Idul Adha adalah momentum bangsa ini untuk siap berkorban kepada kepentingan bangsa dan negara. Ini menjadi momentum umat Islam untuk mengikuti jejak perjuangan Ibrahim dan Ismail untuk membangun kembali bangsa tercinta ini. Berbagai gerakan radikalisme dan terorisme yang datang menjadi penanda penting bahwa egoisme sebagian kelompok bisa menjadi petaka bagi yang lain. Egoisme kelompok bisa mengoyak solidaritas kebangsaan, karena terjebak dalam pemahaman sempit dalam konteks berbangsa dan bernegara.
Peristiwa pengorbanan Ismail untuk disembelih sang ayahanda merupakan bentuk kekuatan iman yang kuat dan simbol berserah diri kepada Allah secara total. Demikian juga sang ayah. Dengan mematuhi perintah- Nya, walaupun dengan penuh sedih, Nabi Ibrahim tetap teguh, tegar, dan yakin bahwa yang dijalankan adalah sebuah kebenaran. Keyakinan sang ayah dan sang anak tersebut merupakan modal awal seseorang mengabdikan dirinya kepada Allah. Keimanan yang dimiliki Ismail mampu mematahkan berbagai ego pribadinya dan ayahandanya. Apa yang dilakukan Ismail inilah yang kemudian Idul Adha juga dinamakan Idul Qurban.
Hari Raya Idul Qurban ini merupakan hari raya yang mempunyai dimensi sosial yang sangat signifikan selain hari raya idul fitri. Idul Qurban bukanlah sesuatu yang bersifat teoritis, melainkan sesuatu yang bersifat practicable, terutama nilai-nilai kurban dan pengorbanan yang diperlukan untuk menghadapi tantangan kehidupan saat ini. Hari raya yang jatuh pada tanggal 10 Dhulhijjah ini dikenal dengan tiga nama.Pertama, Idul Haj. Artinya banyak umat Islam yang merayakan hari raya ini dengan menunaikan haji ditanah suci. Dengan khusuknya ditanah suci, mereka menunaikan ibadah haji dan pengorbanan pada saat ini dilakukan untuk lebih meningkatkan apa yang mereka lakukan disana.
Kedua, idul adha. Artinya sebagian umat Islam merayakannya pada tanggal 10 Dhulhijjah dengan melakukan penyembelihan ternak kurban.Ketiga, Idul Qurban. Nama ini bukanlah nama hanya sebatas simbol. Bila dicermati secara etimologis, makna qurban adalah dekat. Maka secara kontekstual, makna qurban disini berarti setiap umat Islam, baik yang melakukan ibadah haji, menyembelih ternak kurban, maupun yang tidak melakukan kedua ibadah tersebut, mereka tetap melakukan demontrasi -memperlihatkan sikap- umat Islam, mental,living attitude, bahwa yang dekat dengan mereka selama ini hanyalah Allah semata.
Di sinilah bahwasanya mampu tidaknya seseorang memenuhi pangggilan Allah dalam menunaikan ibadah Haji bergantung pada posisi manusia itu sendiri; dekat atau jauh kepada Allah. Kalaupun dia jauh engan Allah walapun uang berlebihan, kesehatan cukup, tapi dia akan berkata keliling dunia (raound the world). Namun bila dia dekat, maka jawabannya,Labbaika allahumm labbaika, memenuhi panggilanmu ya Allah. (Prof. Mahmuddin: 1989).
Korbankan Egoisme
Berangkat dari makna qurban inilah, momentum Idul Adha kali perlu kita refleksikan kembali dalam realitas kehidupan bangsa sekarang ini. Krisis yang terus datang sekarang ini menjadi tanggungjawab kita semua. Mengorbankan apapun yang kita miliki untuk meringankan beban saudara kita. Saatnya kita selalu mengorbankan segala bentuk egoisme dan egosentrismenya menuju nilai-nilai kemanusiaan universal.
Salah satu bukti nyata terkiat ini adalah distribusi daging kurban. Ada perbedaan ulama’ terkait pembagian daging kurban untuk non-muslim. Menurut ulama’ Syafi’iyyah, tidak boleh secara mutlak. Tapi kalau sudah dimasak dan mengajak makan bersama non-muslim, maka diperbolehkan. Sementara Imam Abu Hanifah, Imam Hasan Basri, dan Imam Abu Tsaur, memperbolehkan untuk non-muslim yang fakir miskin. Adapun ulama’ Mazhab Hanbaliyah yang dimotori Ibnu Qudamah membolehkan secara mutlak, lebih-lebih fakir miskin atau tetangga.
Semua pendapat ini mempunyai landasan sendiri-sendiri. Tetapi spirit solidaritas untuk non-muslim tetap ada, bahkan Mazhab Hanbaliyah memberikan status yang sama dengan umat Islam. Ini bukti nyata dalam distribusi daging kurban. Tentu saja, ini menjadientry pointbagi umat Islam dan umat beragama lain untuk mengoreksi kembali keberagamaannya yang banyak dinodai dengan praktek intoleransi. Pengorbanan Ismail menyiratkan bahwa apa yang kita miliki janganlah dianggap absolut milik kita sendiri tetapi apa yang dibutuhkan masyarakat umum itulah yang akan menjadi milik kita di sisi Allah. Demikian juga apa yang kita berikan untuk kerukunan keberagamaan kita itulah yang nantinya akan menjadikan amal baik kita.
Dalam kehidupan politik kita, para elite politik hendaknya mau mengorbankan ambisi politik danvisted interestuntuk tidak menggunakan instumen konstitusi sebagai legitimator gerakan politik kepentingan atau menggunakan kekuatan massa konstituen untuk dijadikan bomber politik dan ambisi pribadinya.
Janganlah kita berfikir apa yang dapat diberikan bangsa kepada anda, namun berfikirlah apa yang dapat anda berikan kepada bangsa yang tercinta ini. Demikianlah kata Soekarno dalam mengobarkan perjuangan bangsa.