Menguatkan Wawasan Pancasila di Kampus dalam Menangkal Radikalisme

Menguatkan Wawasan Pancasila di Kampus dalam Menangkal Radikalisme

- in Editorial
5517
1
Menguatkan Wawasan Pancasila di Kampus dalam Menangkal Radikalisme

Kekhawatiran merebaknya radikalisme di lingkungan pendidikan tinggi menjadi perhatian serius pemerintah dan pihak kampus. Alarm ini semakin terasa kencang ketika beberapa riset dan survey dilakukan untuk mengukur potensi radikalisme di kampus.

Salah satu yang membuat kita terkejut semisal survei Alvara Research Center dan Mata Air Foundation dengan responden 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi. Dalam survei itu, terindikasi 19,6% mahasiswa mendukung peraturan daerah (Perda) syariah, 25,3% setuju dengan berdirinya negara Islam, 16,8% mendukung ideologi Islam, 29,5% tidak mendukung pemimpin Islam dan 23% berpotensi radikal.

Dalam penelitian LIPI pada 2006, sebanyak 86 persen mahasiswa dari lima perguruan tinggi di Pulau Jawa menolak Pancasila dan menginginkan penegakan syariat Islam. Radikalisme ideologi telah merambah dunia mahasiswa melalui proses gerakan keagamaan di aktifitas organisasi mahasiswa di kampus. Proses itu dilakukan secara tertutup. Pada prakteknya, kelompok ini lebih banyak melakukan radikalisme ideologi dengan cita-cita mendirikan negara Islam versi mereka sendiri.

Kapan radikalisme itu dimulai? Sebenarnya fenomena radikalisme di kampus telah berlangsung lama. Hari ini kita menyaksikan imbas pembiaran lama dari bibit-bibit yang telah ditanam sejak lama. Di zaman Orde Baru, Soeharto menekan semua kekuatan politik di berbagai aspek yang bisa mengancam stabilitas politik dan keamanan, termasuk di lingkungan kampus.

Aktivitas politik mahasiswa yang dilarang melalui kebijakan NKK/BKK, dengan didorong kepentingan lain bergeser menjadi aktifitas tertutup melalui pengajian, majlis taklim, kelompok diskusi keagamaan. Di situlah, pemikiran dan paham radikal ditanam dan tumbuh subur. Saat ini kita merasakan musim semi paham radikal yang bermunculan di berbagai kampus.

Pasca reformasi, kader-kader yang ditanam di berbagai kampus telah menguasai beberapa organisasi intra kampus yang strategis. Proses kaderisasi semakin terbuka dengan mampu menggaet mahasiswa baru. Cita-cita tentang Negara Islam, intoleransi, dan kebenaran ekslusif mudah ditularkan dengan memanfaatkan posisi strategis di kampus.

Baca juga :Pahlawan Millenial Menjaga NKRI

Proses pembiaran dan ketidakpekaan terhadap proses radikalisasi ini telah cukup lama terjadi. Memang kita tidak bisa mengatakan bahwa gerakan radikalisme kampus ini akan mengarah pada tindakan kekerasan dan terorisme. Namun ini sepenuhnya persoalan timing. Apabila dalam pandangan seseorang Negara adalah musuh, yang berbeda adalah salah, dan doktrin perang membela agama adalah sebuah kewajiban itu persoalan menunggu faktor pendukung lain yang mengakselerasi dari radikal ke tindakan kekerasan.

Fakta memang tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan kekerasan dan aktor terorisme, katakanlah, tidak lahir dari orang yang memiliki pandangan moderat. Mereka lahir dari proses radikalisasi yang mengarah pada tindakan kekerasan dan terorisme. Inilah yang menyebabkan hari ini aktor terorisme justru lahir dari kalangan terdidik. Terorisme karena faktor rendahnya pendidikan justru mulai tergantikan dengan terorisme yang berbasis idealisme perubahan dari kalangan terdidik.

Artinya, bukan sekedar dalam pemikiran radikal, tetapi kampus menjadi potensial bagi tumbuhnya ideologi kekerasan dan terorisme. Tidak sedikit, dalam masa-masa keemasan ISIS tiga tahun silam, mahasiswa yang hilang dan bergabung dengan kelompok teror baru tersebut. Kasus sangat memilukan di salah satu universitas di Riau justru menjadi tempat nyaman bagi kelompok teror untuk melakukan persiapan aksi.

Dalam konteks itulah, radikalisme kampus sungguh sangat serius dan perlu diperhatikan secara bijak. Keluarnya Permenristekdikti No. 55 Tahun 2018 Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi bisa dibaca sebagai langkah responsif, walaupun agak terlambat, tetapi tidak ada kata terlambat dalam mengobati radikalisme di kampus. Peraturan ini mendorong mentoring kebangsaan bagi aktifitas mahasiswa di kampus. Setiap kampus wajib membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM-PIB).

UKM-PIB menjadi wadah bagi semua kegiatan mahasiswa dalam pengawasan rektor. Salah satu prakteknya adalah mengajak kembali organisasi ekstra yang berhaluan Pancasila di kampus untuk ikut memperkuat upaya melawan radikalisme di kampus. UKM ini menjadi wadah bagi organisasi mahasiswa untuk berkontestasi dalam memperkuat ideologi kebangsaan yang mulai pudar di lingkungan kampus dengan merebaknya pemikiran radikal.

Tentu saja perlu keterlibatan semua pihak. Bagaimanapun kampus harus steril dari paham dan pandangan yang berhaluan dengan cita-cita Negara dan ideologi yang mengajarkan kekerasan. Mengamputasi penyakit dan virus radikalisme yang telah merambah cukup lama ini perlu kekuatan bersama. Semoga kebijakan ini mampu menguatkan wawasan kebangsaan mahasiswa dan mengeliminir kekuatan ideologi radikalisme di lingkungan kampus.

Facebook Comments