Menjadikan Kritik Sebagai Seni

Menjadikan Kritik Sebagai Seni

- in Narasi
1374
0
Menjadikan Kritik Sebagai Seni

Dalam satu riwayat disebutkan, malam-malam ketika orang sudah mulai tidur, Imam Syafii, pendiri mazhab Syafii menemui murid kesayangannya, Ahmad bin Hanbal, pendiri mazhab Hanbali. Imam Syafii mengetok pintu pelan-pelan. Ahmad bin Hanbal kemudian membuka pintu.

Melihat gurunya datang malam-malam, Ahmad bin Hanbal bertanya-tanya, apa gerangan guru saya datang malam-malam, tidak biasanya. Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, Imam Syafii menyatakan maksudnya.

Kata Imam Syafii: “Tadi siang saya melewati majelismu, saya melihat dirimu di bawah pohon rindang. Murid-muridmu saya lihat ada sebagian yang kepanasan, kena terik matahari sebab agak jauh dari naungan pohon rindang itu. Sementara dirimu nyaman sebab dinaungi pohon besar itu.”

“Kalau boleh saya usul,” Kata Imam Syafii, “Gimana kalau waktu majelismu itu diganti waktunya, pagi atau malam, atau pindah tempat juga boleh, yang kira-kira muridmu tidak kepanasan lagi.”

Mendengar kritik gurunya, Ahmad bin Hanbal langsung mencium tangan Imam Syafii, dan mengucapkan terima kasihnya. Ahmad bin Hanbal sangat terpukau dengan akhlak gurunya dalam mengkritik dan memberi masukan.

Bukankah Imam Syafii bisa saja langsung menegur muridnya itu pas waktu lewat di majelisnya. Akan tetapi itu tidak dilakukan Imam Syafii, demi menjaga martabat Ahmad bin Hanbal. Iman Syafii tidak mau menegur Ahmad bin Hanbal di depan orang-orang/murid-muridnya.

Imam Syafii mencari waktu yang tepat, yang orang lain tidak tahu. Waktu itu adalah malam-malam ketika semua orang sudah mulai tidur. Kritik itu disampaikan dengan penuh kebijaksanaan yang datang dari hati yang bersih.

Seni Mengkritik

Cerita di atas adalah contoh yang sangat baik, bagaimana kritik itu dijadikan sebagai seni. Seni yang dimaksud di sini adalah kritik yang penuh dengan keindahan, etika, disampaikan dengan kebijaksanaan, mempertimbangkan psikologi orang yang dikritik.

Artinya unsur-unsur dalam mengkritik itu harus dipertimbang secara matang. Pelaku, objek, materi, waktu, dan sarana. Semuanya harus dipertimbangkan secara bijak. Kadang bisa jadi meteri yang mau disampaikan untuk mengkritik itu bagus, tetapi karena waktunya tidak tepat, akhirnya jadi caci-maki.

Atau waktunya sudah tepat, tetapi sarana/alat yang digunakan tidak pas, orang yang dikritik akhirnya jadi tersinggung. Waktu dan sarananya sudah pas, tetapi disampaikan dengan cara-cara kasar, tidak mempertimbang kondisi psikologis yang dikritik, akibatnya jatuh menjadi provokasi.

Kritik Imam Syafii kepada muridnya di atas adalah contoh kritik yang mempertimbang semua unsur-unsur kritik dengan penuh kebijaksanaan. Sebab, Imam Syafii tahu betul bahwa menyampaikan kritik itu ada seninya.

Jauhi Provokasi

Yang sangat kita sayangkan adalah perilaku kritik di media sosial yang tidak menempatkan kritik sebagai seni. Akibatnya kritik tidak fungsional. Yang sering terjadi bukan lagi kritik, tetapi provokasi dan penghinanaan. Bahkan, banyak kritik yang dilontarkan itu dasarnya adalah kebencian.

Apa pun yang didasarkan kepada kebencian, maka hasilnya pun tidak ada yang baik. Jatuhnya malah caci-maki dan ujaran kebencian lainnya. Kritik itu harus datang dari hati yang bersih dan atas dasar cinta.

Banyaknya provokasi tidak lain sebab datangnya bukan dari hati yang bersih, melainkan sebab beda partai, beda kepentingan, atau beda organisasi. Akibatnya, apa pun yang dilakukan oleh pihak yang dianggap lawan atau musuh dianggap tidak benar.

Fenomena inilah yang kita lihat di media sosial. Jika ada kebijakan yang kira-kira bisa didramtisir, maka itu dilakukan. Jika ada peraturan yang bisa dipelintir, maka itu dilaksanakan. Jika ada berita yang bisa jadi bahan provokasi, maka itu disebar sebanyak-banyak.

Dalam alam demokrasi tentu perilaku itu bisa merusak iklim demokrasi. Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang diisi dengan kritik positif-konstruktif, yang ini bisa dilakukan ketika kita menempatkan kritik sebagai seni.

Facebook Comments