Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, namun sejatinya kesalahan tersebut dapat dijadikan pembelajaran agar hal yang sama tidak terjadi lagi dikemudian hari. Karenanya hal terbaik yang bisa dilakukan dalam mensikapi kesalahan orang lain adalah dengan memberi nasehat, bukan malah mengumbar kesalahan tersebut agar mental dan harga diri yang bersangkutan semakin ciut.
Kecenderungan untuk mengumbar plus membesar-besarkan kesalahan orang lain sepertinya lebih sering dipilih, terutama jika kesalahan tersebut dilakukan oleh pemimpin, baik pemimpin negara maupun organisasi atau lembaga. Dalam perkembangannya, media massa kerap digunakan sebagai alat untuk menyebar ‘berita’ tentang kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, tujuan utamanya jelas bukan untuk menasehati, tetapi lebih kepada upaya pengumpulan suara agar bisa ramai-ramai memaki.
Padahal memberi nasehat jauh lebih baik daripada mengumbar aib, karenanya hal ini bukan saja merupakan salah satu hal yang mulia, tetapi merupakan kewajiban kita bersama. Dalam Islam, memberi nasehat yang baik bahkan termasuk dalam jihad yang paling utama. Suatu ketika Rasul pernah ditanya perihal jihad yang paling utama, beliau menjawab, “Kalimat kebenaran di sisi pemimpin yang dzalim”. (HR. Nasai, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Albani. Ash Shahihah: 491).
Beberapa ulama menafsirkan bahwa maksud “kalimat kebenaran” seperti yang tercantum dalam hadist di atas adalah nasehat yang isinya baik dan disampaikan dengan cara yang baik pula. Hal ini merujuk pada perintah Allah kepada nabi Musa dan nabi Harun untuk mendatangi firaun secara langsung dan menasehatinya dengan lembut. (QS. Thoha: 43-44). Padahal Firaun adalah pemimpin yang sangat keji, namun Allah tetap saja meminta dua nabi-Nya untuk menasehatinya dengan lembut.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka terdapat setidaknya dua poin penting yang perlu diperhatikan, yakni; sampaikan nasehat secara langsung dan sampaikanlah dengan cara yang lembut. Karenanya jika bermaksud hendak memberi nasehat, maka sampaikan nasehat tersebut langsung kepada yang bersangkutan, tidak perlu mengumbarnya kepada orang lain atau bahkan memamerkannya di media sosial seperti facebook, twitter, dll. Karena perintahnya jelas, sampaikan secara langsung.
Jika nasehat tidak disampaikan secara langsung, apalagi kalau sampai diumbar terlebih dahulu di media sosial, maka orang yang bersangkutan sangat mungkin tidak akan menerima nasehat tersebut. Apalagi jika yang menjadi sasaran nasehat adalah pemimpin, maka sampaikan nasehat tersebut secara langsung. Karena mengumbar kesalahan di media massa malah cenderung akan menimbulkan provokasi yang berujung pada kemarahan masyarakat.
Poin berikutnya adalah terkait dengan tata cara penyampaian nasehat; nasehat yang baik adalah nasehat yang disampaikan dengan cara-cara yang baik pula. Mengumbar kesalahan orang lain, apalagi jika sampai ditambahi dengan fitnah dan caci maki, jelas bukan merupakan cara yang baik dalam memberi nasehat.
Sayangnya, kita semakin sering menyaksikan upaya menasehati yang hampir selalu dibubuhi konten bully. Ada saja orang yang hobby menambah-nambahi sesuatu hanya karena hal tersebut dipandang lebih seru. Namun fakta juga menunjukkan, orang yang biasa mengumbar keburukan orang lain (termasuk keburukan pemimpin) di media akan langsung kecut jika berhadapan langsung dengan orang yang bersangkutan. Ibnu Ummar, salah seorang ulama salaf, dalam riwayat Al Bukhori (7178) bahkan menyebut orang yang bisanya hanya mengumbar kesalahan orang lain –bukannya menasehati secara langsung–, adalah orang yang munafik.
Kita semua tentu berharap agar tidak termasuk dalam barisan orang-orang jahat yang tidak bisa memberi nasehat, hanya bisa memaki tanpa mampu memberi solusi pasti.