Pesan Damai dalam “Perang” Tabuk

Pesan Damai dalam “Perang” Tabuk

- in Narasi
18
0
Pesan Damai dalam “Perang” Tabuk

Rajab selalu menjadi bulan yang penuh makna bagi umat Islam, karena menyimpan berbagai kemuliaan dan peristiwa besar yang mengandung pesan spiritual, moral, dan sejarah. Salah satu peristiwa monumental yang terjadi pada bulan ini adalah perang Tabuk.

Perang Tabuk adalah salah satu peristiwa besar dalam sejarah Islam yang memberikan pelajaran penting tentang strategi, kepemimpinan, dan hubungan diplomatik. Perang ini terjadi pada bulan Rajab tahun 9 Hijriah (631 M) dan berlangsung selama sekitar 50 hari. Meski tidak ada pertempuran langsung, perang ini membuktikan kekuatan umat Islam yang semakin disegani di kawasan Jazirah Arab dan sekitarnya.

Perang Tabuk dipicu oleh ancaman dari Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) yang merasa terganggu oleh pengaruh Islam yang semakin kuat di wilayah Syam. Sejak kekalahan mereka dalam Perang Mu’tah pada 6 H, Romawi menyadari potensi ancaman dari umat Islam. Ditambah lagi, beberapa kabilah Arab di bawah pengaruh Romawi, seperti Ghassan, mulai berpindah kesetiaan kepada kaum Muslim.

Menyadari hal ini, Romawi segera mengambil sikap sebelum umat Islam benar-benar menjelma pasukan yang sangat kuat dan sulit dikalahkan. Imperium Romawi pun mulai menyiapkan kekuatan besar untuk menghancurkan pasukan Muslim.

Kabar ini menciptakan kegelisahan di Madinah. Rasulullah menyadari bahwa menunggu musuh menyerang adalah tindakan defensif yang berbahaya. Khawatir jika tiba-tiba Romawi datang menggempur mereka dan meluluhlantakkan Madinah.

Kegelisahan Muslim Madinah menjadi semakin beralasan ketika datang serombongan orang dari Syam ke Madinah sambil membawa minyak. Mereka menginfokan bahwa Heraklius, raja Romawi, sudah menyiapkan pasukan besar dengan kakuatan 40.000 prajurit. Kabilah-kabilah Arab Nasrani seperti Lakhm, Judzam, dan lainnya juga turut bergabung.

Menyadari kondisi yang betul-betul genting, Rasulullah segera mengambil keputusan setelah melalui pertimbangan militer cukup matang. Beliau tidak ingin pasukan Muslim hanya menunggu imperium Romawi di Madinah dan membiarkan mereka menjarah wilayah-wilayah yang sudah berada di bawah kekuasaan Muslim.

Rasulullah akhirnya memutuskan melakukan konsolidasi dengan mengirim sejumlah utusan untuk mengajak kabilah-kabilah Arab agar bergabung. Tidak hanya itu, beliau juga mengumumkan secara langsung seruan perang ini. Sesuatu yang baru kali ini Rasul lakukan.

Setelah mendengar seruan ini, orang-orang Muslim dengan sigap berlomba-lomba memberikan sumbangan untuk kebutuhan perang. Utsman bin Affan menyumbang senilai 900 ekor unta dan 100 ekor kuda, belum termasuk uang kuntan; Abdurrahman bin Auf menyumbang 200 uqiyah perak, Abu Bakar menyerahkan semua hartanya senilai 4000 dirham, dan masih banyak lagi.

Setelah persiapan matang, pasukan Muslim pun bergerak ke arah utara menuju Tabuk dengan membawa 30.000 prajurit, 10.000 lebih sedikit dibanding jumlah perajurit Romawi. Tabuk merupakan sebuah wilayah strategis di utara Jazirah Arab, dekat dengan perbatasan Syam.

