dalam Dhammapada, Khuddhaka Nikaya. Semua substansi dari surah-surah itu berseru untuk seling menghormati, mejaga satu sama lain.

Maka tindakan intoleran terhadap agama lain, suku lain dan bahasa lain lebih berdasar pada keserakahan, miskin pemahaman dan kemandekan berpikir. Mengingat tindakan intoleran tidak berdasar pada agama mana pun.

Sadar Kemajemukan

Kemajemukan Indonesia adalah realitas mutlak yang tidak bisa dipungkiri selain dirawat dan diperjuangkan. Dengan kesadaran penuh, sikap toleran, pemaafan dan keadilan atas keyakinan yang berbeda, kekuasaan yang berbeda akan melahirkan kesadaran substansial di dalam bernegara dan beragama.

Dan sadar akan kemajemukan dapat diraih apabila saling terbuka, atau reaksi positif terhadap yang berbeda bagi individu atau kelompok. Dengan begitu senantiasa dapat menahan diri untuk tidak jatuh ke dalam perasangka-perasangka negatif dan merugikan orang lain.

Meminjam asumsi fungsionalisme Durkheim, agama dapat dipandang dengan berdasarkan fungsinya yang memainkan peran di dalam kehidupan masyarakat, bukan pada kandungan doktrinnya yang kerap menjebak—jika berhenti menelaah. Dapat dibayangkan, hidup berdampingan antara satu agama dengan agama lain akan berjalan harmonis. Intoleransi akan hilang dan tenggelam ke dalam nereka.

Besar harapan sebagaimana Mukti Ali juga berharap, bahwa prinsip toleran harus dibumikan se dalam-dalamnya. Karena toleran—selagi masih sadar dan tidak mabuk—merupakan persoalan kesadaran yang akhir-akhir ini semakin mahal harganya.

Facebook Comments