Pemerintah resmi menerapkan PPKM Darurat Jawa-Bali pada tanggal 3-20 Juli 2021. Berbagai narasi pun bermunculan seiring dengan pemberlakuan PPKM Darurat. Salah satu narasi yang santer adalah, penutupan Masjid, yang dipelintir menjadi sebuah sikap yang menunjukkan takut terhadap Covid-19 ketimbang kepada Allah Sang Pencipta.
Tidak hanya sampai di situ, mereka juga membumbui narasi di atas dengan dalil-dalil agama sebagai penguatnya. Misalnya, kelompok ini mengutip QS. al-An’am ayat 16, yang berbunyi: “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”
Bahkan buntut dari himbauan Kemenag lantaran Shalat Idul Adha 1442 H dan takbiran secara massal ditiadakan untuk sementara karena dapat menimbulkan klaster baru Covid-19, Kemenag dituding lebih takut kepada virus dibanding Allah. Tudingan ini ramai dilancarkan oleh netizen.
Hingga kini, perdebatan ‘Takut Allah vs Takut virus’ masih saja terjadi dikalangan masyarakat. Hal ini tentunya menjadi catatan kita bersama bahwa betapa umat masih banyak yang belum dewasa dalam beragama. Rasionalitas umat masih belum berjalan sebagaimana perintah agama. Akibatnya, kelompok ini sesungguhnya membahayakan diri sendiri, orang lain, bahkan agamanya.
Mengapa demikian? Karena orang yang menganggap bahwa umat Islam harus pasrah secara totalitas kepada Allah; memasrahkan hidup dan mati kepada Allah sehingga tak percaya dan takut Corona, akan menghambat upaya mengakhiri pandemi ini. Kelompok ini seolah lupa dan tutup mata akan sebuah fakta bahwa sudah banyak para pemuka agama yang meninggal setelah berjuang melawan Covid-19. Dan di beberapa wilayah, klaster jamaah pun mulai bermunculan.
Nabi Pun Takut
Untuk menguji kedewasaan beragama kita, terutama kaitannya dengan menyikapi Covid-19, mari kita simak bagaimana teladan Nabi dan petunjuk Alquran dan hadis. Islam adalah agama rasional; sesuai dengan akal sehat manusia. Begitun ihwal wabah. Rasulullah memerintahkan agar kita menghindar dari wabah, sebagaimana sabda beliau:
“Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada di daerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadis di atas sangat jelas bahwa Nabi tidak lantas pasrah (takut) begitu saja bila ada suatu wabah, melainkan berupaya sekuat tenaga untuk menghindarinya. Dalam bahasa modernya, perintah Nabi ini bagian dari penerapan protokol kesehatan, pakai masker, tidak berkerumun dan lainnya.
Sikap takut Nabi pun juga ditunjukkan dalam lain hal dan kesempatan, seperti ketika beliau dalam keadaan sedang perang. Dalam kondisi ini, Rasulullah takut diserang musuh saat Nabi dan kaum Muslimin sedang shalat. Jika Nabi hanya takut kepada Allah dalam arti pasrah, niscaya musuh akan dengan mudah menyerang Nabi dan kaum Muslimin. Jika ini terjadi, maka risalah Islam belum tentu sampai kepada kita seperti saat ini. Adapun shalat dalam keadaan perang yang dilakukan berbeda dengan tata cara shalat dalam keadaan normal diabadikan dalam QS. an-Nisa’ [4]: 102).
Menarik dan relevan sekali petuah ulama besar Mesir, Syekh Mutawally Asy-Sya’rawi, bahwa: “Anggaplah setiap muslim diwajibkan mengorbankan jiwanya demi menolak ancaman terhadap dirinya atau agamanya. Jika ini terjadi, maka kepada siapa lagi panji agama diserahkan? Siapa lagi yang akan memperjuangkan ajaran agama jika semua telah gugur akibat keengganan bersiasat?”
Covid-19 adalah musuh yang nyata. Bahkan, sudah banyak tokoh agama, dan orang besar serta berpengaruh lainnya gugur setelah melawan Covid-19. Jika kita enggan bersiasat, maka siapapun akan ‘disikat’ oleh Corona. Terus yang rugi siapa? Tentunya kita semua. Oleh karena itu, tidak benar jika takut kepada Allah dipertentangkan dengan takut terhadap virus. Syariat ini memang mempertemukan dua takut; takut kepada Allah dan takut kepada makhluk (musuh). Dua-duanya harus berjalan beringan di atas landasan syariat yang benar.
Bertawakkal Itu Harus Didahului dengan Upaya Sungguh-sungguh!
Hal lain yang harus diketengahkan juga terkait tema takut kepada Allah dan takut terhadap makhluk atau virus adalah tentang konsep berserah diri (tawakkal). Perintah bertawakkal (salah satunya terdapat dalam QS. at-Taubah [9]: 51) dan hadis-hadis Nabi SAW., harus didahului oleh upaya sungguh-sungguh, bukan hanya berpangku tangan menerima ketetapan Allah SWT (Shibab, 2020: 80).
Itulah konsep pasrah yang tepat dalam Islam. Dalam lembaran sirah Nabi tertulis dengan apik betapa Nabi dan para sahabat Nabi selalu mendahulukan upaya, bahkan berjuang sampai terluka atau bahkan ada yang gugur. Saat ini, kita semua sedang menghadapi musuh yang sama, yakni virus Corona yang tak nampak wujudnya. Setelah usaha maksimal ditempuh, baru berserah diri kepada Allah SWT.
Musibah seperti Corona itu memang terjadi atas izin Allah dan telah diketahui-Nya sebelum terjadinya, tetapi itu bukan berarti kita berpangku tangan (pasrah) tanpa berusaha menghindar dari aneka bahaya yang ditimbulkan oleh Covid-19.
Jadi jika ada narasi: Takut Allah atau Takut Covid-19, mana yang benar? Jawaban yang tepat adalah, keduanya tak perlu dipertentangkan, melainkan keduanya harus berjalan sebagaimana yang diuraikan di atas.
Sementara berkaitan dengan penangguhan pelaksanaan shalat di masjid, jangan dipelintir sebagai upaya menjauhkan umat Islam dari Allah dan mengendorkan semangat jamaah, tetapi sebagai usaha bersama memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Karena para ahli telah menyatakan bahwa berkumpulnya sejumlah orang dalam keadaan berdekatan dapat mengakibatkan penularan Covid-19, yang berpotensi besar menyebabkan kematian. Oleh sebab itu, semua penghimpunan yang mengarah kepada dugaan kematian, harus dilarang atas agama.