Terorisme bukan jihad dan bukan ajaran Islam. Doktrin ini harus dipahami semua orang. Penyebaran terorisme secara masif terjadi dan strategis tak hanya di media sosial atau siber, namun juga disebarkan di masjid.
Awalnya, mereka mengenalkan Islam secara umum. Ketika memiliki jemaah tetap, provokasi dan indoktrinasi ajaran radikal dilakukan yang berpuncak pada terorisme. Ini harus diantisipasi sejak dini agar terorisme dihentikan dari akarnya.
Mendekati Ramadan, masjid harus steril dari ajaran radikalisme. Banyak potensi ustaz dadakan yang terselubung masuk ke masjid dengan kedok syiar Islam. Apalagi banyak kaum radikal masuk struktur Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) di berbagai daerah.
Maka literasi toleransi urgen digerakkan melalui masjid atau musala. Umat Islam dan semua masyarakat harus punya kewaspadaan dan deteksi dini. Sebab, kaum radikal dan agen terorisme dekat bahkan sering berinteraksi dengan kita dalam forum-forum yang dikemas religius, khususnya di masjid.
Indoktrinasi Radikalisme di Masjid
Tahun 2007, Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) menyebut ada ratusan masjid dan musala NU dikuasai kaum Wahabi. Faham Wahabi menilai NU melestarikan bidah dan sesat. Umat Islam yang suka tradisi dan nasionalis terus dikafirkan kaum Wahabi. Maka masjid-masjid NU yang dikuasai diubah sistem ibadahnya menjadi konservatif, kaku, dan radikal.
Wahabi tak salah, namun ajaran mereka jika dipahami secara mentah akan berpotensi melahirkan aksi terorisme. Apalagi, kelompok Wahabi dan Salafi sejak dulu antitradisi, menyesatkan tahlil, ziarah kubur, mengharamkan hormat bendera, dan lainnya.
Peneliti Universitas Indonesia, Solahuddin, menjelaskan para aktivis Islam transnasionalis seperti Salafi Wahabi dari dulu banyak yang menguasai DKM-DKM di masjid birokrasi. Mereka dikader sejak di kampus. Ketika bekerja di birokrasi, mereka aktif di lembaga, masjid, dan menyebar faham radikal (Nu.or.id, 10/10/2017).
Pengalaman selama lima tahun menjadi takmir masjid, saya sering menerima buletin, majalah, dan tabloid dari salah satu ormas yang kontennya provokatif radikalis. Saya harus menyeleksi media itu untuk disebar pada jemaah. Mereka memang terstruktur menyebar ajarannya lewat berbagai media dan acara berkedok Islam, namun isinya radikalisme. Ini harus diputus secepatnya.
Hakikatnya, masjid adalah tempat pendidikan literasi toleransi. Ketika disusupi kaum radikal justru membahayakan. Banyak saudara kita ketika pulang dari pengajian di masjid membawa informasi dan pengetahuan salah. Akhirnya, mereka terjangkiti pemikiran radikal.
Bisa jadi takmir salah mengundang ustaz/kiainya. Bisa pula masjid itu sudah dikuai kaum radikal. Maka perlu penguatan literasi toleransi agar masjid kembali pada fungsinya, yaitu mendidik dan menebar Islam yang rahmat bagi semua alam.
Literasi Toleransi di Masjid
Penguatan literasi toleransi menjadi tugas bersama. Bisa di masjid kampung, pemerintahan, kampus atau di kantor perusahaan. Pada era Nabi Muhammad, masjid tak sekadar tempat salat, ibadah, namun berfungsi sosial, edukasi, bahkan politik dan menggerakkan jemaah melakukan sesuatu. Jika gerakan itu benar dan ramah tak ada masalah, namun jika terorisme justru berbahaya.
Masjid harus memiliki kurikulum pendidikan literasi toleransi untuk membangun generasi toleran. Harus ada pola tersistem menyentuh akar terorisme. Sebab, banyak terorisme lahir dari pengajian masjid menyeru radikalisme.
Doktrin “surga milikku” menjadi jurusnya. Syaratnya, harus jihad dengan cara klaim benar sendiri, sampai pada ngebom dan menghalalkan darah bagi semua orang non-Islam. Fenomena ini mengharuskan literasi toleransi dikuatkan di masjid dengan beberapa pendekatan.
Pertama, penekanan Islam agama moderat, toleran, berprinsip merangkul bukan memukul. Semua itu dikuatkan dengan literasi Islam meliputi aspek aqidah (keyakinan), fikrah (pemikiran), amaliyah (amalan-amalan), dan harakah (gerakan).
Kedua, perlu kurikulum pendidikan Islam toleran. Takmir harus membuat cetak biru cakupan materi di masjid. Mulai dari khutbah Jumat, pengajian harian/mingguan/bulanan, dan hari besar Islam. Penguatan literasi toleransi di masjid akan memutus akar terorisme.
Ketiga, kiai, ustad, pengisi ceramah di masjid harus jelas rekam jejaknya. Jangan sampai takmir masjid mengundang ustaz dari kelompok radikal. Keempat, dakwah di masjid harus menerapkan pendekatan agama-budaya. Muatan dakwah harus bebas doktrin radikal, apalagi doktrin mengebom.
Keempat, sinergi antara takmir masjid, ikatan remaja masjid, DKM, DMI, tokoh masyarakat, dan pemerintah. Sinergi ini guna menyukseskan literasi toleransi untuk membangun atmosfer Islam toleran. Dalam Alquran, ada 28 kata masjid disebutkan. Artinya, betapa pentingnya masjid sangat strategis menyebarkan Islam toleran. Jika tidak sekarang, kapan lagi?