Merajut Persaudaraan : Tutup Celah Propaganda Radikal Pasca Pemilu

Merajut Persaudaraan : Tutup Celah Propaganda Radikal Pasca Pemilu

- in Narasi
39
0
Merajut Persaudaraan : Tutup Celah Propaganda Radikal Pasca Pemilu

Dalam atmosfer pasca Pemilu yang masih menyisakan sedikit ketengangan dan ketidakpuasaan, penting untuk disadari dalam merajut persaudaraan dalam ragam perbedaan. Di tengah potensi ketegangan ini, kita tidak bisa mengabaikan bahwa aka nada propaganda dan narasi yang berpotensi saling membenturkan dan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat. Narasi ini sebenarnya menjadi celah yang sering dimanfaatkan kelompok radikal.

Bangsa Indonesia, dengan segala keberagaman suku, bangsa, dan bahasa, seharusnya menyadari bahwa keragaman ini adalah fitrah Tuhan. Namun, kelompok radikal menggunakan keragaman ini sebagai alasan untuk memporakporandakan persatuan. Bagaimana sejarah Indonesia menciptakan persaudaraan dalam keragaman ini, dan bagaimana kita dapat melawan propaganda radikal yang merongrong fondasi persatuan terutama dengan menunggangi kontestasi politik?

Untuk memahami betapa berharga dan bersejarahnya keragaman Indonesia, kita perlu melihat kembali sejarah pembentukan bangsa ini. Indonesia tidak hanya terbentuk dari satu suku atau bahasa, melainkan dari aneka suku, budaya, dan bahasa yang melingkupi nusantara. Pada awalnya, keragaman ini menciptakan tantangan komunikasi, tetapi seiring waktu, masyarakat mulai memahami bahwa keberagaman adalah kekuatan.

Sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia melibatkan berbagai kelompok etnis dan budaya yang bersatu melawan penjajah. Para pahlawan seperti Soekarno, Hatta, dan banyak lainnya menyadari bahwa hanya dengan bersatu, Indonesia dapat meraih kemerdekaan. Semangat persaudaraan ini menciptakan semangat kebangsaan yang kuat.

Bahasa Indonesia dapat menjadi perekat masyarakat Indonesia sebagai bahasa nasional juga berperan besar dalam merajut persaudaraan. Bahasa ini diadopsi sebagai bahasa resmi untuk menyatukan berbagai suku dan memudahkan komunikasi di seluruh Indonesia. Penggunaan Bahasa Indonesia sebagai perekat persatuan telah membantu mengatasi perbedaan bahasa yang ada.

Keragaman di Indonesia tidak hanya terbatas pada etnis dan bahasa, tetapi juga melibatkan perbedaan agama. Indonesia berhasil menciptakan harmoni antaragama dengan menerapkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda tapi tetap satu). Keberhasilan ini membuktikan bahwa keragaman tidak harus menjadi pemicu konflik, melainkan sumber kekayaan dan kekuatan.

Keragaman adalah fitrah Tuhan yang memperkaya kehidupan manusia. Namun, kelompok radikal menggunakan keragaman ini sebagai dalih untuk menyebarkan propaganda dan narasi disintegrasi. Pemilu, sebagai momen penting dalam pembangunan demokrasi, seringkali menjadi sasaran empuk untuk menanamkan pemikiran radikal.

Kelompok radikal cenderung memanfaatkan momen pemilu untuk menyebarkan propaganda yang merongrong persatuan. Mereka menciptakan narasi yang memojokkan kelompok tertentu, menciptakan konflik, dan mencoba merusak fondasi keberagaman Indonesia.

Propaganda radikal tidak hanya merusak iklim politik, tetapi juga mengancam kedamaian dan keharmonisan masyarakat. Pemilu, yang seharusnya menjadi ajang untuk mendukung perbedaan pendapat dengan damai, dapat tercemar oleh ketegangan yang dihasilkan dari propaganda radikal.

Karena itulah, perlu kedewasaan para elite untuk secara kesatria menerima kenyataan politik. Bahwa hasil pemilu harus dikawal agar tidak ada kecurangan itu mutlak dilakukan. Namun, memperkeruh keadaan dengan mengatakan sistem demokrasi yang bobrok untuk mengeneralisir adalah suatu sikap yang tidak arif yang hanya menimbulkan gelombang emosi publik.

Kontestasi Pemilu adalah rutinitas lima tahunan yang harus disikapi dengan dewasa. Hanya dengan kedewasaan para elite politik akan menjadi teladan bagi masyarakat dan menutup celah kelompok radikal untuk memainkan perpecahan di tengah masyarakat.

Facebook Comments