Menjaga Tradisi Perdamaian Agama

Menjaga Tradisi Perdamaian Agama

- in Pustaka
3480
0

Judul : Persaudaraan Agama-agama Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-
Mizan
Penulis : Waryono Abdul Ghafur
Penerbit : Mizan
Cetakan : November 2016
Halaman : 202
ISBN : 9786-0244-1004-9

Agama kerap dijadikan kambing hitam atas beragam masalah yang dihadapi umat manusia. Terlebih jika dikaitkan dengan maraknya konflik dan kekerasan yang mengatasnamakan agama. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam sejarah peradaban manusia sering terjadi ketegangan yang melibatkan komunitas agama. Sebut saja aroma agama dalam peristiwa Perang Salib, perebutan kota suci Jerusalem, dsb. Meskipun begitu, kita tidak bisa menutup mata bahwa peran agama untuk merajut perdamaian sangat signifikan. Sebab, jika ditarik kebelakang, beberapa agama ternyata memiliki simpul yang satu. Pertemuan itulah yang bisa dimanfaatkan untuk mempromosikan tradisi perdamaian yang dimiliki oleh agama.

Buku ini hadir untuk menggambarkan hubungan persaudaraan yang dimiliki oleh ketiga agama millah Ibrahim (Islam, Kristen, Yahudi). Penulis buku ini, Waryono Abdul Ghafur, mengkaji pemikiran Thabathaba’i yang menulis tafsir Al-Mizan. Thabathaba’i merupakan ulama Syiah tradisional yang tidak pernah mengecap pendidikan modern. Tapi Thabathaba’i banyak menyerap ilmu-ilmu kontemporer. Dia mampu memadukan antara filsafat dengan tafsir al-Quran. Sebuah tradisi yang hilang dari kalangan Sunni. Penulis buku menjelaskan karya ini berisi argumen teoretis tentang bagaimana membangun hubungan antar-umat beragama. Khususnya menyangkut ketiga agama Ibrahim ini (halaman 239-240).

Secara geneologis-normatif maupun biologis-generatif, ketiga agama ini menyatu pada sosok Ibrahim. Agama Yahudi dibawa oleh Nabi Musa melalui rantai Ya’qub-Ishaq-Ibrahim. Sementara agama Kristen dibawa oleh Isa melalui jalur Ya’qub-Ishaq-Ibrahim. Dan Islam dibawa melalui garis Isma’il-Ibrahim. Bagi Yahudi, Ibrahim adalah sosok monoteis sejati yang menolak adanya tuhan yang lain. Bagi Kristen, Ibrahim (yang disebut Kristian sebagai Abraham) adalah tokoh yang mengenal tuhan secara murni. Bagi Islam, Ibrahim adalah nabi yang mengikuti kebenaran jalan hidup yang asli dan tidak berubah sepanjang zaman. Masalah yang kemudian terjadi ternyata cukup pelik. Ketiga agama ini kerap mengklaim sebagai pewaris sah “agama Ibrahim” dan menutup diri dari tafsir millah Ibrahim yang dimiliki oleh agama lainnya (halaman 3-4). Hal inilah yang perlahan mulai merenggangkan hubungan ketiganya.

Padahal Thabathaba’i berpendapat, Taurat dan Injil masih mengandung kebenaran dan sesuai dengan kitab suci Alquran. Seperti dalam Kitab Keluaran (exodus) pasal 20: ayat 3, 5, 7, 8, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17. Kandungan tersebut dikenal sebagai Sepuluh Perintah Tuhan (The Ten Commandements/Decalogue). Inti sepuluh ayat tersebut adalah jangan menyembah selain Allah, jangan menyembah patung berhala, jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia, ingatlah hari Sabat, jangan membunuh, hormati ayah-ibu, jangan berzina, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi palsu, dan janganlah menginginkan rumah sesamamu, istrinya, dan barang-barang seluruhnya. Kesepuluh perintah Tuhan tersebut mirip dengan ajaran al-Quran, seperti dalam QS. Al-An’am [6]: 151-3 (halaman 160). Dari sini bisa disimpulkan betapa miripnya doktrin yang dimiliki Islam, Kristen, dan Yahudi. Sehingga persamaan tersebut seharusnya bisa lebih ditonjolkan sebagai upaya membuka ruang dialog antar ketiga pemeluk agama ini.

Hal lain yang menarik, Menurut Thabathaba’i, Yahudi dan Nasrani tidak semuanya sesat. Mereka ada juga yang beriman. Bahkan Yahudi dan Nasrani masih lebih baik dibanding orang musyrik Makkah yang melakukan penindasan terhadap orang miskin, curang ketika berdagang, dan memonopoli. Maka hubungan saling menguntungkan masih bisa dilakukan dengan orang Yahudi dan Nasrani (halaman 243-244). Paparan ini menjadi relevan ditengah sikap sebagian masyarakat yang mudah melakukan labeling terhadap pemeluk agama lain. Seolah-olah semua pemeluk agama lain adalah pendosa yang harus dimusuhi.

Membaca buku ini akan memperluas cakrawala berpikir kita terhadap pihak lain yang berbeda. Bahwa ternyata ada banyak persamaan yang menyatukan para pemeluk ketiga agama millah Ibrahim. Terlebih dalam kondisi kekinian yang terjadi di Indonesia dimana muncul beragam kelompok berlabel agama yang gemar merendahkan kelompok agama lain. Begitupun istilah kafir dan munafik yang dengan lancarnya keluar dari lisan kita. Padahal term tersebut tidak boleh sembarangan dilontarkan sebab memiliki konsekuensi teologis yang sangat besar. Buku ini bisa menjadi salah satu upaya untuk membentuk sikap saling menghargai antar sesama pemeluk agama. Bahwa apapun keyakinan yang dimiliki, selama tingkah lakunya baik dan tidak melanggar aturan, maka mereka adalah saudara kita. Nah, tampaknya kita perlu sering mengkaji sejarah lahirnya agama yang kita anut. Sehingga tidak abai dengan fakta bahwa sesungguhnya kita semua bersaudara.

Facebook Comments