Mengenali Tiga Ciri Narasi Radikal yang Membonceng Isu Politik Global

Mengenali Tiga Ciri Narasi Radikal yang Membonceng Isu Politik Global

- in Faktual
641
0
Mengenali Tiga Ciri Narasi Radikal yang Membonceng Isu Politik Global

Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia kerap menunjukkan solidaritas terhadap umat Islam di belahan bumi lain yang tengah menghadapai konflik atau kekerasan.

Ketika muslim etnis Uyghur mendapat tindakan represif dari pemerintah China, umat Islam Indonesia lantang menyuarakan protes keras. Demikian pula ketika muslim Rohingnya menghadapai kekerasan genosida oleh pemerintah Myanmar.

Umat Islam Indonesia berada paling depan membela muslim Rohingya. Bahkan, para pengungsi Rohingnya yang kapalnya terdampar di kepulauan Indonesia disambut hangat oleh masyarakat setempat.

Sikap yang sama ditunjukkan masyarakat Indonesia terhadap muslim Palestina yang selama ini harus berkonflik dengan Israel. Muslim Palestina sudah seperti saudara sendiri bagi rakyat Indonesia.

Selama ini, solidaritas muslim Indonesia kepada Palestina bukan sekadar wacana, namun mewujud ke dalam aksi nyata. Secara resmi pemerintah kerap memberikan bantuan terhadap pemerintahan Palestina. Demikian pula, banyak ormas keislaman Indonesia yang menyalurkan donasi umat untuk membantu rakyat Palestina.

Eksploitasi Solidaritas Umat Islam oleh Kelompok Radikal

Namun, ironisnya tingginya solidaritas muslim Indonesia terhadap muslim di negara lain yang tengah berkonflik itu kerap dipelintir oleh pihak-pihak tertentu untuk menyebarkan narasi radikal.

Saban kali isu muslim Uyghur, Rohingnya dan Palestina mencuat, pasti muncul propaganda radikalisasi yang membonceng isu tersebut. Narasi radikal itu bisa diidentifikasi dari setidaknya tiga hal.

Pertama adanya upaya untuk membangun opini bahwa konflik yang dihadapi umat Islam mulai dari Uyghur di China, Rohingnya dan Myanmar dan Palestina adalah murni konflik agama antara Islam dan non-Islam.

Narasi konflik agama itu sengaja dibangun untuk membangkitkan sentimen kebencian terhadap kelompok non-muslim. Cara pandangan yang simplistik itu jelas berbahaya karena rawan mendistorsi realitas yang sesungguhnya.

Dalam konflik Palestina dan Israel misalnya, kurang tepat kiranya melabeli konflik itu sebagai perang antar-agama. Tersebab, realitanya masyarakat Palestina sendiri multirelijius, ada yang beragama Islam, Kristen, dan ada pula komunitas Nasrani.

Selain itu, tidak semua orang Yahudi setuju dengan tindakan aneksasi Israel atas wilayah Palestina. Kelompok Yahudi liberal misalnya sangat anti pada agenda zionisme yang menjadi akar konflik Palestina-Israel.

Kedua, adanya penggiringan persepsi bahwa konflik yang dialami umat Islam di sejumlah negara terjadi karena umat Islam hari ini tidak atau belum menegakkan khilafah Islamiyyah. Jika khilafah Islamiyyah berhasil ditegakkan, maka kekerasan dan konflik yang dialami umat Islam akan dengan sendirinya teratasi.

Klaim bahwa khilafah islamiyyah adalah solusi bagi setiap persoalan konflik dan kekerasan yang dihadapi umat Islam adalah persepsi yang ahistoris. Bagaimana tidak? Jika kita menengok masa lalu, maka di zaman kekhalifahan pun konflik dan kekerasan tetap saja terjadi dengan berbagai motif dan latar belakang.

Ketiga, adanya upaya untuk mengkomodifikasi kekerasan dan konflik yang dihadapi umat Islam di beberapa negara itu untuk mendorong umat Islam agar melancarkan aksi jihad. Jihad yang dimaksud dalam konteks ini adalah aksi kekerasan dan teror yang menyasar kalangan yang selama ini dipersepsikan sebagai musuh Islam.

Ajakan jihad dengan membonceng isu konflik di negara lain ini cenderung absurd. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara yang aman dan damai. Ajakan jihad dalam tafsiran yang mengacu pada perang fisik di negeri damai tentu suatu hal yang irelevan. Muslim yang berkonflik di negara lain, mengapa jihadnya di Indonesia?

Membangun Solidaritas Kemanusiaan Universal

Mengenali narasi radikal yang membonceng isu politik global, terutama yang melibatkan umat Islam ini penting. Tujuannya agar umat memahami betul duduk perkara mengapa terjadi konflik dan kekerasan terhadap umat Islam di sejumlah negara.

Tentu di saat yang sama, kita juga perlu memahami peta politik global agar tidak terjebak dalam logika simplistik yang menganggap bahwa konflik yang dihadapi umat Islam pastilah konflik agama.

Dengan pemahaman yang komprehensif, umat tidak akan mudah digiring atau dimobilisasi kelompok tertentu ke dalam gerakan solidaritas semu yang berkedok kemanusiaan padahal sebenarnya bertujuan politis-ideologis.

Solidaritas kemanusiaan terhadap muslim Uyghur, Rohingnya, Pelatihan dan umat Islam dimana pun tentu wajib dilestarikan. Bagaimana pun juga, persaudaraan sesama muslim (ukhuwah Islamiyyah) adalah hal pokok yang harus terus dijaga.

Namun, jangan sampai nait baik untuk berempati dan membela umat Islam yang tertindas itu justru ditunggangi oleh kepentingan segelintir kalangan yang memiliki agenda politis-ideologis.

Arkian, solidaritas kemanusiaan idealnya dibangun di atas prinsip universalitas. Artinya, siapa pun umat manusia yang tertindas dan mengalami perlakuan kekerasan harus kita bela. Tidak peduli apa identitas kebangsaan dan keagamannya. Solidaritas kemanusiaan idealnya tidak semata dibangun di atas fondasi sentimen identitas keagamaan. Solidaritas yang bersifat ekskusif seperti itu rawan atau bahkan berpotensi dipelintir ke dalam narasi radikal yang memecah-belah umat dan bangsa.

Facebook Comments