Kemajemukan dalam tubuh bangsa Indonesia berkonsekuensi dua hal. Kemajemukan menjadi berkah dan kekuatan bangsa ketika masing-masing unsur masyarakat hidup rukun, berdampingan dalam ikatan kebangsaan yang kuat, yang kemudian memungkinkan bangsa ini memiliki kedinamisan dan kekayaan yang membawa pada kemajuan bangsa. Namun, di lain sisi, kemajemukan juga sangat rentan gesekan, pertikaian, dan–lebih jauh–keterpecahan. Hal tersebut akan terjadi jika masing-masing unsur atau komponen bangsa cenderung mengedepankan egoisme atau eksklusivisme kelompok. Masing-masing kelompok lebih mengutamakan kepentingannya sendiri ketimbang kepentingan bangsa yang lebih besar.
Kehidupan yang rukun dan damai—dalam masyarakat majemuk—hanya akan terwujud jika ada sesuatu yang tertanam, mengikat, dan selalu dijaga bersama. Hal tersebut, tak lain adalah landasan negara. Dalam konteks bangsa kita, landasan bersama–yang bisa mengikat seluruh kelompok—adalah Pancasila. Pancasila menjadi dasar NKRI yang disepakai para pendiri bangsa (founding fathers). Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mampu mengakomodasikan nilai-nilai etika yang sama dari berbagai kelompok, suku, atau agama di Indonesia. Selanjutnya, nilai-nilai yang mengikat setiap agama atau golongan tersebut diharapkan bisa menjadi “spirit bersama” untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika sekarang banyak terjadi fenomena penggugatan oleh kelompok-kelompok tertentu atas berbagai simbol-simbol kebangsaan; Pancasila yang mulai diremehkan, lambang garuda yang disebut berhala, upacara bendera diharamkan, bisa dikatakan hal tersebut menandakan ketidakmampuan kelompok tersebut dalam memahami sejarah perjalanan bangsanya. Kebanggaan kelompok dan sekterian yang ditonjolkan menunjukkan minimnya kesadaran akan pentingnya mengutamakan kepentingan bangsa yang lebih besar. Dan seperti disinggung di awal, kecenderungan mengedepankan egoisme dan eksklusivisme tersebut berbahaya dan mengancam keutuhan dan persatuan bangsa yang majemuk.
Banyak tokoh yang selalu menyuarakan pentingnya masing-masing kita, rakyat Indonesia untuk lebih mengedepankan kepentingan bersama (bangsa) daripada kepentingan kelompok. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan sebagaimana dikutip Rosidi (2016), berpesan agar kita menghindari eksklusivisme dan lebih menekankan pada agenda nasional serta kepentingan semua kelompok masyarakat. Sikap eksklusivisme cenderung melemahkan kebhinnekaan kita dan hanya akan memunculkan sentimen jangka panjang. Dan kita tahu, sentimen hanya akan menciptakan kehidupan yang penuh prasangka, kebencian, dan–lebih jauh–mengakibatkan perpecahan.
Apa yang dikatakan Gus Dur mengisyaratkan bahwa hidup di negara majemuk seperti Indonesia, yang lebih dibutuhkan adalah kesadaran dan kebesaran hati untuk lebih mengutamakan kepentingan bersama ketimbang fanatisme dan eksklusivisme yang justru berujung pada keretakan dalam tubuh bangsa. Kita tahu, kesadaran dan kebesaran hati tersebut mesti tereja lewat sikap saling menghormati dan toleransi yang terus dipupuk demi kehidupan bangsa yang damai dan harmonis.
Negara Perjanjian
Kesadaran mengedepankan kepentingan bangsa pada dasarnya merupakan cara kita menepati janji sebagai warga negara Indonesia. Sebab secara historis, dengan peristiwa diterimanya Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara pada 18 Agustus 1945, maka dengan sendirinya sejak saat itu bangsa Indonesia terikat perjanjian tersebut. Perjanjian untuk menjadikan Pancasila sebagai landasan dan falsafah negara. Sebuah keterikatan yang mengikat segenap warga negara, dari generasi ke generasi, dari zaman ke zaman. Dalam hal ini, Din Syamsuddin, dalam dalam pidato Tausiyah Kebangsaan 18 Agustus 2011, yang naskahnya terhimpun di buku Islam Nusantara; Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan (Mizan; 2015) memberi wawasan menarik.
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah tersebut menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bisa dikatakan sebagai Negara Perjanjian (Dar al-‘Ahd) dan Negara Kesaksian (Dar al-Syahadah). Disebut Negara Perjanjian karena Indonesia ditegakkan atas dasar perjanjian para tokoh yang mewakili segenap golongan masyarakat. Lebih jauh, bagi umat Islam komitmen terhadap Negara Pancasila dapat dijadikan sebagai sikap keagamaan, yakni menepati dan memelihara janji dan amanat–sebagaimana diajarkan dalam Islam. Di sinilah, lagi-lagi, kita disadarkan bahwa sikap cinta Tanah Air dan semangat kebangsaan sama sekali tak bertentangan dengan Islam. Bahkan, kesadaran menjaga amanat dan menepati janji terhadap Negara Pancasila merupakan sikap keagamaan dalam Islam.
Kemudian, lanjut Din Syamsuddin, Indonesia disebut Negara Kesaksian karena setiap warga bangsa diharapkan menunjukkan kesaksian dan pembuktiannya kepada warga negara lain tentang kinerja mereka dalam merealisasikan cita-cita bersama dalam membangun bangsa. Di Negara Kesaksian, masing-masing kelompok warga negara dituntut memberi pengabdian mereka bagi negara sebagai manifestasi komitmen terhadap cita-cita bersama. Pengabdian tersebut, salah satunya mengeja lewat sikap taat terhadap ketentuan negara; taat asas, taat konstitusi, dan taat hukum yang berlaku.
Pemaknaan Indonesia sebagai Negara Perjanjian dan Negara Kesaksian semakin menyadarkan kita tentang makna penting sikap kebangsaan dan merawat kebhinnekaan. Di saat bersamaan, semakin terlihat bahwa segala bentuk sikap dan perilaku anti-kebangsaan, eksklusivisme kelompok, suara-suara radikal yang mencoba mencerabut identitas dan menghapus ingatan dari akar sejarah kebangsaan kita sendiri, merupakan hal berbahaya yang tak pernah relevan dalam konteks kehidupan bangsa Indonesia. Wallahu a’lam