Menangkal Provokasi Berkedok Demokrasi

Menangkal Provokasi Berkedok Demokrasi

- in Narasi
1305
0
Menangkal Provokasi Berkedok Demokrasi

Sering kali demokrasi itu disalahpahami atau disalahgunakan. Seolah-olah demokrasi itu adalah bebas sebebas-bebasnya tanpa batas. Atas nama kebebasan, seolah-olah apapun boleh dilakukan. Menjelek-jelakkan orang lain, menyerang pribadi, memprovokasi, menyebar hoax, mencaci-maki, dan mengumbar ujaran kebencian.

Ketika orang model beginian ditegur. Mereka langsung menjawab. Ini negara demokrasi bung. Semua boleh bersuara. Bukan hanya media besar. Siapa pun punya hak, kata mereka. Memang betul bahwa demokrasi mengakuai itu. Konstitusi menjamin kebebasan itu.

Tetapi harus dicatat, bahwa kebebasan yang dijamin konstitusi itu bukanlah kebebasan yang kebablasan. Atau kebebasan seperti yang dipraktekkan oleh para tukang provokator itu. Kebebasan yang dijamin itu adalah kebebasan yang tidak mencedarai rasa keamanan, kenyamanan, dan kedamaian.

Jika boleh diibaratkan, kebebasan yang diberikan demokrasi itu seperti lapangan bola yang mempunyai garis pinggir di setiap pinggirnya. Semua orang bebas, boleh, mempunyai hak, dan dilindungi untuk berekspresi di lapangan itu sebebas-bebasnya dengan catatan, jangan melewati atau menabarak garis pinggir.

Apa itu garis penggir? Tidak lain adalah keamanan, kedamaian, persatuan, dan kemaslahatan bersama. Jika kebebasan yang diekspresikan justru menabrak garis pinggir, maka itu sudah off side, bukan lagi kebebasan yang dilindungi, melainkan sudah masuk ke dalam ujaran kebencian.

Lalu Lintas Demokrasi

Kebebasan yang dipraktekkan oleh para provokator atau para pembuat narasi negatif itu adalah kebebasan yang sudah off-side, sudah keluar dari jaminan konstitusi, dan jauh dari semangat demokrasi itu sendiri.

Provokasi berkedok demokrasi inilah yang merusak lalu lintas demokrasi. Di jalan raya demokrasi setiap orang berhak berjalan sesuai dengan kenderaannya masing-masing. Tetapi harus diingat, rambu-rambu jalan dan lampu merah harus tetap dipatuhi.

Ketika dipersimpangan misalnya, yang di barat berhak menuju ke timur, yang ke timur berhak ke barat, yang dari utara berhak ke selatan, pun sebaliknya atau ke arah lain yang mau dituju. Semuanya memiliki hak yang sama.

Tetapi ketika hak itu tidak diatur atau para pengendera tetap ngotot mau maju dan tidak mengindahkan lampu merah, akibatnya yang diterima hanya dua. Kalau tidak ditabrak, ya dia menabrak. Keduanya sama berbahanya.

Hal yang sama juga ketika demokrasi dimaknai sebagai kebebasan sebebasanya. Yang ada adalah tabrakan kepentingan. Saling menjelekkan, membongkar aib, memfitnah, dan caci-maki. Jika kondisinya sudah seperti ini, yang muncul bukan lagi kedamaian, tetapi polarisasi dan ketidakharmonisan antar sesama anak bangsa.

Kembali ke Pancasila

Hal seperti di atas sudah disadari oleh para pendiri bangsa ini. Itulah sebabnya, demokrasi yang ditawarkan bukan demokrasi tanpa batas, yang ditawarkan adalah demokrasi Pancasila. Apa itu demokrasi Pancasila? Demokrasi yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur bangsa ini.

Kita tahu bersama, Pancasila itu adalah kristalisasi dari alam bawah sadar kolektif bangsa ini. Sila-sila Pancasila sudah berabad-abad lamanya membumi dalam bawah alam sadar anak bangsa. Dengan demikian, Pancasila hanya sekadar membunyikan suara alam bawah sadar bangsa ini yang dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Demokrasi Pancasila dengan demikian adalah demokrasi yang tidak menabrak nilai-nilai Pancasila. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan, dan Keadilan Sosial. Ketuhanan artinya demokrasi kita adalah demokrasi yang tidak menegasikan rasa kebertuhanan.

Kemanusiaan maksudnya bahwa kebebasan yang diberikan itu jangan sampai justru merusak dan mencedarai kemanusiaan. Persatuan maknanya praktik demokrasi harus berlandaskan asas persatuan. Semua bentuk kritik dan masukan harus disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Yang tujuan utamanya adalah tercapainya keadilan sosial bagi seluruh anak bangsa.

Dengan kembali kepada Pancasila, provokasi, caci-maki, ujaran kebencian, dan segala turunannya tidak ada tempat dalam alam demokrasi kita. Ini bukan berarti otoritar atau tertutup. Kritik tetapi dilindingi, yang dilarang itu adalah kritik tetapi isinya adalah penghinanaan dan caci-maki.

Facebook Comments