Menyambut Waisak 2024: Menyoal Keharaman Candi Borobudur

Menyambut Waisak 2024: Menyoal Keharaman Candi Borobudur

- in Keagamaan
100
0
Menyambut Waisak 2024: Menyoal Keharaman Candi Borobudur

Menjelang Waisak, Candi Borobudur selalu menjadi episentrum pengunjung dari seluruh penjuru negeri maupun luar negeri. Kebanyakan dari mereka ingin mengikuti, atau paling tidak melihat, perayaan spiritual umat Buddha di sana. Bagi UMKM, pemandangan itu merupakan lahan rezeki. Bagi bangsa Indonesia, pemandangan itu adalah afirmasi toleransi umat beragama.

Tetapi, terdapat beberapa tokoh agama yang menentang kunjungan ke ritus budaya itu. Seorang pendakwah YouTube bernama Sofyan Chalid Ruray, misalnya, mengatakan bahwa berwisata ke Candi Borobudur merupakan sesuatu yang haram karena itu sama saja dengan persetujuan kepada peribadatan umat Buddha. Menurutnya, umat Islam tidak boleh duduk dengan mereka yang menghina dan mengolok-ngolok agama Allah. Umat Islam, katanya, boleh mengunjungi Candi Borobudur hanya dengan satu tujuan, yaitu membubarkan mereka yang beribadah kepada selain Allah.

Dakwah Ustadz Sofyan Chalid tersebut sebenarnya sudah diunggah beberapa tahun silam, tepatnya pada 2018. Sempat viral juga pada tahun 2021, dan akan berpotensi viral dan menginspirasi propaganda-propaganda serupa di perayaan Waisak 2024.

Dalam ceramahnya, Sofyan Chalid menggunakan tiga dalil al-Qur’an, yaitu QS. at-Taubah: 65-66, QS. an-Nisa: 140, dan QS. al-Anfal: 25. Di tambah dengan hadis tentang anjuran Muslim untuk melawan kemunkaran dengan tangannya, lisannya, atau hatinya. Sofyan Chalid mengutipqaulUmar bin Khattab;

Janganlah kamu menemui kaum musyrikin di gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah mereka, karena sesungguhnya murka Allah akan turun kepada mereka(Riwayat Al-Baihaqi dalam Kitab As-Sunnan).

Secara umum, Sofyan Chalid mempermasalahkan tiga hal,pertama, kerentanan aqidah umat Islam jika masuk ke dalam tempat Ibadah umat Muslim.Kedua, jikapun umat Islam cukup kuat untuk menjaga imannya, paling tidak kehadiran umat Islam di Candi Borobudur justru berpotensi memotivasi orang Buddha untuk terus mempertontonkan agamanya agar orang lain tertarik.Ketiga, diamnya orang Muslim ketika ada orang yang berbuat maksiat kepada Allah, seperti praktik kemusyrikan misalnya, maka hal itu sama saja dengan persetujuan akan kemaksiatan itu.

Jika membincang Candi Borobudur, maka kita sedang membincang simbol-simbol umat agama Buddha. Jika menggunakan kaca mata Sofyan Chalid, jelas sekali bahwa segala sesuatu yang berada di luar Islam akan dihitung sebagai kemusyrikan yang harus dimusnahkan atau dirubah.

Padahal, di sisi lain, Allah melarang umat Islam mencela simbol-simbol sakral agama lain. Allah menegaskan hal itu secara tersirat dalam QS. al-Hajj: 40 dan secara tersurat pada QS. al-An’am: 106. Dalam surat yang disebut terakhir, misalnya:

وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.

Agama-agama selain Islam juga harus mendapatkan penghormatan yang sama dari komunitas kaum muslim. Tempat-tempat ibadah mereka, simbol-simbol agama yang mereka sakralkan juga harus mendapatkan penghormatan.

