Konflik Palestina-Israel kini memasuki babak baru. Kedua pihak sepakat melakukan gencatan senjata. Meski tidak menghentikan perang secara keseluruhan, gencatan senjata tentunya meredakan ketegangan kawasan sekaligus meminimalisasi jumlah korban. Ironisnya, gencatan senjata itu pun menjadi bahan polemik baru. Hamas mengklaim gencatan senjata merupakan bentuk kemenangan melawan Israel. Sebaliknya, Israel sesumbar bahwa merekalah pemenang karena berhasil membunuh para petinggi Hamas. Barangkali benar kata pepatah lama bahwa perang hanya menyisakan kesengsaraan; yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu.
Gencatan senjata Hamas dan Israel agaknya tidak berpengaruh bagi netizen Indonesia. Perang opini seputar isu Palestina di kanal medsos nyatanya terus berlanjut. Upaya untuk mengeksploitasi isu Palestina, terutama dengan menyusupinya dengan wacana khilafah dan politik identitas masih santer terjadi di ranah maya. Perjuangan kemerdekaan Palestina yang sebenarnya kental dengan agenda nasionalisme dipelintir pihak tertentu untuk mempropagandakan khilafah dan membangkitkan sentimen politik identitas.
Fenomea inilah yang harus kita waspadai bersama. Sudah bukan rahasia bahwa manuver pengasong khilafah sudah tidak bisa dianggap sepele. Para komprador organisasi (Islam) transnasional itu dikenal begitu lihai menjalankan aksi propagandanya. Mereka memanfaatkan semua media komunikasi, baik luring maupun daring. Tidak hanya itu, mereka juga menunggangi semua isu sosial, politik, dan agama yang menjadi trending topic di masyarakat.
Ketimpangan ekonomi misalnya, hanya bisa selesai dengan khilafah. Gejolak politik juga hanya bisa selesai dengan khilafah. Bahkan, ketika bencana alam dan musibah pun bisa dihindari jika khilafah tegak di bumi. Apa pun persoalaannya, khilafah ialah solusinya. Logika sesat itu juga dipakai dalam konteks isu Palestina. Yakni bahwa persoalan Palestina bisa diselesaikan dengan menegakkan khilafah.
Harus diakui bahwa konflik Palestina-Israel merupakan isu yang potensial ditunggangi propaganda khilafah dan politik identitas. Narasibahwa konflik Palestina dan Israel merupakan konflik dua agama (Islam dan Yahudi) telah digaungkan oleh kaum Islam konservatif sejak jauh-jauh hari. Harus diakui pula bahwa pembentukan opini itu nisbi berhasil mempengaruhi alam bawah sadar umat muslim dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Riset Pusat Studi Timur Tengah Universitas Indonesia tahun 2017 mendapati fakta bahwa 60 persen umat Islam Indonesia menganggap konflik Palestina dan Israel sebagai konflik agama. Sebanyak 13 persen masyarakat menganggap konflik Palestina-Israel sebagai gabungan antara persoalan agama dan politik. Hanya sekitar 6 persen masyarakat yang meyakini konflik Palestina-Israel sebagai konflik politik. Hasil survei ini menggambarkan bahwa sesat pikir kaum konservatif ihwal konflik Palestina-Israel ini cenderung berhasil tertanam di benak umat Islam.
Memahami Peta Wacana di Balik Isu Palestina
Konsekuensi dari kegagalan memahami peta wacana di balik konflik Palestina-Israel ini lantas membuat propaganda khilafah dan politik identitas kian diterima umat Islam. Kaum konservatif selalu membangun narasi bahwa solusi satu-satunya untuk mengakhiri konflik Palestina dan Israel ialah dengan menegakkan khilafah. Padahal, narasi khilafah sebagai solusi konflik Palestina dan Israel ini mengandung setidaknya dua problem mendasar.
Pertama, khilafah merupakan ideologi politik yang mengacu pada pemerintahan imperium. Yakni peleburan negara-negara berdaulat menjadi satu kesatuan dibawah rezim tunggal. Intinya, khilafah ingin menghapus semua tatanan politik global hari ini dan membentuk sebuah kekuasaan global yang mencakup seluruh wilayah di dunia. Hal ini tentu bertentangan dengan filosofi perjuangan kemerdekaan Palestina yang bertumpu pada nasionalisme negara bangsa (nation state).
Perjuangan nasionalisme Palestina ialah menegakkan kedaulatan negara bangsa yang merdeka dan bebas dari intervensi apa pun. Khilafah yang diyakini sebagai solusi tunggal konflik Palestina-Israel tidak hanya absurd namun juga irelevan. Khilafah justru akan memunculkan bentuk imperialisme baru yang memberagus hak dan kebebasan rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri.
Kedua, wacana khilafah sebagai solusi penyelesaikan konflik Palestina dan Israel akan menjadi problematis di kalangan warga Palestina sendiri. Seperti kita tahu, Palestina merupakan negara multireliji. Muslim memang menjadi penduduk mayoritas di Palestina. Namun, jangan lupakan keberadaan warga Protestan dan Katolik yang juga memiliki hak yang sama sebagai warganegara.
Dari sisi politik, Palestina juga merupakan negara demokrasi dimana suksesi kekuasaan dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum. Maka, Alih-alih menghadirkan solusi, wacana khilafah justru akan menimbulkan masalah baru. Bukan tidak mungkin wacana khilafah justru akan menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Palestina sendiri dan dunia Islam secara keseluruhan.
Kembali ke konteks Indonesia, kita harus mengakui bahwa perjuangan nasionalisme Palestina telah lama dibayangi oleh isu khilafah dan politik identitas. Isu Palestina selalu menjadi komoditas kaum radikal dan politisi populis-kanan yang gemar memakai sentimen agama untuk mendulang elektabilitas. Saban kali isu Palestina mencuat ke permukaan, kaum radikal memanfaatkan momentum untuk mengampanyekan khilafah. Di saat yang sama, para politisi populis-kanan juga rajin menunjukkan solidaritas simboliknya kepada Palestina.
Baik kaum radikal maupun politisi populis-kanan, keduanya tidak memberikan signifikansi apa-apa terhadap perjuangan nasionalisme Palestina. Mereka hanyalah para pendompleng yang memanfaatkan momentum untuk menaikkan citra mereka di hadapan publik. Solidaritas terhadap Palestina hendaknya diletakkan dalam bingkai dukungan terhadap perjuangan menegakkan kedaulatan negara-bangsa yang harus steril dari narasi khilafah dan politik identitas.