Dalam sejarah perkembangan sekte-sekte pemikiran klasik dalam Islam bisa dikatakan bahwa pemikiran radikalisme berakhir dengan hilangnya kelompok khawarij yang secara perlahan menghilang akibat teori yang dikembangkan cukup keras. Saat ini, Khawarij dan sempalannya hanya bisa ditemukan di salahsatu Negara Teluk, itupun sudah tidak lagi memiliki pemikiran se-ekstrim pemikiran khawarij klasik.
Pergolakan pemikiran yang terjadi di era-era kekhilafaan Islam hingga Turkey Osthmani yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh pemikir yang berusaha memoderasi pemikiran Islam yang dipadukan dengan pemikiran-pemikiran alam Yunani dengan Islam juga merupakan salah satu faktor membuat pemikiran keras itu menghilang termasuk salah satu kelompok syiah yang paling getol melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh agama yang dianggap berseberangan dengan pemikirannya yaitu kelompok qaramitah. Kelompok ini merupakan salah satu kelompok keras yang sering kali melakukan aksi-aksi teror dan pembunuhan di kalangan tokoh-tokoh agama yang tidak sepaham dengan dia.
Pemikiran radikalisme modern muncul ke permukaan pada awal abad ke 20 yang ditandai dengan ekspansi pengaruh liberalisme dan sekularisme ke dunia Islam. Konsep demokrasi, liberalisme, sekularisasi dan nasionalisme yang diusung oleh negara-negara maju secara militer saat itu, dan ambisi menguasa dan memecah kubu-kubu pemikiran domestik setiap negara membuat munculnya gerakan baru dalam Islam yang anti nasionalisme, sekulerisasi dan liberalisme.
Di Mesir misalnya muncul tokoh-tokoh Islam yang getol menentang pemikiran-pemikiran yang dianggap sangat bertentangan dengan nilai-nilai Islam, mereka mengusung pemikiran-pemikiran melalui buku-bukunya dan tulisan-tulisannya serta dakwah di berbagai tempat. Sementara di sisi lain juga muncul pemikir-pemikir Islam yang berusaha menetralisir pemikiran-pemikiran modern dengan pemikiran Islam dengan mengedepankan keunggulang Islam sebagai agama yang selalu sesuai dengan zaman dan perkembangan. Kelompok-kelompok ekstrim Islam bertahan pada posisnyai kembali ke sumber-sumber Islam yang orisinil, yaitu; Alquran dan Sunnah sebagai satu-satunya konsep yang dianggap mampu menyelesaikan seluruh problematika bangsa dan negara. Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang kemudian memunculkan istilah di kalangan para sarjana sebagai Islam Politik. Fenomena ini juga terjadi di masa-masa Khilafa Umawiyah dan Abbasiah dimana sejumlah pemikir Islam menilai bahwa ekspansi Islam yang dilakukan oleh para Khilafa kala itu tidak lagi seperti ekspansi Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabat-sahabatnya karena motif dan metoda yang dilakukan oleh para Khilafa sudah berbeda dengan yang dilakukan oleh para pendauhulunya.
Pemikiran Islam politik yang cenderung puritan tersebut mengklaim bahwa Islam-lah sebagai agama solusi terhadap masalah yang dihadapi umat ini. Kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan lain-lain merupakan akibat hilangnya ghirah terhadap Islam. Di Indonesia misalnya muncul NII, DI/TII. Sementara di Timur Tengah muncul gerakan-gerakan Islam seperti Ikhawanul Muslimin yang dalam tempo beberapa waktu saja mampu menjalar ke hampir semua negara Arab.
Namun kegagalan kelompok Islam politik ini dalam menghadapi percaturan politik di era itu membuat pengagum Islam Politik mengambil jalan pintas untuk mencapai kekuasaan. Dasar-dasar pemikirannyapun dibangun secara sistimatis, antara lain mengkafirkan pemerintah yang tidak menjalankan syariat Islam dengan istilah thogut, mengkafirkan para ulama-ulama Islam atau tokoh-tokoh agama serta pegawai-pegawai pemerintahan karena dianggap pendukung pemimpin-pemimpin kafir, tidak mengakui pemerintahan dimana mereka berdomisili karena menganggap pemimpinnya adalah kafir, mengangkat isu-isu jihad, hijrah, syahid sebagai ikon dan sarana untuk mencapai tujuannya dan menerbitkan buku-buku yang memuat konsep negara Islam, hukum-hukum bagi setiap prilaku dan tindakan yang dilakukan pengikutnya dan lawan-lawannya serta inovasi perjuangannya.
Pemikiran ini mendapat ruang yang luas di negara-negara diktator dan menjadi candu bagi kelompok-kelompok yang merasa terpinggirkan. Pemikiran inilah yang kemudian dikenal sebagai radikal modern yaitu Jamaah Takfiri wal Hijra yang merupakan turunan dari kelompok radikal klasik yang kini bukan saja berkembang di dunia timur tengah tetapi juga di kawasan Asia. Kelompok-kelompok perjuangan mereka yang memiliki aneka ragam nama seperti Mujahidin Afghanistan, Mujahidian Asia dan lain-lain sebagainya tidak lebih sebagai wahana untuk menyelamatkan diri dan mengelabui umat Islam dan pemerintah, akan tetapi pada intinya tetap mengambil dasar-dasar pemikiran dari kelompok radikalisme modern yang berkembang pada awal-awal abad ke-20
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sampai saat ini sejumlah kelompok radikal termasuk ISIS yang merupakan pemain baru dalam dunia terorisme dan bom bunuh diri tetap memiliki keterkaitan erat dengan kelompok-kelompok lain yang ada di berbagai negara, seperti MIT di Indonesia, Katiba Nusantara, Boko Haram di Nigeria dan Alqaeda di Afghanistan.
Kelompok ini sepakat pada titik tertentu bahwa Islam sebagai tujuan dan hanya dengan kekerasan Islam dapat tegak serta meyakini bahwa dengan kesabaran, ketabahan dan kesungguhan dan kerelahan berkorban termasuk bom bunuh diri cita-cita mereka akan dapat tercapai.