Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj meminta pemerintah menutup akun media sosial dan media online yang berafiliasi dengan Wahabi. Pernyataan tegas itu disampaikan dalam pidato daring memperingati Harlah NU ke-98 yang juga momen peluncuran NU Mobile dan NU Channel. Pernyataan Kiai Said ini patut dicermati dan dipahami dalam konteks perebutan ruang publik digital kita yang belakangan ini melibatkan dua kubu yakni Islam moderat di satu sisi dan Islam konservatif di sisi lain. Memahami peta kontestasi ideologi keislaman di dunia maya saat ini penting untuk memahami siapa saja yang bermain di dalamnya, sekaligus meneropong keislaman dan keindonesiaan di masa depan.
Pasca runtuhnya Orde Baru di tahun 1998, kita menyaksikan sendiri bagaimana lanskap sosial, politik dan keagamaan kita berubah total. Kelompok Islam politik bercorak konservatif yang di masa rezim Orde Baru cenderung dipinggirkan kembali mendapat panggung dalam percaturan ruang publik kita. Kondisi itu berbarengan dengan momentum kebangkitan gerakan Islam transnasional bercorak salafi-wahabi yang berasal dari Timur Tengah, terutama Arab Saudi. Pakar studi hukum Islam Khaled Abou el Fadl, dalam bukunya Sejarah Wahabi dan Salafi menyebut bahwa infiltrasi wahabisme dan salafisme di seluruh negara muslim didukung oleh faktor euforia ledakan harga minyak bumi di era tahun 1970-an, dimana Arab Saudi mendapatkan kekayaan petrodollar dari hasil perdagangan minyak bumi dengan negara-negara Barat (AS dan Eropa).
Dana petrodollar itulah yang menyokong agenda wahabisasi di seluruh negara muslim di dunia. Strategi yang dipakai pun cenderung multidimensi, mulai dari pendidikan, keagamaan sampai hiburan. Dari sisi pendidikan, wahabisasi disebarluaskan melalui institusi pendidikan di sejumlah negara muslim yang didanai oleh pemerintah Arab Saudi. Dari segi keagamaan, wahabisme disebarluaskan melalui tokoh-tokoh agama yang direkrut menjadi agen wahabi dan disokong penuh oleh pemerintah Arab Saudi. Tidak hanya itu, wahabi juga menyusup melalui hiburan di kanal-kanal televisi.
Secara umum, wahabisme merujuk pada paham keisalaman yang dinisbatkan pada pendirinya yakni Syekh Muhammad Abdul Wahab, yang juga merupakan pendiri kerajaan Arab Saudi. Abdul Wahab dikenal sebagai tokoh ahli hukum Islam yang berpandangan kaku, anti pada pembaharuan dan menghedaki pemurnian (purifikasi) ajaran Islam agar steril dari pengaruh luar seperti tasawuf dan praktik peribadatan yang tidak dikenal di zaman Rasulullah. Dalam praktiknya, agenda purifikasi Islam ala Abdul Wahab ini kerap menjustifikasi cara-cara kekerasan. Mereka tidak segan menyerang dan membunuh kelompok-kelompok yang berbeda pandangan dengan mereka.
John L. Esposito dalam buku Unholy War menyebut bahwa jika khawarij merupakan akar dari ekstremisme dan terorisme dalam Islam di masa klasik, maka wahabisme memiliki saham dan andil yang besar pada aksi kekerasan dan terorisme di dunia Islam modern-kontemporer. Nyaris semua organisasi radikal dalam Islam, mulai dari Taliban, al Qaeda hingga Jemaat el Islamiyyat memiliki pertautan dengan ajaran wahabisme. Dalam konteks Indonesia, paham dan gerakan wahabi sebenarnya sudah mulai masuk di era tahun 1980-an, namun baru mendapat momentumnya untuk menginfiltrasi ruang publik kita pasca berakhirnya era Orde Baru.
