Kesaktian Pancasila bukan hanya berasal dari dirinya. Melainkan juga dari sikap dan perilaku mereka yang menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidupnya. Ada hubungan timbal balik terus-menerus antara Pancasila dan rakyatnya. Pancasila yang sakti membutuhkan masyarakat yang kuat mengimplementasikannya. Maka, Pancasila tidak bisa dikatakan sakti jika perbuatan pada pendukungnya justru bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Penetapan 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila didasarkan atas SK Presiden RI No 153/1967. Jika kita perhatikan SK ini, latar belakang pertimbangannya adalah keberhasilan seluruh rakyat Indonesia untuk menggagalkan dan menumpas penghianatan G30S/PKI. Selain itu, 1 Oktober juga digunakan untuk mempertebal dan meresapi keyakinan akan kebenaran dan kesaktian Pancasila. Bahwa Pancasila sebagai satu-satunya pandangan hidup yang bisa mempersatukan seluruh negara, bangsa, dan rakyat Indonesia. Harus diakui, SK penetapan ini belakangan semakin santer dikritik. Terutama tentang sejarah pemberontakan PKI dan upaya pencitraan yang dilakukan Presiden Soeharto. Tetapi penulis berpendapat, terlepas dari kontroversi yang menyelimutinya, etika moral dan spirit dalam peringatan Hari Kesaktian Pancasila masih relevan sebagai bahan perenungan.
Bagi bangsa ini, Pancasila adalah pusaka sakti yang harus dirawat dengan telaten. Setiap saat, kita wajib memperhatikan jika ada noda, goresan, dan juga lubang pada ideologi Pancasila. Cermati pula, apakah Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa ini semakin aus, pudar, dan berkarat. Jika ditemukan hal semacam itu, perlu dilakukan perbaikan. Sebab jika dibiarkan, akan terus membuat Pancasila semakin lapuk. Aktivitas merawat Pancasila harus dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Tidak boleh absen sedetik pun! Sebab serangan terhadap Pancasila semakin brutal dan bertubi-tubi. Sehingga butuh kinerja yang ekstra.
Ada beragam serangan terhadap Pancasila. Baik yang berasal dari eksternal maupun internal bangsa ini. Dari eksternal, ada serbuan ideologi transnasionalisme yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur bangsa ini. Seluruh aspek kehidupan bangsa ini pun turut terpengaruh. Misalnya dalam bidang ekonom, kapitalisme makin meminggirkan sistem ekonomi kerakyatan. Pemilik modal memiliki kuasa kuat untuk mengendalikan perekonomian. Sumber-sumber produksi dikuasai segelintir orang. Orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Ketimpangan ekonomi pun terjadi. Fenomena ini menunjukan model penjajahan yang baru. Bahwa penjajahan tidak mesti bersifat fisik dan langsung (seperti menyerang negara lain), melainkan bisa secara halus. Dalam bidang lain, fundamentalisme agama –yang banyak berasal dari negara-negara yang berkonflik- makin diterima oleh sebagian masyarakat kita. Padahal cara beragama yang ekstrem tidak sesuai dengan kondisi rakyat Indonesia yang sangat plural.
Dari dalam negeri, ancamannya terhadap Pancasila pun tidak kalah beringas. Misalnya kehadiran gerakan-gerakan yang ingin menggantikan Pancasila sebagai ideologi negara. Selain itu, kelompok-kelompok separatis -yang ingin memisahkan suatu daerah dari Indonesia- masih tetap eksis. Mereka terus bergerilya untuk keluar dari NKRI. Ancaman lain, merebaknya sikap-sikap yang jauh dari karakter bangsa ini. Contohnya intoleransi. Kita semua bisa merasakan, betapa panas dan sengitnya hubungan antar sesama. Perbedaan pilihan politik menyebabkan anak-anak bangsa saling serang dan gontok-gontokan. Saling hujat terjadi setiap saat (khususnya di media sosial). Jelas, perilaku ini sangat tidak produktif dan sia-sia. Beragam perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan Pancasila menjadi indikator ideologi bangsa ini tidak lagi menjadi pegangan hidup.
Menurut Yudhi Latif, pandangan Bung Karno tentang Pancasila sebagai weltanschauung (pandangan hidup) sekaligus Philosophische Grondslag mirip dengan pandangan Friedrich Engels. Bahwa weltanschauung sebangun dengan filsafat yang menyatu dalam ideologi. Jadi ideologi adalah pandangan dunia yang diteorisasikan dan disistematisasikan secara ilmiah-filosofis. Ideologi merupakan filsafat yang dimaniseftasikan sebagai keyakinan normatif, kerangka interpretatif, dan operatif dalam kehidupan masyarakat (2017: 8). Jika kita mengikuti pendapat ini, seharusnya Pancasila diresapi dalam keseluruhan laku warga negaranya.
Momentum Peringatan Hari Kesaktian Pancasila harus dimanfaatkan seluruh komponen bangsa untuk mengisi kembali tuah Pancasila. Tuah yang akan menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyatnya. Jangan biarkan ideologi bangsa ini gontai menghadapi ancaman dan rapuh menahan beban. Dan ditangan kitalah tanggung jawab tersebut berada.