Trust I seek and I find in you
Every day for us something new
Open mind for a different view
And nothing else matters
—Nothing Else Matter, Metallica
Demokrasi, untuk tampak dan berjalan sebagaimana yang diidealkan, pada dasarnya juga membutuhkan sebuah peran yang dianggap dapat membawa berbagai harapan dan bahkan melampiaskan rasa pahit yang pernah dirasakan. Idealitas atas demokrasi itu tersaji lewat berbagai fenomena yang bahkan tampak melebihi kapasitas nalar modern: kekalahan logistik, penyempitan dan bahkan ketiadaan ruang untuk membela diri (karena saking deras dan dahsyatnya kampanye-kampanye hitam), pengorganisasian orang yang dekonstruktif atau tak terstruktur, dsb.
Peran yang dibentuk oleh kelaziman demokrasi postmodern itu sendiri memunculkan figur Jokowi pada pemilu 2014. Untuk menyebut demokrasi postmodern—dimana peran dunia maya seolah tak jauh berbeda dengan dunia nyata, dimana dunia simulasi dapat tak jauh berbeda dengan dunia yang bakal terjadi—bukanlah suatu hal yang ngayawara atau mengada-ada.
Terdapat anekdot dalam kalangan aktifis progresif bahwa angkatan ke-5 di saat ini bukanlah kaum sipil yang dimodali bedil-bedil sebagaimana wacana di dekade 60-an, namun media-media sosial, perangkat-perangkat dan metodologi-metodologi yang berbasis digital. Lewat berbagai perangkat-perangkat yang berbasis digital itulah kemudian wacana atau diskursus dalam pengertian Foucault bukanlah cerminan atas realitas, namun justru pembentuk realitas.
Berbicara postmodernitas dalam tataran narasi adalah berbicara tentang hal-hal yang terkesan tak substansial atau bukanlah bagian dari narasi-narasi agung: demokrasi, sosialisme, liberalisme, monarki, teokrasi, dsb. Namun, berbicara tentang postmodernitas adalah berbicara tentang hal-hal yang sekilas tak gagah atau anti-heroisme: korban bullying, di luar kelaziman seperti halnya anak yang belum cukup punya pengalaman, ndeso, ketampakgoblokan, kekurangan fisik, dst.
Postmodernitas, dengan demikian, adalah sebuah keadaan dimana hal-hal yang sekilas tak lazim, atau jauh dari standar, diakomodasi dan bahkan menjadi motor dari sebuah pergerakan. Dalam keadaan zaman yang memang tak lagi bergairah dengan sesosok “hero” itulah Jokowi, secara figuratif, menjawab hasrat sang zaman pada pemilu 2014 dan 2019.
Keadaan zaman yang memang tak lagi bergairah pada sosok-sosok “hero” itu juga yang menjadi penjelas atas apa yang dikeluhkan sebagai anomali pada pemilu 2024 yang baru saja dihelat. Pasangan Prabowo-Gibran sejak awal memang seolah menjadi sang anak zaman seperti halnya sosok Jokowi di dua pemilu sebelumnya. Orang bisa menyimak betapa isu-isu besar yang merupakan bagian dari narasi-narasi agung—seperti penyimpangan demokrasi, HAM, pelanggaran etika, dsb.—terbukti tak efektif untuk digunakan sebagai alat-alat pengganjal politik, persis yang pernah dialami oleh Jokowi dengan deraan isu-isu besar yang berbeda.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa demokrasi, berbeda dengan otoritarianisme dan totalitarianisme, cukup memberi bukti akan tersedianya ruang bagi segala bentuk anomali, segala hal yang tak disangka-sangka sebagai sebentuk hasil improvisasi, dsb. Atau dengan kata lain, bukankah ketika demokrasi tak lagi memberikan ruang bagi terjadinya anomali dan improvisasi itu ia tak lagi dapat dikatakan sebagai sebentuk demokrasi?