Mengampanyekan Moderatisme Islam di Dunia Maya
Kini, di era kebebasan dan keterbukaan demokrasi, paham dan gerakan wahabi kian leluasa bergerak; menyebarkan gagasannya dan mencuci otak umat Islam dengan doktrin yang anti-pluralitas. Infiltrasi wahabi pun tidak hanya terbatas pada ranah pendidikan, namun juga melebar di dunia maya dan media sosial. Menjamurnya media online keislaman yang berafiliasi dengan gerakan wahabi yang disusul kemudian dengan mewabahnya akun-akun media sosial yang rajin mempropagandakan pemikiran wahabi ialah pemandangan yang jamak kita temu di dunia maya kita saat ini. Media-media daring yang berafiliasi dengan Wahabi rajin memproduksi dan menyebarkan konten-konten yang bertendensi mencerabut keislaman dari akar keindonesiaan.
Mereka selalu membenturkan antara Islam dan Indonesia juga antara semangat membela Islam dan spirit membela negara. Dalam pandangan mereka, Islam dan nasionalisme keindonesiaan ialah dua hal yang berbeda. Mereka menghendaki Islam yang murni dan steril dari pengaruh budaya Nusantara. Dalam mewujudkan agendanya itu, mereka tidak jarang menghalalkan segala cara, mulai dari menyebar hoaks, menyemburkan ujaran kebencian sampai mengadu-domba antarsesama umat Islam. Penetrasi wahabi ini kian membahayakan manakala para pendengungnya di media sosial secara aktif mengamplifikasi gagasan-gagasan yang secara terbuka bersikap anti-NKRI dan Pancasila.
Bercermin dari fakta-fakta di atas, usulan Kiai Said agar pemerintah menutup media daring dan akun medsos kelompok wahabi ialah usulan yang patut ditindaklanjuti. Agaknya harus diakui bahwa selama ini kita (pemerintah dan masyarakat) kadung lunak pada kaum konservatif (salafi-wahabi) dengan membuka ruang publik seluas-luasnya bagi mereka untuk ikut andil di dalamnya. Hal itu tampaknya harus dibayar mahal dengan tumbuh-suburnya jaringan salafi-wahabi, tidak hanya di dunia nyata namun juga di dunia maya. Bahkan, bisa dibilang media sosial dan dunia maya kita hari ini lebih banyak didominasi oleh kelompok konservatif. Di saat yang sama, kaum moderat-progresif kerapkali hanya menjadi silent majority yang kurang berperan sebagai opinion leader. Akibatnya, wacana keagamaan pun lebih banyak didominasi oleh corak konservatisme, fundamentalisme bahkan radikalisme yang bertentangan dengan karakter bangsa Indonesia yang multikultur dan multireliji.
Tidak ada jalan lain kecuali merebut kembali ruang publik digital kita dari hegemoni kaum wahabi. Langkah pertama yang wajib diambil pemerintah ialah memberangus media daring dan akun medsos yang mempropagandakan paham wahabi. Langkah ini perlu diambil sebagai solusi jangka pendek demi mencegah produksi dan distribusi konten keislaman yang bertentangan dengan paradigma keislaman yang selaras dengan nilai kenusantaraan dan keindonesiaan. Pemerintah memiliki wewenang untuk menutup kanal-kanal media daring dan akun medsos wahabi melalui mekanisme hukum yang berlaku. Hal ini pun sebenarnya pernah dilakukan oleh pemerintah pada tahun 2015 lalu. Kala itu, sebanyak 22 situs Islam radikal diblokir pemerintah.
Pemblokiran terhadap situs keislaman dan akun medos wahabi tentunya harus dibarengi dengan upaya untuk memproduksi dan mendistribusikan konten-konten keislaman yang sejuk, toleran, dan moderat di dunia maya. Sebagaimana lazimnya ruang publik, dunia daring dan medsos pada dasarnya juga merupakan arena perebutan dominasi dimana masing-masig pihak berusaha menjadi yang paling dominan dan berpengaruh. Di titik inilah, diperlukan sinergi aktif antara pemerintah dan kelompok Islam moderat, utamanya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah untuk merebut kembali ruang publik virtual kita dari kaum konservatif dan mengisinya dengan narasi keislaman yang sesuai dengan nilai keidonesiaan.