Berkaitan dengan hukum kehadiran umat Islam di tempat ibadah orang lain, tidak ada satupun dari empat ulama madzhab yang mengharamkan secara mutlak umat Islam yang memasuki rumah ibadah non-Muslim. Pendapat yang mendekati haram disampaikan oleh ulama madzhab Hanafi, seperti misalnya yang tertulis dalam kitab Syekh Ibnu Abidin,Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar,

يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ

“Bagi seorang Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh.” (Lihat: Muhammad Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1, h. 380).

Menurut mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i hukumnya boleh, sedangkan menurut sebagian ulama lain dari mazhab Syafi’i hukumnya tidak boleh, kecuali ada izin dari mereka (non-Muslim).

Mengapa tidak ada satupun fatwa keharaman mutlak keluar dari empat madzhab besar tersebut? Murni karena tidak ada satupun manusia di dunia ini yang mampu menakar motif dan niat orang lain dalam melakukan sesuatu, termasuk ketika memasuki rumah ibadah agama lain.

Tidak sedikit ustadz-ustadz intoleran mengatakan bahwa dengan berwisata ke Candi Borobudur, kita secara otomatis akan melihat peribadatan umat Buddha di sana, apalagi ketika hari raya Waisak, di mana perayaan seremonial keagamaan menjadi daya tarik utama wisatawan ke Borobudur. Menurut mereka, melihat peribadatan umat agama lain tanpa adanya intensi untuk merubahnya atau membubarkannya berarti sepakat dengan kemusyrikan yang mereka lakukan.

Di sisi lain, dalamTafsir al-Qurthubydijelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. pernah menerima sejumlah pembesar delegasi dari Kristen Najran untuk bertamu di Masjid Nabawi. Ketika sampai saatnya untuk beribadah, Rasulullah saw. memberi kesempatan kepada mereka untuk beribadah. Bahkan, dengan senang hati Nabi
saw. mengizinkan delegasi tersebut untuk beribadah di Masjid Nabawi.

Jika mengacu pada logika ustadz-ustadz itu, Nabi terlihat telah melakukan kesalahan. Bagaimana bisa Nabi membiarkan orang Kristen Najran beribadah di Masjid Nabawi, dan bahkan Rasulullah sendiri yang menawarkan tempat itu. Mestinya, Nabi tidak akan membiarkan ada praktik kemusyrikan di sekitar dirinya, bahkan di dalam masjid, tempat paling sakral dalam keyakinan umat Islam.

Sama halnya ketika Umar bin Khattab menaklukkan Yerussalem. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan mengenakan salib-salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memeluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Duasirahtersebut tampaknya cukup menggambarkan batasan interaksi dan toleransi antara umat Islam dan non-Muslim.

Islam pernah berada di zaman keemasan di bawah dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Zaman keemasan yang berlangsung sampai pada tahun 1258 M itu ditandai dengan keterbukaan umat Islam berinteraksi dengan umat agama lain. Karenanya, jangan sampai Islam menjadi sangat terbelakang hanya karena pemikiran-pemikiran sempit dan sifat eksklusif. Secara muamalah, interaksi antara Islam dan Buddha sangat dibolehkan.

Lagipula, mengunjungi Candi Borobudur dan menyaksikan perayaan Hari Raya Waisak bukan hanya pengalaman spiritual tetapi juga pelajaran berharga tentang pentingnya toleransi. Indonesia, dengan keberagamannya telah menunjukkan bahwa dengan saling menghormati dan memahami, perbedaan bisa menjadi kekuatan yang menyatukan.

Candi Borobudur dan perayaan Waisak menginspirasi banyak orang untuk mempraktikkan toleransi dalam kehidupan sehari-hari, menciptakan dunia yang lebih damai dan harmonis. Dengan demikian, perayaan Hari Raya Waisak di Candi Borobudur tidak hanya memperkuat identitas budaya dan spiritual Indonesia, tetapi juga mengukuhkan posisi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan keberagaman.

Facebook Comments