Kasus empat orang petugas kesehatan yang dilaporkan –kemudian menjadi tersangka –akibat memandikan jenazah seorang wanita terjangkit covid-19, sempat viral dan menjadi perbincangan publik minggu lalu. Meskipun pada akhirnya –mungkin sebab desakan kuat dari publik –kasus ini dihentikan juga.
Yang membuat publik tak habis pikir, para petugas itu itu dituduh dengan pasal “Penistaan Agama.” Kok bisa? Apa hubungannya? Dan, paling anehnya lagi, sekelompok orang dengan mengusung bendera tertentu, malah melakukan demo atas nama membela agama dari penista agama, yang tak lain adalah petugas kesehatan itu.
Adalah suatu fakta, di saat bangsa ini sedang sibuk melawan virus covid-19, ada saja pihak tertentu yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan kelompok mereka.
Mendramatisir suatu kejadian; memelintir suatu kasus, menyebar hoax demi keuntungan kelompok; dan sengaja mengaduk-aduk emosi umat dengan menyeret suatu peristiwa sebagai penistaan terhadap agama.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, aktor-aktor yang melaporkan dan melakukan demo itu, ya orang-orang itu juga. Orang-orang itu maksudnya adalah para pengusung dan simpatisan khilafah, kaum islamisme, anggota organisasi terlarang yang sakit hati akibat organisasi mereka dibubarkan pemerintah.
Strategi yang Dimainkan
Segala macama kebijakan, peraturan, dan strategi pemerintah sekuat tenaga disangkal, dicari-cari kekurangannya, bahkan dianggap sebagai anti-Islam. Bila ada kasus yang layak dijadikan untuk menarik anti-pati terhadap pemerintah, sengaja diseret dengan bumbu-bumbu bahwa itu adalah bukti pemerintah tidak pro-terhadap umat Islam.
Fakta ini dengan mudah kita temui di media sosial lewat meme, video pendek, provokasi, penggiringan opini, dan lain sebagainya. Strategi yang dimainkan tidak jauh dari menggiring opini, pemelintiran dan dramatisisasi, dan play victim.
Pertama, membangun, menggiring opini serta memperkuat sentimen negatif terhadap pemerintah. Kaum radikal dan para pengusung khilafah menjadikan kefokusan pemerintah terhadap Corona sebagai momen yang tepat untuk menjatuhkan sistem pemerintahan saat ini sangat buruk dan tidak memberikan keamanan.
Kedua, membangun ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Curva korban Covid-19 yang terus meningkat dijadikan sebagai bahan untuk menjelek-jelekkan pemerintah. Tidak jarang “strategi membanding-bangdingkan” menjadi andalan. Mengapa itu bisa, ini tidak; mengapa mereka boleh, kami tidak; dan seterusnya.
Ketiga, mendramatisir suatu kebijakan sebagai anti-Islam. Mengapa hanya mesjid yang ditutup. Mengapa hanya salat Jumat yang dilarang. Mengapa salat idul fitri tidak boleh. Mengapa pelaksanaan haji 2020 dibatalkan. Itu adalah sederet pertanyaan yang dilempar ke publik lewat media sosial, kemudian didramatisir seolah-olah Islam terzalimi.
Keempat, menyebar hoax. Media sosial pernah dihiasi dengan hoax bahwa khilafah adalah satu-satunya solusi mengatasi pandemi ini. Katanya, mengapa Covid-19 sangat sedikit korbannya di negara-negara Islam, sementara di negara-negara barat yang notabenenya kristen malah membludak, itu karena faktor Islamnya.
Semangat Moderasi
Di tengah situasi pandemi, kita selayaknya meneguhkan semangat moderasi. Moderasi adalah sikap jalan tengah antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Pengertian ekstrim kanan dan kiri tentu banyak sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.
Akan tetapi, saat wabah ini, pengertian ekstrim kiri adalah sikap antipati terhadap segala kebijakan pemerintah dan tim medis. Protokol kesehatan dilanggar, peraturan terkait covid-19 tidak dipatuhi, fatwa ulama diolok-olok. Sikap ini tentu sangat ektrim, karena akan membahayakan setiap individu.
Sementara ektrim kanan adalah sikap dan pemikiran yang berusaha mencari sistem pemerintah di luar sistem pemerintahan negara yang sah. Segala peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, dituduh kurang islami bahkan tak jarang dianggap sebagai anti-Islam.
Moderasi adalah mengikuti segala peraturan dan kebijakan pemerintah dan tim medis dengan tetap menjaga sikap kritis. Sikap kritis yang dimaksud tentu bersifat konstruktif, membanguan dengan asas kemaslahatan bersama. Bukan sikap destruktif, anti-pasti, atau sikap selalu menyangkal dan menegasikan.
Moderasi beragama perlu dipraktikkan oleh segenap anak bangsa. Jika ektrim kirim bersifat selalu menyangkal (tahrim) atas kebijakan negara, ekstrim kanan bersifat akomodatif (tahmil) terhadap sistem dan ideologi dari luar sebagai solusi alternatif, maka moderasi beragama adalah sikap selektif-akomodatif-kritis atas kebijakan pemerintah yang sah.
Dengan sikap akomodati-selektif-dan kritis akan terwujud solidaritas kebangsaan yang kokoh. Solidaritas kebangsaan adalah kunci sukses tidaknya suatu kebijakan dan peraturan yang digulirkan untuk melawan pandemi.
Jalan Moderasi
Dalam konteks berbangsa dan bernegara, Pancasila adalah jalan moderasi. Pancasilalah yang bisa melahirkan sikap akomodatif-selektif-kritis. Ketiga kata kunci modarasi ini termaktub dalam sila-sila Pancasila.
Akomodatif terejewantahkan dalam semua sila-sila Pancasila. Dari ketuhanan, persatuan, sampai keadialan adalah akomodasi dari pengalaman bawah sadar kolektif manusia Nusantara. Pancasila bukan sesuatu yang asing. Ia sudah membumi selama berabad-abad lamanya, yang kemudian diperas oleh para pendiri bangsa ini sebagai falsafah dan dasar negara.
Kritastalisasi dari seluruh pengamalaman bawah sadar ini diseleksi mana yang maslahah, mana yang madharat. Para pendiri bangsa ini dengan waktu yanga agak lama berhasil menyeleksi sila-sila yang pas untuk dijadikan sebagai pegangan bersama.
Sila-sila inilah yang wajib dijadikan sebagai standar bersama, tolak ukur nasional. Pendek katanya sebagai alat untuk mengkritisi dalam segala aspek dan lini kebangsaan.
Jika ada kebijakan yang dinilai kurang tepat, maka Pancasila adalah preferensi kita bersama. Atau jika ada paham dan ideologi luar yang mau diinfiltrasikan, maka Pancasila adalah alat saringnya.