Jembatan Formalisasi Syariat dan Sekularisasi

Jembatan Formalisasi Syariat dan Sekularisasi

- in Narasi
33
0
Jembatan Formalisasi Syariat dan Sekularisasi

Sebagai negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar di dunia, Indonesia selalu menghadapi tantangan kompleks dalam menjembatani prinsip-prinsip syariat Islam dalam arturan dan regulasi pemerintah. Isu formalisasi agama, terutama syariat Islam, sering menyita perhatian publik walaupun sejatinya perdebatan ini telah usai. Keinginan untuk memformalkan Islam tidak lepas dari gairah ingin mengembalikan konsep khilafah dalam sejarah Islam.

Hadirnya gelombang negara bangsa memang telah memberikan tantangan terhadap masyarakat dunia terutama di negara-negara muslim. Timur Tengah yang pernah mengalami sejarah kekhalifahan pada akhirnya memilih konsep negara bangsa yang cukup beragam dari republik hingga monarki. Persoalan dasar negara juga masih variatif ada yang memilih jalan formalisasi syariah ada pula yang sekularisasi seperti Turki.

Indonesia dengan tumbuh besar di masa kegamangan ideologi bernegara di berbagai negara memantapkan diri mengambil jalan tengah yang brilian. Tidak melakukan formalisasi agama, tetapi juga tidak mau terjerumus pada lubang sekularisasi. Pancasila ditetapkan sebagai prinsip dasar negara yang inklusif dan menghormati keberagaman karena memandang formalisasi agama, terutama syariat Islam, dapat menimbulkan ketidaksetaraan dan diskriminasi hak minoritas.

Upaya formalisasi bukan tidak pernah diperdebatkan dalam negara ini. Namun, sejarah membuktikan resistensi di tengah masyarakat beragam adalah menjadi tantangan utama.

Menurut Dr. Nadirsyah Hosen, seorang pakar hukum Islam di Australia, formalisasi syariat di Indonesia dapat mengakibatkan pembentukan hukum yang tidak inklusif dan merugikan kelompok minoritas. Hal ini dapat melahirkan konsep hukum yang lebih mengedepankan interpretasi konservatif dan tidak memadukan pandangan beragam di masyarakat.

Mengambil Jalan Tengah

Hukum syariat memiliki basis agama dan bersumber pada Al-Qur’an serta hadis sebagai sumber hukum utama. Interpretasi hukum sering kali bergantung pada pemahaman mazhab atau aliran tertentu. Di beberapa negara Islam pilihan madzhab dalam hukum syariat itu tergantung pada wilayah masing-masing.

Formalisasi syariah juga membutukan ijtihad kolektif yang menyatukan suara-suara umat Islam. Tidak hanya membutuhkan kesepakatan dengan kelompok non muslim, tetapi upaya formalisasi syariah dengan karakteristik muslim yang beragam di Indonesia juga membutuhkan effort yang tinggi.

Bayangkan hari ini dengan keragaman pemahaman dan pemaknaan Islam yang ada, formalisasi syariah seperti apa yang relevan untuk diterapkan? Kelompok Islam seperti apa yang bisa diakomodir? Pada akhirnya nanti harus ada pilihan madzhab dan aliran tertentu dalam Islam yang juga bisa menciptkan ketidaksepakatan kelompok lainnya. Itu baru berbicara tentang internal umat Islam, belum pada tataran antar umat beragama.

Karena itulah, Pancasila yang mencakup prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dengan nilai agama menjadi jembatan antara formalisasi agama dan sekularisasi. Dengan prinsip universal sila-sila Pancasila, hukum negara bersifat dinamis dan dapat beradaptasi dengan perkembangan masyarakat dan nilai-nilai universal. Hal ini memungkinkan inklusi dan menghormati keberagaman dalam bingkai negara.

Di Indonesia, memahami pemisahan antara agama dan negara bukan dalam kerangka deprivatisasi agama, tetapi tidak ingin monopoli agama tertentu dalam aturan negara. Pada prakteknya, negara ternyata mempunyai aturan-aturan yang bersumber dari ajaran agama dan mengatur pergaulan antar agama.

Karena itulah, jika ada kelompok yang ingin membawa kembali isu formalisasi agama dengan membawa atas nama hukum Tuhan yang harus diterapkan di Indonesia adalah perdebatan yang mundur ke belakang lagi. Perdebatan ini hanya menghabiskan energi untuk menatap masa depan.

Facebook Comments