Mengakhiri Permusuhan Sebelum Ramadhan

Mengakhiri Permusuhan Sebelum Ramadhan

- in Narasi
864
0

Alhamdulillah, kita segera akan memasuki bulan Ramadhan. Sebuah bulan yang diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegera setelah nyaris porak poranda akibat terpaan friksi di tengah masyarakat karena pemilu.

Sebelum memasuki bulan Ramadhan, bulan sya’ban adalah sebuah bulan yang istimewa karena pada bulan ini terjadi peristiwa besar, yaitu perubahan arah kiblat yang semula menghadap masjid al-Aqsha di Palestina menjadi masjid al-haram di Mekkah. Pada pertengahan ini atau yang dikenal dengan nisfu sya’ban, Islam menganjurkan untuk memperbanyak ibadah, meminta ampunan, saling memaafkan.

Marhaban ya Ramadhan, begitu kita biasanya ungkapan sebagai bentuk penyambutan bulan Ramadhan. Dengan mengucapkan “marhaban ya Ramadhan”, maka kita dengan penuh kelapangan dada dan suka cita, umat Islam bersiap untuk menyambut bulan yang sangat agung. Sebuah bulan di mana diturunkan al-Qur’an. Bulan penuh pengampunan dan rahmat.

Nabi bersabda, Telah datang kepada kalian Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Allah wajibkan kepada kalian puasa di bulan ini. Di bulan ini, akan dibukakan pintu-pintu langit, dan ditutup pintu-pintu neraka, serta setan-setan nakal akan dibelenggu. Demi Allah, di bulan ini terdapat satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Siapa yang terhalangi untuk mendulang banyak pahala di malam itu, berarti dia terhalangi mendapatkan kebaikan (HR Ahmad dan Nasai)

Sebelum Ramadhan

Sebagai bentuk kesiapan menyambut Ramadhan, umat Islam diminta untuk meminta maaf kepada sesamanya. Karena arti kata Ramadhan secara harfiyah adalah membakar, yakni membakar dosa-dosa baik dosa langsung kepada Allah (huquq Allah) maupun dosa kepada sesama manusia (huquq al-adamy).

Seruan membakar dosa-dosa ini semakin relevan mengingat panasnya atmosphere kampanye kemaren. Bangsa Indonesia seakan terbelah ke dalam kubu-kubu, dengan mendukung satu pasangan tertentu sembari menegasikan bahkan memfitnah kubu lainnya. Sepanjang masa kampanye kemaren, semburan fitnah dan hoaks terjadi begitu sangat masif dan terstruktur. Hanya demi mendukung satu calon tertentu, seseorang bahkan harus memusuhi saudara, tetangga dan bahkan keluarganya.

Ini tentu disayangkan. Karena hanya demi memperebutkan kekuasaan yang sifatnya sementara, segenap anak bangsa bertikai dan berkelahi. Bahkan, pasca pencoblosan pun, bangsa Indonesia masih terbelah dan semakin larut dalam kubangan hoaks dan fitnah. Klaim bahwa hanya dirinya dan kelompoknya yang benar dan menuding orang lain adalah penuh kesalahan terus digemakan.

Baca juga :Pentingnya “Lawan Sastra Ngesti Mulya” dalam Membentuk Karakter Bangsa!

Hari ini, yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah pemadam kebakaran permusuhan dan pertikaian di kalangan masyarakat. Para tokoh agama, elit partai politik, dan organisasi masyarakat harus lebih giat untuk mendamaikan dan menentramkan, bukan semakin memprovokasi. Ini penting diserukan sebagai upaya untuk menjaga persatuan Indonesia.

Kita mestinya menyikapi pemilu ini dengan bijaksana melalui 3 tahap. Pertama, menerima pilihan rakyat Indonesia sebagai takdir Allah. Tak ada satupun peristiwa di muka bumi ini yang tak melalui kehendak Allah. Dedaunan yang jatuh pun tak lepas dari takdir Allah. Begitu pula dengan pemimpin kita. Jika Allah menakdirkan seseorang, maka takdir Allah pasti akan terjadi, begitu pula sebaliknya. Siasat manusia tak akan pernah mampu melampaui siasat Allah.

Sikap ini bukan untuk menutupi segala persoalan yang terjadi pada pemilu, tetapi semata-mata meningkatkan ketauhidan dan ketaqwaan kepada Allah. Benar bahwa kita harus terus memantau dan mengontrol proses penghitungan suara untuk meminimalisir terjadinya kesalahan. Akan tetapi, sebagai umat yang percaya kepada Allah, tak semestinya kita mendikte Allah sesuai dengan kehendak kita.

Kedua, terhadap pemimpin yang terpilih nanti, tugas kita sebagai rakyat adalah tunduk dan taat kepadanya. Ini sesuai dengan firman Allah (QS. Annisa: 59) untuk taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Tentunya, ketaatan kepada pemimpin berbeda dengan ketaatan kepada Allah dan rasul. Ketaatan kepada pemimpin bukan berarti mematuhi aturan-aturan yang bertentangan dengan ketentuan Allah dan Rasul. Sejauh kebijakan yang diberlakukan tidak bertentangan dengan aturan syariat, maka setiap muslim wajib taat kepada pemimpin tersebut.

Ketiga, sehebat dan secanggih apapun seorang pemimpin jika tidak disertai dengan perbaikan kompetensi, pengetahuan dan wawasan, maka apa yang dilakukan oleh pemimpin tersebut kurang memiliki manfaat yang maksimal kepada rakyatnya. Karena itulah, umat Islam bukanlah pribadi yang menggantungkan nasibnya hanya kepada pemimpin ataupun orang lain. Melainkan, umat Islam berkepribadian bahwa perubahan itu terjadi karena perubahan dalam diri seseorang tersebut dan atas kehendakNya.

***

Melalui ketiga cara tersebut, umat Islam diharapkan dapat membangun persaudaraan kembali sesama muslim (ukhuwah islamiah), kepada sesama manusia (ukhuwah insaniyah) dan kepada segenap anak bangsa (ukhuwah wathaniyah). Persaudaraan ini akan menjadi modal yang sangat berharga untuk menyambut bulan Ramadhan dengan penuh gembira dan suka cita, sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi. Bagaimana kegembiraan bisa terwujud jika masih ada permusuhan di antara kita.

Facebook Comments