Menyulam Kebhinekaan, Menganyam Kebangsaan

Menyulam Kebhinekaan, Menganyam Kebangsaan

- in Narasi
1957
0

Sapa weruh kembang tepus kaki

Sasat weruh marang arta daya

Tunggal pancer sauripe

Sapa wruhing panuju

Sasat sugih pagere wesi

Rineksa wong sajagad

Kang angidung iku

Lamun diapalena

Kidung iku den tutug padha sawengi

Adoh panggawe ala

(Siapa yang tahu kembang tepus, Nak

Pasti tahu sang daya yang berharga

Yang manunggal dengan kehidupannya

Siapa yang tahu sangkan

Pasti kaya berpagar besi

Dilindungi semesta

Yang menembang itu

Kalau dihafalkan

Ditembangkan semalam suntuk

Dijauhi segala mala).

BRANDHAL Lokajaya, konon, nama ini adalah nama klandestin Raden Mas Syahid atau kelak lebih dikenal sebagai Susuhunan Kalijaga. Ia putra Tumenggung Wilwatikta, cicit Ranggalawe. Seperti Sidharta, tembok istana tak mampu memagari jiwa pembebasannya. Nuraninya berontak. Rakyat Tuban, di mana pada waktu itu di bawah kekuasaan Majapahit, dibelit kemiskinan. Kalijaga pun keluar-masuk hutan: merampok, membegal. Dan hasil rampokannya dikasihkannya pada si miskin.

Adakalanya, untuk tujuan kebaikan atau kemuliaan, diperlukan tindakan sebaliknya. Sikap inilah yang mendasari Kalijaga muda. Barangkali, perubahan struktural, di masa itu, tak mungkin dilakukan—seperti Ken Angrok, misalnya.

Lokajaya lebih memilih sendirian, sesingidan (sembunyi-sembunyi). Sampai suatu ketika, seorang bijak menyadarkannya, bahwa untuk mencapai kebaikan, diperlukan cara-cara yang baik pula. Dan Lokajaya, akhirnya, berkat lelaki sepuh yang lebih dikenal sebagai Susuhunan Bonang itu, mengubah taktik dan strateginya.

Ada yang menarik dari kisah sang Guru Suci Wong Tanah Jawi ini. Pertama, transformasi taktik dan strategi, dari cara-cara frontal-revolusioner menjadi dialogis-evolusioner. Kedua, terbangunnya titik simpul atas berbagai perbedan. Maka tak heran, salah satu karya monumentalnya adalah Saka Tatal, salah satu tiang penyangga masjid Demak yang terbuat dari serpihan kayu sisa.

Konon, ijtihad yang dilakukan Kalijaga sangatlah banyak. Di Jawa, salah satunya, meracik tasawuf nusantara. Tasawuf Kalijagan tak melulu bersifat individual-spiritual, yang hanya ingin meraih manising pati, misalnya. Tapi juga berupaya mengubah tatanan sosial-politik. Tentu, untuk melakukan hal itu, Kalijaga perlu untuk mengubah, menguji, menempa dirinya sendiri.

Suluk Seh Malaya adalah rekaman suluk, perjalanan dan penempaan Kalijaga, yang merupakan pengalaman ruhaninya yang khas. Dan se-pupuh tembang Dhandhanggula di atas adalah saripati Suluk Seh Malaya. Ketika Kalijaga menemukan dirinya sendiri (sarirasa), ia juga menemukan orang lainnya—sebuah pengalam ruhani yang, konon, hanya mampu dicapai segelintir orang. Itulah kenapa, dari beberapa catatan babad, Kalijaga tak pernah memakai cara-cara kekerasan untuk memperluas baik imperium politik maupun agama. Dan barangkali faktor itulah yang membuatnya mampu merajut titik-simpul segala perbedaan, sebagaimana namanya yang menggema baik dikalangan santri maupun abangan, ningrat maupun jelata, pusat maupun pinggiran, pesisiran maupun pedalaman, Hindu maupun Islam.

Dan karena pengalaman individulnya yang khas itulah Kalijaga tercatat tak pernah memaksakan agamanya kepada orang lain. Apa yang dilakukan Kalijaga bukanlah dakwah agama dalam arti biasa, tapi ajakan untuk menyelami diri sendiri: mulat sarira. Atau untuk istilah sekarang, dalam hal pendekatan, Kalijaga lebih memerankan diri sebagai seorang tokoh kemanusiaan daripada tokoh keagamaan dalam arti formalnya.

