Meskipun suatu persoalan yang kompleks, pokok dari upaya memerangi terorisme adalah melawan ideologi radikalisme yang menggerakkan orang-orang melakukan teror dan kekerasan. Melawan suatu ideologi dapat dilakukan dengan menanamkan, menguatkan, dan menyebarkan ideologi kebalikannya. Jika ideologi terorisme meracuni pikiran dan menggerakkan orang melakukan kekerasan, maka untuk menghadapinya kita harus menebarkan “ideologi” perdaiaman dan kemanusiaan.
Gambaran dakwah Islam yang menjunjung perdamaian dan toleransi tersebut sebenarnya telah lama ditunjukkan oleh para ulama Nusantara dan wali zaman dulu. Perkembangan Islam di Nusantara yang relatif damai tanpa disertai perang atau konflik, pada dasarnya merupakan bahan pembelajaran penting bagi kita di era sekarang. Karakteristik dakwah yang ramah, damai, dan bisa berdialog dengan budaya yang sudah mengakar di masyarakat, kemudian melahirkan corak keberagamaan Islam di Nusantara yang kini penting untuk kembali diresapi dan dijadikan inspirasi dalam konteks menangkal ideologi radikalisme dan terorisme.
Peradaban Nusantara terbentuk dari beragam budaya suku dan ras yang telah ada di dalamnya. Ketika datang suatu ajaran agama dan ingin masuk ke dalamnya, mau tak mau ia harus bisa berkomunikasi dan berdialog dengan kebudayaan yang sudah mengakar tersebut. Hal inilah yang tergambar dari proses masuknya Islam ke wilayah Nusantara. Hal yang kemudian menjadikan perkembangan Islam di Indonesia memiliki karakter yang relatif berbeda dengan perkembangan Islam di belahan dunia lain.
Di Timur Tengah, misalnya, kita tahu bahwa Islam cenderung datang sebagai “hakim” yang menguasai, kemudian menegakkan hukum untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan persengketaan yang terjadi sebelumnya di masyarakat. Sementara di Indonesia, Islam datang ibarat tamu yang kemudian menjadi bagian dari keluarga, bukan sebagai penakhluk. Dengan kata lain, Islam di Indonesia merasuk ke dalam tata nilai dan budaya di masyarakat dengan halus dan damai, berkat kejeniusan, kreativitas, dan kearifan para ulama dan wali dalam berdakwah. Tradisi di masyarakat dihargai, sembari merasukkan ajaran Islam di dalamnya. Para ulama dan wali saat itu sadar bahwa penduduk Nusantara adalah masyarakat yang lekat dengan beragam tradisi kebudayaan, sehingga lebih efektif jika meresapkan ajaran agama lewat jalur tersebut.
Meskipun Islam yang berkembang di Nusantara berbeda dengan model Islam di Timur Tengah, bukan berarti ini menjadikan tak benar atau menjadi bid’ah. Sebab, ulama kenamaan dan para pemimpin Islam di Hindia Timur saat itu sangat berhati-hati dan waspada dalam memastikan bahwa cara mereka mempraktikkan dan menyebarkan Islam selalu segaris dengan ajaran fundamental dalam Islam. Cara yang mengikuti tradisi intelektual serta menjaga mata rantai ikatan keilmuan dengan Islam klasik, serta berakar pada ajaran Islam para mujtahid (para pemimpin mazhab Islam) yang otoritatif sejak generasi awal yang hidup di kawasan Timur Tengah (Yahya Cholil: 2015).
Karakter dakwah yang lebih mendekati masyarakat lewat budaya, bukan perang atau kekerasan, di saat bersamaan telah menyiratkan nilai-nilai Islam itu sendiri yang ramah, damai, dan toleran. Nilai-nilai tersebut diejawantahkan ulama dan wali zaman dalam bentuk dakwah yang penuh pertimbangan akan realitas di masyarakat. Dengan kata lain, ulama Nusantara saat itu mampu merumuskan prinsip untuk bisa memastikan otentisitas ajaran Islam sekaligus menjaga harmoni dengan realitas sosial di masyarakat. Hal yang bisa dikatakan menjadi intisari yang penting untuk digarisbawahi dan diresapi saat ini, terutama oleh mereka yang menganggap kekerasan sebagai jalan jihad atau menegakkan agama.
Kemanusiaan dan kesetaraan
Yahya Cholil (2015) menyebutkan, ada dua prinsip pokok yang dipegang ulama Nusantara dalam menyebarkan ajaran Islam. Prinsip ini penting kita resapi agar mengerti bagaimana formula dakwah Islam yang damai dan efektif sesuai karakter masyarakat Indonesia. Pertama, memastikan fokus yang berimbang dalam perhatian terhadap dimensi spiritual Islam (tasawuf), agar semangat utama agama sebagai sumber cinta dan kasih sayang universal tak terabaikan saat memberikan keputusan hukum (fatwa) yang berkaitan dengan norma formal dalam hukum Islam. Kedua, menempatkan Islam sebagai penduduk yang setara dalam masyarakat plural, bukan sebagai penduduk khusus, apalagi pembawa kekerasan.
Kasih sayang kemanusiaan dalam keberagamaaan serta kesetaraan dalam memandang kelompok lain inilah yang penting untuk kembali kita resapi. Terlebih di tengah maraknya ekspresi kebencian terhadap kelompok lain serta egoisme kelompok yang menguat belakangan ini. Dakwah Islam yang berlandaskan pada nilai kasih sayang kemanusiaan dan kesetaraan tersebut telah menghasilkan corak Islam yang berkembang di sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini. Yakni sebuah masyarakat Islam yang moderat, inklusif, toleran, dan cinta damai. Corak dakwah tersebut telah membuahkan hasil berupa masyarakat Islam yang bisa bergandengan tangan dengan beragam kepercayaan lain yang berbeda.
Corak dakwah Islam oleh para ulama dan wali di Indonesia penting untuk kembali diresapi untuk menata pemahaman yang utuh tentang terbentuknya masyarakat Islam di Indonesia saat ini. Agar kita mengenal akar dan sejarah kita sendiri, sehingga tak mudah terpengaruh ideologi-ideologi baru yang tidak relevan dan justru berbahaya karena bisa merusak kedamaian yang sudah kita jaga selama berabad-abad di Nusantara ini.
Ulama dan para wali telah menanam benih kebaragamaan Islam yang damai sejak awal lewat karakter dakwahnya, juga merajut persaudaraan yang erat dengan saudara-saudara yang berbeda. Sekarang, kita berkewajiban menjaganya. Jangan sampai kita justru kembali mengoyak jalinan tali persaudaraan tersebut dengan sikap-sikap intoleran yang meresahkan saudara-saudara kita, sehingga mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wallahu a’lam..