Perjalanan menuju Tabuk tidaklah mudah. Pasukan Muslim harus menempuh jarak sekitar 700 kilometer dari Madinah dengan kondisi cuaca yang ekstrem dan persediaan terbatas. Perjalanan ini dikenal sebagai ekspedisi “Jaisy al-Usrah” (pasukan dalam kesulitan).

Saking kesulitannya, sampai-sampai delapan belas prajurit hanya mendapat satu ekor unta. Bahkan untuk bisa minum saja mereka harus menyembelih unta tersebut agar bisa mengambil air di punuknya dan dagingnya untuk dimakan.

Di sisi lain, pasukan Romawi yang mendengar kabar bahwa Rasulullah telah menggalang pasukan, mentalnya menciut sehingga tidak berani maju dan malah pasukan mereka terpencar ke wilayah sendiri-sendiri.

Meskipun umat Islam sudah menginap selama 20 hari di Tabuk, pemimpin Romawi tidak berpikir sedikit pun untuk bertemu dengan mereka dalam medan tempur. Mereka ketakutan. Hal serupa dilakukan para penguasa di pinggirian Syam. Mereka lebih memilih melakukan perjanjian damai dengan membayar jizyah kepada Nabi Muhammad.

Raja Ailah mengirim hadiah keledai putih dan selendang kepada Nabi. Kemudian penguasa Daumatul Jandal Ukaidir bin Abdul Malik al-Kindi membayar 1000 ekor unta, 400 baju besi, dan 400 tombak. Rasulullah juga menulis surat perjanjian damai kepada penduduk Jarba, Adzruh, dan Muqina’ agar membayar jizyah setiap tahunnya dan tunduk pada kekuasaan Muslim.

Alhasil, benar-benar tidak terjadi pertempuran apapun di Romawi.

Perang Tabuk adalah contoh monumental bagaimana Islam sebagai agama dan peradaban mengedepankan perdamaian meskipun dalam konteks peperangan. Kendati dikenal sebagai “perang,” peristiwa ini sama sekali tidak melibatkan pertempuran langsung. Sebaliknya, perang Tabuk lebih menggambarkan kekuatan diplomasi dan pencegahan konflik.

Rasulullah tidak menghasut umat Islam untuk menyerang Romawi tanpa alasan, melainkan memimpin ekspedisi ini karena ancaman serius yang telah datang lebih dahulu. Keputusan untuk bergerak ke Tabuk menunjukkan inisiatif Rasulullah untuk mencegah konflik di wilayah Muslim dengan cara menunjukkan kekuatan militer, bukan melalui perang fisik. Ketika musuh memilih mundur, Rasulullah tidak memaksa konfrontasi, melainkan menerima keadaan itu sebagai solusi terbaik.

Meskipun umat Islam membawa pasukan besar, orientasi dari ekspedisi ini tetaplah sebagai langkah antisipatif. Mereka tidak akan berangkat ke Tabuk jika tidak ada ancaman mendesak soal gelagat Romawi yang ingin menyerang Islam terlebih dahulu.

Kisah Perang Tabuk mengajarkan bahwa umat Islam hanya melawan ketika ada ancaman yang nyata, dan bahkan dalam kondisi itu, keadilan tetap menjadi prioritas. Ada satu nilai lain yang juga mendasari peristiwa Tabuk ini, yaitu koeksistensi. Pasukan Heraklius nyatanya tetap dibiarkan bersanding dengan kekuatan umat Muslim di Madinah.

Pesan damai dari Perang Tabuk sangat relevan untuk melawan narasi kelompok ekstremis yang sering menyalahgunakan dalil perang dalam Islam untuk propaganda jihad yang semua.

Dengan memahami konteks sejarah Islam, termasuk bagaimana Rasulullah mengedepankan diplomasi dan perdamaian, kita dapat menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan keadilan, toleransi, dan penghormatan terhadap kehidupan.

Narasi ini perlu terus disampaikan untuk membendung penyalahgunaan dalil agama oleh kelompok-kelompok yang merusak citra Islam. Apalagi sampai menciderai kemuliaan peristiwa-peristiwa monumental yang terjadi di bulan Rajab.

Facebook Comments