Memang, ada kabar, Kalijaga—secara simbolik—telah mengislamkan Yudhistira, seorang tokoh pewayangan, seperti yang tergelar dalam Serat Kalimasada, ataupun Brawijaya V, raja pamungkas Majapahit. Tapi satu hal yang patut di catat, dari beberapa keterangan, baik Yudhistira maupun Bre Kertabhumi, dibiarkannya memilih jalannya sendiri: moksa—suatu ajaran dan laku yang tak dikenal dalam tradisi Islam dalam arti formalnya.

Memang, ketika Kalijaga malaya, mengembara sampai ke Nusa Tenggara, ia dianggap telah melakukan islamisasi. Tapi sebenarnya, Islam yang dilanggamkan Kalijaga bukanlah sebentuk Islam dalam arti formalnya. Di sana, ia tercatat mewariskan ajaran watu telu, atau sembahyang tiga waktu. Atau di Jawa, salah satu hasil ijtihad-nya adalah mengubah kebiasaan lakon atau tirakat yang biasanya berlangsung selama 40 hari 40 malam tanpa henti, menjadi cukup 3 hari 3 malam saja. Ia ber-ijtihad, bahwa ketika angka hari dan angka pasaran bertemu dan berjumlah 40, maka nilai tirakat atau riyadhah 3 hari 3 malam itu sepadan dengan 40 hari 40 malam. Dengan kata lain, Kalijaga tengah meringankan atau menganjurkan untuk tak berlebihan, bahkan ketika menjalankan kebaktian pada Tuhan sekali pun.

Ijtihad-ijtihad Kalijaga itu ditujukan pada orang-orang yang memang telah memiliki kekhasan tersendiri, yang beda dengan para penganut Islam syari’at-oriented. Artinya, Kalijaga memang tak pernah memaksakan satu jalan kebenaran pada liyan. Ia sadar, bahwa Tuhan, pada akhirnya, adalah soal penghayatan. Dalam hal ini, Kalijaga lebih mengedepankan spiritualitas daripada religiusitas.

Barangkali, dengan kisah Kalijaga inilah orang dapat belajar bagaimana tepa sarira kepada orang ataupun keyakinan lainnya yang berbeda. Dan karena pilihan pendekatannya itulah Kalijaga lebih masyhur dibanding wali lainnya. Bukankah gelar Guru Suci Wong Tanah Jawi disematkan oleh kalangan yang notabene dikenal sebagai abangan, di mana dalam khazanah tasawuf sebenarnya sepadaan dengan gelar al-Ghauts?

Barangkali, di sini tak terlalu berlebihan jika Bung Karno pernah mewariskan ajaran “Ketuhanan yang berkebudayaan.” Dan dengan kacamata Bung Karno inilah pendekatan seorang Kalijaga, atau apa yang telah dilakukan oleh seorang Kalijaga dapat dimengerti, tanpa kontroversi. Andaikata orang memakai logika agama dalam arti formalnya dalam melihat Kalijaga, tentu ia akan segera melabelinya sebagai sesat. Dengan kata lain, Kalijaga, pada abad itu, telah mengawali apa yang kini disebut sebagai anyaman kebangsaan.

Saya kira, sepak-terjang Kalijaga layak dijadikan cermin untuk bagaimana mengayam ikatan kebangsaan yang belakangan ini terkoyak oleh berbagai pendekatan politik sektarian, intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Untuk hidup di Indonesia, tak cukup rasanya hanya mengerti bahwa Indonesia itu majemuk. Orang mesti melintasi berbagai sekat, menyulam kebhinekaan, menganyam kebangsaan. Setidaknya, Kalijaga telah mengawalinya. Ia lebih mengedepankan spiritualitas daripada religiusitas, atau seperti ungkapan Bung Karno di atas, “Ketuhanan yang berkebudayaan.” Dalam hal ini, baik Kalijaga maupun Bung Karno, menolak praktik politik sektarian—yang disebut Bung Karno sebagai sebentuk “egoisme-agama”—yang mampu melonggarkan atau bahkan mengoyak anyaman kebangsaan. Religiusitas semata hanya akan melahirkan sekat, perpecahan, dan pertentangan (nandhing sarira). Adapun spiritualitas, akan menemukan rasa yang sama (tepa sarira): sang arta daya, yang kekal tak terceraikan—ibarat gula atau tebu, yang mustahil dibedakan karena (rasa) manisnya. Itulah rasa kemanusiaan, rasa kebangsaan.

Facebook Comments