Menyoal “Laskar Taliban”; Dari Vigilantisme ke Radikalisme

Menyoal “Laskar Taliban”; Dari Vigilantisme ke Radikalisme

- in Faktual
525
0
Menyoal “Laskar Taliban”; Dari Vigilantisme ke Radikalisme

Beberapa hari lalu viral video yang memperlihatkan segerombolan orang mengaku bernama “Laskar Taliban” tengah melakukan patroli di tempat hiburan. Video itu diketahui diambil di salah satu tempat hiburan di Tasik Malaya, Jawa Barat. Sontak, publik pun dibuat kaget atas peristiwa tersebut. Bagaimana tidak? Pasca dibubarkannya Front Pembela Islam (FPI) kita sudah sangat jarang menyaksikan ormas keagamaan melakukan sweeping ke tempat-tempat hiburan malam, kafe, karaoke, dan sejeninya.

Selain itu, publik dibuat kaget dengan fakta bahwa di negeri ini ada ormas keagamaan bernama “Laskar Taliban” di Indonesia. Taliban seperti kita tahu merupakan kelompok milisi yang saat ini berkuasa di Afghanistan. Taliban dikenal sebagai kelompok yang memahami syariah Islam secara kaku dan memakai cara-cara kekerasan untuk memaksakan kehendaknya.

Kemunculan “Laskar Taliban” di Tasikmalaya yang berani melakukan patroli ke tempat hiburan malam dengan dalih menjaga ketertiban dan kepatuhan jam operasional ini tentu patut diwaspadai. Fenomena sweeping atau patroli oleh kelompok sipil (apapun latar belakangnya) merupakan sebuah tindakan main hakim sendiri yang distilahkan sebagai vigilante.

Vigilantisme diartikan sebagai praktik-praktik kekerasan dan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mengontrol perilaku warga yang dianggap menyimpang dari aturan hukum. Dalam EncyclopediaBritanica dijelaskan bahwa kelompok vigilantis ialah mereka yang mengangkat diri mereka sendiri sebagai pihak yang berwenang menegakkan hukum.

Vigilantisme Berbasis Agama di Indonesia

Dalam praktiknya, vigilantisme ini terejawantahkan ke dalam bermacam gerakan dengan latar belakang yang berbeda. Mulai dari latar belakang atau motif ekonomi, politik, sosial, hingga agama. Dalam konteks Indonesia, lebih spesifik lagi dalam konteks Laskar Taliban, vigilantisme itu sepertinya lebih dilatari oleh motif ideologi keagamaan. Mereka (Laskar Taliban) menganggap keberadan tempat hiburan malam sebagai hal yang bertentangan dengan hukum Islam.

Tindakan vigilante ini sangat tidak dibenarkan lantaran melangkahi kewenangan aparat keamanan. Dalam tata perundangan kita sudah jelas bahwa yang berhak dan bertanggung-jawab menegakkan hukum adalah polisi, jaksa, dan hakim. Mereka diberikan kewenangan secara konstitusional untuk mengungkap, menindak, dan menghukum pelaku kriminal. Peran masyarakat sipil hanyalah sebatas memberikan masukan dan pengawasan.

Ditinjau dari aturan di atas, dapat disimpulkan bahwa “Laskar Taliban” adalah kelompok vigilantis yang gemar main hakim sendiri. Keberadaan kelompok vigilantis semacam ini perlu diwaspadai. Kita patut belajar pada sejarah, bagaimana kelompok-kelompok vigilantis sejenis, misalnya saja FPI yang lekat dengan citra ormas intoleran dan permisif pada kekerasan.

Vigilantisme dan kekerasan memang dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Upaya penegakan dan penindakan hukum dengan cara jalanan dan mengandalkan kekuatan massa memang rawan kekerasan dan gesekan sosial. Tindakan patroli, sweeping, dan sejenisnya ke ruang-ruang publik tidak hanya melecehkan aparat keamanan, namun juga rawan potensi konfik dan kekerasan. Pengerahan massa di lapangan juga rawan menimbulkan kericuhan.

Transformasi Vigilantisme Menjadi Radikalisme

Lebih dari itu, keberadaan kelompok vigilantis ini juga berpotensi untuk menyuburkan fenomena radikalisme. Gerakan radikal umumnya dimulai dari munculnya rasa ketidakpercayaan pada sistem hukum, aparat keamanan, dan otoritas pemerintah secara umum. Radikalisme tumbuh subur di tengah sikap anti pada hukum positif negara dan pengabaian terhadap wewenang aparatur pemerintah.

Semua organisasi radikal mulai dari Jamaah Islamiyyah, Al Qaeda, Taliban sampai ISIS berangkat dari ketidakpercayaan pada pemerintahan yang sah dan bereskalasi menjadi gerakan makar bahkan pemberontakan. Hal inilah yang patut dikhawatirkan dari keberadaan Laskar Taliban di Tasikmalaya. Jika disikapi permisif, bukan tidak mungkin organisasi ini akan terus membesar dan akan menjadi problem di kemudian hari.

Vigilantisme yang lantas melahirkan established violence alias kekerasan yang dimapankan jelas tidak bisa disikapi permisif. Disinilah pentingnya kehadiran negara dalam memberangus kelompok-kelompok vigilantis. Jangan sampai, vigilantisme bereskalasi menjadi radikalisme bahkan terorisme. Jangan sampai pula, tatanan hukum kita diambil alih oleh penegakan hukum jalanan yang menggunakan cara-cara kekerasan. Aparat penegak hukum tidak boleh kalah oleh ormas-ormas vigilantis. Para preman jalanan berjubah agama yang mendaku diri sebagai pahlawan itu tidak boleh dibiarkan menunjukkan kekuatannya.

Di saat yang sama, kita perlu terus-menerus mengedukasi masyarakat ihwal pentingnya patuh pada aturan hukum yang berlaku. Masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa penegakan hukum adalah murni domain aparat keamanan (Polisi), jaksa, dan hakim. Dalam kondisi apa pun, sipil tidak boleh mengambil alih peran itu apalagi memakai cara kekerasan untuk menegakkan aturan. Apalagi Indonesia saat ini dalam kondisi normal tanpa ada persoalan yang mengganggu kinerja aparat keamanan.

Keberadaan Laskar Taliban kiranya menjadi peringatan bagi kita semua. Bahwa kelompok vigilantis-radikalis masih terus akan ada di negeri ini. Satu ormas intoleran-radikal diberangus, akan muncul ormas-ormas lain dengan misi serupa. Maka, kita tidak boleh lelah dan lengah. Selalu waspada dan siaga terhadap manuver kelompok vigilantis-radikalis yang bisa bangkit sewaktu-waktu.

Facebook Comments