Meneladani Peran dan Fungsi Ulama Dalam Merawat Bangsa

Meneladani Peran dan Fungsi Ulama Dalam Merawat Bangsa

- in Kebangsaan
3516
0

Tidak terasa usia negara tercinta Indonesia sudah mendekati tahun yang ke 70. Pelajaran berharga yang selalu dapat kita petik dari sebuah perayaan ulang tahun kemerdekaan adalah tentang kepeloporan dan cinta tanah air sebagaimana telah diwariskan oleh para pendahulu kita.

Secara kebetulan, ulang tahun negeri ini terjadi hampir bersamaan dengan agenda besar dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, yang keduanya memiliki peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Saat itu para ulama mempelopori perlawanan terhadap penjajah akibat kedzaliman yang dilakukan para penjajah terhadap umat Islam.

Namun demikian, perjuangan tersebut bukanlah sebuah perlawan lokal seporadis yang ditujukan hanya untuk kepentingan sesaat; para ulama dan santri berjuang demi hadirnya sebuah negara yang berdaulat dan merdeka. Pergerakan ulama-santri dalam melawan kolonial Belanda memang sempat membuat mereka menjadi kalangan yang begitu terpinggirkan, namun jelas hal itu tidak menghentikan langkah mereka.

Datangnya Jepang yang mengklaim diri sebagai saudara tua nyatanya malah menghadirkan penjajahan baru yang lebih kejam, hingga akhirnya ulama-santri menerima tawaran kolonial Jepang untuk barisan. Terbentuknya Hizbullah berawal dari keinginan Jepang untuk merangkul umat Islam di seluruh Indonesia agar bersedia dilatih militer dan kemudian dikirim ke Jepang untuk bergabung dengan Heiho (tentara pembantu) dalam melawan tentara sekutu, namun dengan gagasan brilian KH. Hasyim Asy’ari, laskar santri tersebut terpisah dengan Heiho dan membentuk barisan tersendiri yaitu Laskar Hizbullah.

Laskar bentukan KH. Hasyim Asy’ari ini dimaksudkan sebagai upaya persiapan kemerdekaan RI sekaligus mempertahankannya. “cara paling efektif menumbangkan penjajah adalah dengan kekuatan penjajah itu sendiri.” Begitu kira-kira teori yang beliau usung.

Laskar Hizbullah, Fisabilillah, dan seluruh rakyat Indonesia dengan berbekal fatwa jihad KH. Hasyim yang diteguhkan oleh Resolusi Jihad, pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa, khususnya umat Islam untuk membela NKRI. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama-santri dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Perjuangan laskar ulama-santri terjadi di berbagai daerah terpompa semangat Resolusi Jihad KH. Hasyim Asy’ari.

Perjuangan ulama-santri berlanjut dalam pertempuran melawan penjajah, bahkan eskalasinya semakin keras diiringi dengan berbagai strategi diplomasi. Karena yang diusung oleh para ulama adalah politik kebangsaan, maka laskar Hizbullah tidak mempermasalahkan kebijakan-kebijakan terkait dengan tentara negara. Bahkan para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan kembali resolusi jihad jilid II. Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville telah merugikan, namun semangat juang ulama-santri tetap berkobar.

Ulama-santrilah yang mampu secara konsisten mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren menjadi simbol perlawanan kolonial. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa salah satu elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial adalah ulama-santri dan pesantren; konsistensi perlawanan mereka terhadap penjajahan tidak pernah tergoyahkan.

Terkait dengan semakin banyaknya pasukan Belanda yang masuk ke wilayah Indonesia, Jenderal Sudirman menyadari bahwa ia tidak mungkin berjuang sendirian bersama TNI-nya (dulu TKR-Tentara Keselamatan Rakyat), maka ia pun mengambil inisiatif untuk menggabungkan pasukan bentukan para ulama pesantren, diantaranya Hizbullah dan Fisabilillah. Para ulama sama sekali tidak berkeberatan dengan peleburan itu, mereka tidak pernah berpikir bahwa hisbullah adalah investasi yang kelak harus ditagih hasinya, para ulama juga tidak egois untuk bekerja sendiri dengan asas Islam.

Upaya untuk menyatukan laskar-laskar perjuangan terus dilakukan setelah Jenderal Sudirman bertemu dengan para pimpinan laskar dalam sebuah rapat yang diselenggarakan pada 12 November 1946 di Yogyakarta. Pertemuan ini berhasil membentuk Dewan Kelaskaran Pusat dan Seberang, di mana pasukan Hizbullah masuk ke dalam badan ini. Pimpinan tertinggi Hizbullah, KH Zainul Arifin duduk dalam kepengurusan Dewan ini.

Meleburnya Hizbullah ke dalam TNI (dulu TRI-Tentara Republik Indonesia) bukan tanpa resistensi internal. Sempat ada penolakan dari Hizbullah Sunan Ampel di bawah pimpinan Mayor Mansur Solichy karena khawatir penggabungan itu akan berimbas pada nasib Hizbullah yang akan diperlakukan seperti anak tiri.

Namun sikap Hizbullah Sunan Ampel ini melunak ketika TRI diubah menjadi TNI. Hal itu ditunjukkan oleh kesediaan mereka untuk bergabung dengan TNI. Sikap ini yang mengundang rasa simpati dari Panglima TNI kala itu, Jenderal Sudirman, sehingga ia menyatakan bahwa sikap Hizbullah yang mau melebur ke dalam TNI adalah sebuah bukti bahwa Hizbullah adalah sebuah kesatuan perjuangan yang lebih mementingkan negara daripada kepentingan golongan.

Kesediaan laskar Hizbullah untuk bergabung dengan TNI merupakan representasi dari sikap patuh terhadap pimpinan, yakni ulama. Para ulama kemudian menggunakan sikap patuh ini untuk tujuan yang lebih besar, yakni perlawanan terhadap penjajah.

Hal ini menunjukkan bahwa ulama bukan saja menjadi panutan masyarakat dalam hal keagamaan, karena mereka juga turut berjuang merebut kemerdekaan bangsa dengan turun langsung ke gelanggang perang.

Sejarah bergabungnya tentara Islam dengan TNI seperti diuraikan di atas merupakan salah satu bukti nyata betapa nasionalisme, kepeloporan, dan cinta tanah air adalah bagian dari implementasi syariat Islam. Semoga ulang tahun Indonesia yang ke 70 ini menjadi momentum bagi kita untuk tumbuh menjadi manusia yang lebih baik, shalih dan cinta tanah air.

Facebook Comments