Meneguhkan Persaudaraan Nasional di tengah Arus Hoax Kebencian

Meneguhkan Persaudaraan Nasional di tengah Arus Hoax Kebencian

- in Narasi
929
0

Rohingya kembali di dera konflik panjang. Buntut dari penyerangan kelompok militan Rakhine terhadap militer Myanmar pada 25 Agustus lalu menyisakan krisis kemanusiaan yang diperkirakan lebih memilukan dari krisis tahun lalu. PBB memperkirakan pengungsi yang berhasil menyeberang ke Banglades telah mencapai 123.600 jiwa. Gelombang eksodus tersebut diyakini semua pihak akan terus bertambah.

“Pembantaian” etnis Rohingya oleh militer Myamar mulai mendapat perhatian dunia. PBB sebagai badan perdamaian dunia sejak tanggal 29 Agustus telah turun tangan meminta pemerintah Bangladesh membantu suku Rohingya. India, Turki, Thailand juga turut andil meringankan derita rakyat kawasan Rakhine. Indonesia tak mau ketinggalan dengan menginisiasi langkah diplomasi langsung melalui menteri luar negeri.

Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang termaktub dalam pancasila, sila kedua dan undang-undang mengutuk keras kasus genosida terhadap rakyat Rakhine. Simpatisan dan penggalangan danapun mengalir dari berbagai pihak terutama umat islam. Mengingat kelompok Rohingya mayoritas beragama islam sehingga kedekatan (proximity) perasaan sebagai saudara memicu rakyat Indonesia bereaksi keras dan mendesak pemerintah segera menekan Myanmar.

Perubahan suhu emosi masyarakat Indonesia dalam menghadapi konflik yang terjadi pada warga Rakhine sedikit banyak membuat was-was berbagai pihak. Apalagi isu agama mulai dikaitkan dan cuitan di medsos yang jauh dari sopan terus diposting. Hal ini diperparah dengan maraknya hoax yang turut menjadi warna dalam mengaduk emosi masyarakat tanah air tanpa terkecuali.

Kegagalan Indonesia untuk bersikap tenang menghadapi konflik Rohingya tak terlepas dari menjauhnya agama dan nilai-nilai luhur dalam kehidupan. Minimnya pribadi bijak memberi andil merosotnya kemampuan bangsa ini untuk mengontrol emosi. Kita sering kalap dan terlalu sensitif jika menyangkut ras dan agama. Sehingga rawan dipolitisasi dan diadu domba.

Bertebarannya makian dan ujaran kebencian di medsos sungguh merupakan kepandiran dan ironi. Apalagi jika ide kepung Borobudur benar-benar direalisasikan. Jelas di dalamnya terdapat Politisasi agama, sebab tak ada agama yang menerima kekerasan dalam ajarannya. Islam sangat mengecam kejahatan dan prilaku merusak bumi. Saking tidak sukannya, Allah menekankan dengan banyaknya ayat yang melarang berbuat kejahatan dan kerusakan di bumi, diantaranya dalam surat Al Baqarah, 2: 60.

Langkah terbaik yang mampu Indonesia berikan adalah ruang mediasi sehingga sejarah kelam Srebrenica, Bosnia tidak terulang. Sebagai mediator masyarakat Indonesia harus menyadari dua hal penting yang tidak boleh dilupakan dalam kasus di Rakhine. Pertama, Myanmar merupakan negara merdeka, negara yang memegang kedaulatannya sendiri. Karenanya NKRI sebagai tetangga tidak bisa begitu saja seenaknya bertindak apalagi main gertak sana-sini. Alih-alih membantu justru akan memicu perang yang lebih besar. Untuk menekan militer Junta dan pemerintah Myanmar, kita perlu taktik jitu dan dukungan dari banyak simpatisan dunia. Sehingga mampu memaksa militer menghentikan agresi dan membuka blokade bantuan kemanusiaan.

Kedua, Indonesia harus menyadari bahwa komentar pedas, amarah, dan makian melalui dunia maya dan dunia nyata tidak akan mengubah kondisi Rohingya. Justru akan mempengaruhi stabilitas negeri sendiri. Janganlah kita menjadi simpatisan negara lain namun kita justru merobek perdamaian negeri Indonesia. Apalagi memilih cara mencaci-maki yang akhirnya luput mencari solusi dan rentan menimbulkan konflik internal. Disisi lain islam melarang kita saling mencela (QS. Al Hujurat, 49: 11).

Sangat tidak masuk akal jika Indonesia berharap mampu menjaga perdamaian dan meringankan beban bangsa lain sementara kondisi negeri ini juga tengah mengahadapi konflik kasat mata yang siap meledak dan membumi hanguskan rumah sendiri. Perdamaian dan stabilitas keamanan Indonesia diperlukan untuk memberi teladan dan kekuatan diplomasi sebuah negara. Karenanya pesan negatif dan aksi “kesusu” perlu diminimalisir dan dihindari.

Meningkatkan diplomasi, menggalang dukungan, membenahi akhlak pribadi dan memperbanyak ujaran inspiratif yang santun merupakan langkah yang harus segera diambil dalam menghadapi insiden Rohingya ataupun insiden lain semisal Palestina dan Israel. Sehingga kita tidak bergerak diruang kosong dan sibuk memaki diri sendiri. Langkah yang dicontohkan pendahulu kita dalam menghadapi gerakan Blok timur dan barat dengan mendirikan gerakan Non-blok merupakan langkah diplomasi yang lebih baik dan menguntungkan.

Kita harus bersikap tenang dan tidak tergesa-gesa mengkaitkan dengan apapun yang memicu perseteruan. Kita harus lebih bertanggung jawab terhadap keluarga kita dahulu. Kita harus mempererat ikatan negara kita dan menolak segala bentuk yang mencemari ikatan tersebut. Jangan sampai konflik Rohingya membuat kita berseteru dengan keluarga Indonesia. Memanaskan hubungan persaudaraan, mengeraskan hati apalagi menimbulkan keberangan terhadap sesama bangsa merah-putih. Sangat disayangkan jika niatan baik hendak menolong sesama tercemar dengan ujaran kebencian apalagi makian dan berita hoax. sehingga kita akhirnya melupakan cara berkata yang santun, sungguh disayangkan.

Facebook Comments